Waktu Masa Terbentuknya Transisi 1966-1967 Dualisme Kepemimpinan
Waktu Masa Terbentuknya Transisi 1966-1967 Dualisme Kepemimpinan - Orde Baru ialah suatu tatanan seluruh peri kehidupan rakyat, bangsa, dan negara yang diletakkan kembali kepada pelaksanaan Pancasila UUD 1945 secara murni serta konsenkuen. Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Orde Baru hadir dengan semangat ''koreksi total'' atas penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama. Pemerintahan Orde Baru dipimpin oleh Presiden Soeharto sejak tahun 1967 sampai 1998.
1. Aksi Tritura
Adanya peristiwa G-30-S/PKI telah menimbulkan kemarahan rakyat. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau, perekonomian memburuk dan inflasi mencapai 600%. Upaya pemerintah dalam melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
Dengan keadaan tersebut, muncul aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku G-30-S/PKI semakin meningkat. Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemuda, mahasiswa, dan pelajar (KAPPI, KAMI, KAPI).
Muncul juga kesatuan aksi yang lain seperti KABI (buruh), KASI (sarjana), KAWI (wanita), dan KAGI (guru). Kesatuan-kesatuan aksi tersebut menuntut penyelesaian politis yang terlibat G-30-S/PKI. Pada tanggal 26 Oktober 1965 berbagai kesatuan aksi tersebut membulatkan barisan dalam satu front, yaitu Front Pancasila.
Pada tanggal 12 Januari 1966 dipelopori oleh KAMI dan KAPPI, kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam front Pancasila mendatangi DPR GR mengajukan tiga butir tuntutan (tritura), yang isinya pembubaran PKI beserta organisasi masanya, pembersihan Kabinet Dwikora, dari unsur PKI, dan penurunan harga-harga barang.
Dalam menghadapi berbagai tuntutan tersebut, pada tanggal 15 Januari 1966 diadakan Sidang Paripurna Kabinet Dwikora di Istana Bogor yang dihadiri oleh para wakil mahasiswa. Tuntutan mengenai perombakan kabinet dikabulkan. Pada tanggal 21 Februari 1966, Presiden Soekarno mengumumkan perubahan kabinet. Ternyata perubahan kabinet tersebut tidak memuaskan hati rakyat karena banyak tokoh yang terlibat dalam G-30-S-PKI berada dalam kabinet baru yang dikenal dengan sebutan Kabinet Seratus Menteri.
Pada saat pelantikan kabinet tanggal 24 Februari 1966, para mahasiswa, pelajar, dan pemuda memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka. Namun, aksi tersebut dihadang oleh Pasukan Cakrabirawa sehingga terjadilah bentrokan antara pasukan Cakrabirawa dan para demonstran yang menyebabkan gugurnya seorang mahasiswa dari Universitas Indonesia yang bernama Arief Rachman Hakim. Oleh para demonstran, Arief Rachman Hakim dijadikan sebagai Pahlawan Ampera.
Sebagai akibat dari aksi tersebut, keesokan harinya tanggal 25 Februari 1966 berdasarkan keputusan Panglima Komando Ganyang Malaysia (Kogam) yaitu Presiden Soekarno, KAMI dibubarkan. Keputusan membubarkan KAMI dibalas oleh mahasiswa Bandung dengan mengeluarkan ''Ikrar Keadilan dan Kebenaran'' yang memprotes pembubaran KAMI dan mengajak rakyat untuk meneruskan perjuangan. Protes terhadap pembubaran KAMI juga dilakukan oleh Front Pancasila yang meminta kepada pemerintah agar meninjau kembali pembubaran KAMI.
Menghadapi situasi yang demikian, Presiden Soekarno mengadakan pertemuan pada tanggal 10 Maret 1966. Pertemuan tersebut dihadiri oleh berbagai partai politik, seperti PSII, NU, PI Perti, Partai Katolik, Parkindo, Muhammadiyah, PNI, Partindo, IPKI, dan Front Pancasila.
Dalam pertemuan tersebut presiden didampingi oleh A.M. Hanafi (duta besar Republik Indonesia untuk Kuba), dr. Sumarno (Menteri Dalam Negeri), Dr. Subandrio (wakil perdana menteri), Dr. J. Leimena, Mayjen Achmadi (Menteri Penerangan), dan Dr. Chairul Saleh.
Dalam pertemuan tersebut, Presiden Soekarno menyatakan pendapatnya dan menekankan agar partai-partai politik serta berbagai organisasi massa yang hadir pada waktu itu menolak dan mengecam aksi demonstrasi mahasiswa dengan tuntutan trituranya. Pertemuan tersebut berakhir dengan deadlock karena keinginan Presiden Soekarno bersebrangan dengan permintaan Front Pancasila, terutama mengenai pembubaran PKI.
2. Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
Pada tanggal 11 Maret 1966 digelar sidang paripurna yang agendanya adalah merumuskan langkah-langkah keluar dari krisis ekonomi, sosial, dan politik. Di tengah-tengah pidatonya, Presiden Soekarno diberi tahu oleh Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur bahwa ada konsentrasi pasukan tidak dikenal yang berada di luar istana.
Presiden Soekarno kemudian pergi ke Istana Bogor didampingi oleh Waperdam I, Dr. Subandrio dan Waperdam III, Dr. Chairul Saleh. Dr. J. Leimena (Waperdam II) kemudian menutup rapat sidang dan menyusun Presiden Soekarno ke Istana Bogor.
Selanjutnya, para perwira tinggi Angkatan Darat yang terdiri dari Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen Amir Mahmud, dan Brigjen M. Yusuf juga menyusul ke Bogor. Namun, sebelumnya mereka menghadap Letjen Soeharto dan melaporkan tentang keadaan sidang kabinet serta meminta izin untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor untuk melaporkan situasi yang sebenarnya di Jakarta bahwa tidak benar ada pasukan liar di sekitar istana dan ABRI khususnya, TNI Angkatan Darat tetap setia dan taat kepada Presiden Soekarno.
Letjen Soeharto mengizinkan ketiga perwira tinggi tersebut pergi ke Istana Bogor dan berpesan untuk disampaikan kepada Presiden Soekarno bahwa Letjen Soeharto sanggup mengatasi keadaan apabila Presiden Soekarno memercayakan hal tersebut kepadanya.
Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M. Yusuf dan Brigjen Amir Mahmud setelah tiba di Istana Bogor, kemudian mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno yang didampingi oleh Dr. J. Leimena, Dr. Subandrio, dan Dr. Chairul Saleh. Dalam pertemuan tersebut, Presiden Soekarno memerintahkan kepada ketiga perwira tinggi Angkatan Darat bersama Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur untuk merancang sebuah konsep surat perintah yang ditujukan kepada Letjen Soeharto.
Surat tersebut berisi perintah kepada Letjen Soeharto untuk mengatasi masalah keamanan dan krisis politik yang terjadi pada saat itu. Surat itulah yang dikenal dengan Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar. Supersemar memerintahkan kepada Letjen Soeharto agar mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan, ketenangan, dan kestabilan jalannya pemerintah, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden atau Panglima Tertinggi atau Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPR demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Tindakan pertama yang dilakukan Soeharto setelah menerima surat perintah tersebut adalah membubarkan dan melarang PKI beserta organisasi massanya yang bernaung dan berlindung ataupun seasas dengannya di seluruh Indonesia, terhitung sejak tanggal 12 Maret 1966.
Pembubaran PKI dan organisasi massanya tersebut mendapat dukungan dari rakyat, dengan demikian salah satu di antara butir tritura telah dilaksanakan. Letjen Soeharto juga menyerukan kepada pelajar dan mahasiswa untuk kembali ke sekolah. Tindakan Letjen Soeharto selanjutnya setelah membubarkan PKI antara lain sebagai berikut ini :
- Pada tanggal 18 Maret 1966 Letjen Soeharto mengamankan lima belas orang menteri yang dinilai tersangkut dalam G-30-S/PKI dan diragukan etika baiknya. Hal tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 5 Tanggal 18 Maret 1966.
- Pada tanggal 27 Maret 1966 Letjen Soeharto membentuk Kabinet Dwikora yang disempurnakan untuk menjalankan pemerintahan dengan tokoh-tokoh yang tidak terlibat dalam G-30-S/PKI.
- Membersihkan lembaga legislatif yang dimulai dari tokoh-tokoh pimpinan MPRS dan DPR GR yang diduga terlibat G-30-S/PKI.
- Memisahkan jabatan pimpinan DPR GR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPR GR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri. MPRS dibersihkan dari unsur-unsur G-30-S/PKI dan sesuai dengan UUD 1945, MPRS mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada lembaga kepresidenan.
3. Dualisme Kepemimpinan
Memasuki tahun 1966 terlihat gejala krisis kepemimpinan nasional yang mengarah pada dualisme kepemimpinan. Meskipun Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, pelaksanaan pimpinan dan tugas harian dipegang Soeharto. Kondisi tersebut berakibat munculnya dualisme kepemimpinan nasional, yaitu Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan dan Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan.
Presiden Soekarno sudah tidak banyak melakukan tindakan pemerintahan sedangkan Letjen Soeharto banyak menjalankan tugas-tugas harian pemerintahan. Adanya dualisme kepemimpinan tersebut membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam sidang MPRS tanggal 20 Juni-5 Juli 1966 antara lain memutuskan menjadikan Supersemar sebagai tap. MPRS. Dengan dijadikannya Supersemar sebagai tap. MPRS, maka secara hukum Supersemar tidak lagi bisa dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno, bahkan secara hukum Soeharto memiliki kedudukan yang sama dengan Soekarno, yaitu mandataris MPRS. Dalam sidang MPRS tersebut majelis mulai membatasi hak prerogatif Soekarno selaku presiden.
Dalam persidangan MPRS pada tanggal 22 Juni 1966 Presiden Soekarno menyampaikan pidato Nawaksara. Nawa berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya sembilan dan aksara yang artinya huruf atau istilah. Dalam pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya peristiwa tanggal 30 September 1965.
Hal tersebut tidak memuaskan anggota MPRS. Dengan melalui Ketetapan Nomor 5/MPRS/1966, MPRS memutuskan untuk minta kepada presiden agar melengkapi laporan pertanggungjawabannya, khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa G-30-S/PKI beserta epilognya dan masalah kemunduran ekonomi serta akhlak. Selanjutnya pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden Soekarno menyampaikan surat kepada pimpinan MPRS yang berisi Pelengkap Nawaksara (Pelnawaksara).
Dalam sidang MPRS telah memutuskan untuk menugaskan Letjen Soeharto selaku pengemban Supersemar yang sudah ditingkatkan menjadi Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 untuk membentuk kabinet baru. Kabinet baru tersebut ditetapkan oleh MPRS bernama Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).
Kabinet Ampera diresmikan pada tanggal 28 Juli 1966 dengan tugas pokok menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. Adapun program Kabinet Ampera ialah memperbaiki kehidupan rakyat, terutama di bidang sandang dan pangan, serta melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966.
Sehubungan dengan keadaan politik, pada tanggal 9 Februari 1967 DPR GR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar mengadakan sidang istimewa. Mr. Hardi salah seorang sahabat Soekarno menemui Presiden Soekarno dan meminta agar Presiden Soekarno membuka prakarsa untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan negara, karena dualisme kepemimpinan itulah yang menjadi sumber konflik politik yang tidak kunjung berhenti.
Mr. Hardi menyarankan agar Soekarno sebagai mandataris MPRS menyatakan nonaktif di depan sidang Badan Pekerja MPRS dan menyetujui pembubaran PKI. Saran Mr. Hardi tersebut disetujui Presiden Soekarno. Selanjutnya disusunlah surat penugasan mengenai pimpinan pemerintahan sehari-hari kepada pemegang Supersemar.
Pada tanggal 7 Februari 1967 Mr. Hardi menemui Soeharto dan menyerahkan konsep dari Presiden Soekarno. Pada tanggal 8 Februari 1967, Soeharto membahas surat tersebut bersama keempat panglima angkatan. Para panglima berkesimpulan bahwa draf surat tersebut tidak dapat diterima karena bentuk surat penugasan tersebut tidak membantu menyelesaikan situasi saat itu.
Kesimpulan tersebut disampaikan Soeharto pada tanggal 10 Februari 1967. Soeharto mengajukan draf yang berisi pernyataan bahwa presiden berhalangan atau menyerahkan kekuasaan kepada pengemban Supersemar. Awalnya Presiden Soekarno tidak berkenan dengan usulan draf tersebut tetapi kemudian sikap Presiden Soekarno melunak, beliau memerintahkan agar Soeharto beserta Panglima Angkatan berkumpul di Bogor pada hari Minggu tanggal 19 Februari 1967 presiden menyetujui draf yang dibuat dan pada tanggal 20 Februari 1967 ditandatangani.
Pada tanggal 12 Maret 1967 Soeharto dilantik menjadi Pejabat Republik Indonesia oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution. Setelah satu tahun menjadi pejabat presiden, pada tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum V MPRS, Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XLIV/MPRS/1968 sampai presiden baru hasil pemilihan umum ditetapkan. Pengukuhan tersebut menandai berakhirnya dualisme kepemimpinan nasional dan dimulailah pemerintahan Orde Baru.
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
Post a Comment for "Waktu Masa Terbentuknya Transisi 1966-1967 Dualisme Kepemimpinan"