Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Situasi Politik Indonesia pada Awal Kemerdekaan

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia masih menghadapi tantangan dan hambatan. Pemerintah Republik Indonesia yang baru berdiri dihadapkan dengan tantangan kedatangan tentara Sekutu yang diboncengi Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia. Namun, bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya.

Oleh karena itu terjadi konflik antara Indonesia dan Belanda. Adapun kehidupan ekonomi pada awal kemerdekaan sangat sulit. Penyebabnya adalah adanya inflasi yang sangat tinggi. Penyebab terjadinya inflasi adalah beredarnya mata uang masa Pendudukan Jepang yang tidak terkendali jumlahnya.

Presiden Soekarno

1. Kedatangan Tentara Sekutu dan NICA

Setelah berhasil menang dalam Perang Dunia II, kemudian pasukan Sekutu yang terdapat tugas masuk ke Indonesia adalah tentara Kerajaan Inggris yang dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut :

a. SEAC (South East Asia Command) dipimpin oleh Laksamana Lord Louis Mounbatten untuk wilayah Indonesia bagian barat.
b. SWPC (South West Pasific Command) untuk wilayah Indonesia bagian Timur.

Pasukan Sekutu yang bertugas menangani Indonesia bagian Barat adalah AFNEI (Alled Forces Netherlands East Indies) yang dibentuk oleh Mounbatten di bawah pimpinan Letjen Sir Philip Christison.

Adapun tugas AFNEI di Indonesia adalah sebagai berikut ini :
  • Menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang.
  • Membebaskan para tawanan perang dan intermiran Sekutu.
  • Melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan.
  • Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah sipil.
  • Menghimpun keterangan tentang penjahat perang dan menuntut mereka ke pengadilan.

2. Konflik Indonesia-Belanda di Berbagai Daerah

a. Pertempuran di Surabaya.
Pada tanggal 25 Oktober 1945 pasukan AFNEI dari Brigade 49 mendarat di Tanjung Perak, Surabaya. Pasukan ini dipimpin oleh Brigade A.W.S. Mallaby. Pihak AFNEI menjamin bahwa tidak ada pasukan Belanda yang membonceng dan tugas mereka hanya melucuti tentara Jepang.

Ternyata AFNEI melanggar kesepakatan itu dengan berbagai provokasi, di antaranya membebaskan seorang kolonel Angkatan Laut Belanda saat penyerbuan penjara di Kalisosok, pendudukan tempat-tempat penting, seperti di Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio, dan penyebaran pamflet yang berisi perintah kepada rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjata yang dirampas dari tangan tentara Jepang.

Tindakan provokasi tersebut telah menghapus kepercayaan pemerintah Republik Indonesia terhadap AFNEI. Pemerintah Republik Indonesia segera memerintahkan para pemuda dan TKR untuk bersiap-siap. Pada tanggal 27 Oktober 1945 terjadilah pertempuran antara pasukan Indonesia melawan AFNEI. Pertempuran meluas menjadi serangan umum terhadap kedudukan AFNEI di seluruh kota.

Presiden Soekarno dihubungi Komandan Devisi XXIII, Jenderal D.C. Hawthorn untuk membantu meredakan serangan pasukan Indonesia. Pada tanggal 29 Oktober 1945 Presiden Soekarno didampingi Moh. Hatta dan Amir Syarifuddin tiba di Surabaya. Pemerintah Republik Indonesia dan AFNEI mencapai kesepakatan untuk membentuk panitia penghubung (contact committee) untuk menjernihkan kesalahan pemahaman dan menyerukan gencatan senjata.

Gencatan senjata berakhir setelah terjadi insiden di Gedung Internatio yang menewaskan Brigjen Mallaby. Peristiwa itu menulut kemarahan pimpinan AFNEI. Mereka kemudian menambah pasukan di bawah pimpinan Mayjen E.C. Mansergh.

Pada tanggal 9 November 1945 AFNEI mengeluarkan ultimatum yang isinya sebagai berikut :
  • Pihak AFNEI menuntut balas atas kematian Brigjen Mallaby yang menjadi tanggung jawab rakyat Surabaya.
  • Menginstruksikan kepada seluruh pimpinan pemerintahan, pemuda dan TKR untuk melapor, menyerahkan senjata, serta menandatangani pernyataan penyerahan tanpa syarat.
Ultimatum disertai ancaman pihak Sekutu akan menggempur Surabaya dari barat, laut, dan udara apabila rakyat Surabaya tidak menjalankan instruksi sampai batas waktu yang ditetapkan, yaitu tanggal 10 November 1945 pukul 06.00 WIB. Sementara itu, pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Luar Negeri, Ahmad Subarjo, menyerahkan keputusan kepada rakyat Surabaya, kemudian Gubernur Suryo melalui siaran radio mengumumkan secara resmi penolakan terhadap ultimatum AFNEI. Dengan penolakan tersebut, rakyat Surabaya telah siap untuk berperang.

Komandan pertahanan, Sungkono membagi Surabaya dalam tiga sektor pertahanan. Sektor barat dipimpin oleh Kunkiyat, sektor tengah dipimpin oleh Kretarto dan Marhadi, serta sektor timur dipimpin oleh Kadim Prawirodiharjo. Bung Tomo membakar semangat juang rakyat Surabaya melalui radio di Jalan Mawar No.4. Untuk mengenang perjuangan para pahlawan ketika melawan pasukan Sekutu, di Surabaya dibangun Tugu Pahlawan dan pada tanggal 10 November diperingati sebagai hari Pahlawan.

b. Pertempuran Ambarawa-Magelang
Pertempuran Ambarawa terjadi antara pasukan TKR bersama rakyat Indonesia dan pasukan Sekutu-Inggris. Pertempuran ini berlangsung pada tanggal 20 November 1945 sampai dengan 14 Desember 1945. Adapun latar belakang peristiwa ini bermula dari insiden di Magelang sesudah mendaratnya Brigade Artiler dari Divisi India ke-23 di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945.

Pada tanggal 26 Oktober 1945 berkembang pertempuran antara pasukan TKR dan pasukan gabungan Sekutu-Inggris serta NICA. Insiden berhenti setelah Presiden Soekarno dan Brigadir Jenderal Bethell datang ke Magelang pada tanggal 2 November 1945. Selanjutnya diadakan perundingan gencatan senjata dan memperoleh kata sepakat yang dituangkan dalam 12 pasal.

Isi naskah persetujuan tersebut antara lain sebagai berikut ini :
  • Pihak Sekutu tetap akan menempatkan pasukannya di Magelang untuk melindungi dan mengurus evakuasi APWI (Allied Prisoners Warand Interneers atau Tawanan Perang dan Interniran Sekutu). Jumlah pasukan Sekutu dibatasi sesuai dengan keperluan.
  • Jalan Ambarawa-Magelang terbuka sebagai jalur lalu lintas Indonesia-Sekutu.
  • Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada di bawahnya.
Ternyata pihak sekutu mengingkari janjinya, kemudian pada tanggal 20 November 1945 terdengar berita bahwa di Ambarawa telah pecah perang antara pihak Sekutu dan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto. Tentara Sekutu yang ada di Magelang pada tanggal 21 November 1945 secara diam-diam mulai ditarik mundur untuk menuju Ambarawa. Sambil gerak mundur ke Ambarawa tentara Sekutu terus melakukan teror terhadap penduduk. Oleh karena itu, pihak TKR melakukan pengejaran.

Sampai di Pingit, Sekutu masih melakukan teror dan perusakan sehingga banyak korban jatuh dari kalangan rakyat. Pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Imam Adrogi terus melakukan pengejaran dan menekan Sekutu. Menyusul kemudian pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Soeharto, pasukan Mayor Sarjono, dan Batalion Sugeng. Pasukan Sekutu terdesak dan meninggalkan Pingit.

Pada tanggal 26 November 1945, terjadi serangan udara yang dilancarkan oleh Sekutu dan Belanda. Dalam serangan ini Letkol Isdiman gugur. Setelah itu Kolonel Sudirman turun ke gelanggang dengan dibantu oleh Letkol Gatot Subroto sebagai komandan tempur. Pada tanggal 11 Desember 1945 Sudirman mengambil prakarsa untuk mengoordinasikan semua komandan sektor.

Kota Ambarawa dikepung empat hari empat malam. Sekutu dan Belanda berusaha bertahan di Benteng Willem. Akhirnya pada tanggal 15 Desember 1945 Sekutu dan Belanda meninggalkan Ambarawa menuju ke Semarang melalui Ngasinan. Kemenangan pertempuran di Ambarawa ini mempunyai arti yang penting karena apabila musuh berhasil menguasai Ambarawa, akan mengancam tiga kota sekaligus, yaitu Surakarta, Magelang dan Yogyakarta sebagai markas tertinggi TKR.

c. Bandung Lautan Api
Pasukan AFNEI memasuki kota Bandung sejak bulan Oktober 1945. TKR bersama rakyat sedang berjuang merebut senjata dari tangan Jepang. Dalam waktu yang bersamaan AFNEI menuntut pasukan Indonesia untuk menyerahkan senjata. Tuntutan itu disertai dengan ultimatum supaya TKR meniggalkan kota Bandung bagian utara paling lambat tanggal 29 Oktober 1945.

Rakyat Bandung menolak. Untuk menyelesaikan masalah tersebut dilakukan perundingan dengan kesepakatan bahwa Bandung dibagi dua bagian dengan batas rel kereta api, yaitu sebelah utara dikuasai Sekutu dan sebelah selatan dikuasai Indonesia.

Pada tanggal 23 Maret 1946, AFNEI mengeluarkan ultimatum untuk kedua kalinya supaya TRI (tanggal 25 Januari 1946, Tentara Keamanan Rakyat diubah namanya menjadi Tentara Republik Indonesia) meninggalkan seluruh kota Bandung. Sehari sebelumnya, pemerintah pusat mengeluarkan perintah yang sama. Namun, perintah itu bertentangan dengan perintah Markas Besar TRI di Yogyakarta. Akhirnya, Tri Bandung memilih petuh kepada pemerintah pusat.

Pasukan TRI dan warga akhirnya meninggalkan kota Bandung. Tri mundur sambil membumihanguskan kota Bandung bagian selatan, kemudian TRI secara berangsunr-angsur meninggalkan kota Bandung. Tindakan pembumihangusan itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan Bandung Lautan Api yang terjadi pada tanggal 24 Maret 1946.

Pada peristiwa tersebut jatuh korban bernama Mohammad Toha yang meninggal ketika meledakkan gudang mesiu NICA. Dari peristiwa tersebut menjadikan pasukan AFNEI semakin terdesak karena mereka mengalami kesulitan akomodasi dan pengiriman logistik ke kota yang telah hancur. Peristiwa gugurnya Mohammad Toha difilmkan dengan judul Toha Pahlawan Bandung Selatan.

3. Perjuangan Diplomasi Indonesia

a. Perjanjian Linggajati (10 November 1946)
Perundingan Linggajati dilakukan di Linggajati sebelah selatan Cirebon dipimpin oleh Lord Kilearn. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir dan Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn.

Hasil Perjanjian Linggajati adalah sebagai berikut ini :
  • Pemerintah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatera.
  • Pemerintah Belanda dan Indonesia bersama-sama menyelenggarakan berdirinya sebuah negara federal bernama Negara Indonesia Serikat.
  • Pemerintah Negara Indonesia Serikat akan bekerja sama dengan pemerintah Belanda dengan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan ratu Belanda sebagai ketuanya.
Setelah Perjanjian Linggajati ditandatangani hubungan RI-Belanda tidak menjadi lebih baik karena adanya perbedaan penafsiran isi perjanjian tersebut Belanda tetap berkeyakinan bahwa RI menjadi anggota persemakmuran yang berbentuk federasi, tetapi semua hubungan eksternalnya diurus oleh Belanda. Belanda juga menuntut dibentuk pasukan keamanan (gendar merie) bersama. Belanda akhirnya menggelar aksi polisional yang dikenal juga sebagai agresi militer Belanda yang secara otomatis membatalkan Perjanjian Linggajati.

b. Agresi Militer Belanda I dan Perjanjian Renville
Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melakukan agresi terbuka yang menimbulkan reaksi hebat dari dunia internasional. India dan Australia mengajukan permintaan resmi agar masalah Indonesia segera dimasukkan dalam daftar agenda Dewan Keamanan PBB dan diterima oleh PBB.

Dewan Keamanan PBB pada tanggal 1 Agustus 1947 memerintahkan penghentian permusuhan yang mulai berlaku sejak tanggal 4 Agustus 1947. Untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata, Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Konsuler dengan anggotanya para konsul jenderal yang berada di wilayah Indonesia.

Komisi Konsuler diketuai oleh Konsul Jenderal Amerika Serikat, Dr. Walter Foote dengan anggota konsul jenderal Cina, Belgia, Perancis, Inggris, dan Australia. Komisi Konsuler dalam laporannya kepada Dewan Keamanan PBB menyatakan bahwa tanggal 30 Juli-4 Agustus 1947 pasukan Belanda masih mengadakan gerakan militer.

Dewan Keamanan PBB pada tanggal 18 September 1947 membentuk Goodwill Commission (Komisi Jasa-Jasa Baik) atau lebih dikenal dengan nama Komisi Tiga Negara (KTN). Anggota KTN adalah Australia (Richard C. Kirby) dipilih oleh Indonesia, Belgia, (Paul van Zeeland) dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat (Frank B. Graham) dipilih oleh Australia dan Belgia.

Tugas KTN adalah membantu menyelesaikan konflik antara RI dan Belanda dengan mengusahakan penyelesaian persoalan secara damai. KTN juga sepakat untuk pertama-tama menyelesaikan masalah militer, sedangkan untuk masalah politik KTN sepakat hanya memberi saran.

KTN mengusulkan diadakan perundingan di atas kapal USS Renville antara Indonesia dan Belanda. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Amir Syarifuddin dan dari Belanda dipimpin oleh Abdul Kadir Wijoyoatmojo. Akhirnya pada tanggal 17 Januari 1948 disepakati dan ditandatangani dengan hasil perundingan sebagai berikut ini :
  • Penghentian tembak-menembak.
  • Daerah-daerah di belakang garis Van Mook harus dikosongkan dari pasukan Indonesia.
  • Belanda bebas membentuk negara-negara federal di daerah-daerah yang didudukinya.
  • Dalam Uni Indonesia-Belanda, Negara Indonesia Serikat sederajat degnan Kerajaan Belanda.
Akibat Perjanjian Renville wilayah RI menjadi semakin sempit. Bagi kalangan partai politik hasil perundingan memperlihatkan kekalahan perjuangan diplomasi. Bagi TNI, hasil Perundingan Renville menyebabkan harus ditinggalkan sejumlah wilayah. Perjanjian Renville berakhir ketika Belanda mengadakan Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948.

c. Perundingan Roem-Royen
Untuk menjamin berhentinya Agresi Militer Belanda II, PBB membentuk United Nations Commission for Indonesia (UNCI) atau Komisi PBB untuk Indonesia. Komisi ini berhasil mempertemukan Indonesia-Belanda yang dipimpin oleh Merle Cochran (wakil Amerika dalam UNCI) di Hotel Des Indes, Jakarta. 

Delegasi RI dipimpin oleh MR. Mohammad Roem dan Belanda dipimpin oleh J.H. van Royen. Perundingan dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan pada tanggal 7 Mei 1949 baru dicapai persetujuan yang dikenal degnan Persetujuan Roem-Royen.

Berikut hasil Persetujuan Roem-Royen :
  • Penarikan tentara Belanda dari Yogyakarta dilakukan pada tanggal 24-29 Juni 1949.
  • Tanggal 29 Juni 1949 TNI mulai memasuki kota Yogyakarta. Tanggal 10 Juli 1949, Panglima Besar Jenderal Sudirman baru tiba di Yogyakarta.
  • Setelah Yogyakarta sepenuhnya dikuasai TNI, presiden dan wakil presiden beserta para pemimpin lainnya tiba di Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949.
  • PDRI di Bukittinggi menyerahkan kembali mendatnya kepada pemerintah pusat Yogyakarta. Penyerahan ini dilaksanakan pada tanggal 13 Juli 1949.
Sebagai tindakan lanjut Perundingan Roem-Royen diadakan perundingan konsultasi antara RI, BFO, dan Belanda di Bangka pada tanggal 22 Juni 1949 yang dipimpin oleh Chritchley (Australia). Berikut hasil perundingan tersebut.

1. Pengembalian pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 1949.
2. Mengenai penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
3. KMB diusulkan akan diadakan di Den Haag.

d. Konferensi Inter-Indonesia.
Latar belakang adanya Konferensi Inter-Indonesia adalah adanya keinginan menjalin persatuan dan sikap bersama untuk menghadapi Belanda dalam KMB. Konferensi Inter-Indonesia berlangsung dua tahap. Pada tahap pertama konferensi berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 19-22 Juli 1949 dengan keputusan penting yaitu pembentukan negara Indonesia serikat dengan nama RIS, pembentukan Uni Indonesia-Belanda, dan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) sebagai angkatan perang nasional.

Pada tahap kedua konferensi berlangsung di Jakarta pada tanggal 30 Juli-2 Agustus 1949 dengan persetujuan yaitu benera RIS adalah Sang Merah Putih lagu kebangsaan Indonesia Raya dan bahasa nasional adalah bahasa Indonesia.

Konferensi ini dihadiri oleh wakil pihak Indonesia Drs. Moh. Hatta, pihak BFO diwakili oleh Sultan Hamid II, dan pihak Belanda hadir sebagai peninjau yaitu Van Maarseveen. Dari hasil Konferensi Inter-Indonesia tersebut, antara RI dan BFO sepakat bersama-sama menghadapi Belanda dalam KMB.

e. Konferensi Meja Bundar (KMB)
KMB dibuka di Ridderzaal, Den Haag, Belanda pada tanggal 23 Agustus 1949. KMB diikuti oleh delegasi Indonesia (Moh. Hatta), BFO (Sultan Hamid II), Belanda (Van Maarseveen), dan UNCI (Herremans, Merle Cochran, Chritchley).

Hasil yang dicapai dalam KMB sebagai berikut ini :
  • Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai negara merdeka dan berdaulat.
  • Status Keresidenan Irian Barat diselesaikan dalam waktu setahun sesuai pengakuan kedaulatan.
  • Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda berdasarkan kerja sama sukarela dan sederajat.
  • RIS mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan hak konsesi dan izin baru untuk perusahaan-perusahaan Belanda.
  • RIS harus membayar semua utang Belanda yang ada sejak tahun 1942.
Pada tanggal 27 Desember 1949 diadakan acara penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada Indonesia. Di Belanda bertempat di ruang takhta Amsterdam, pengakuan kedaulatan ditandatangani oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri Belanda Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. A.M.J.A. Sassen dan Ketua Delegasi RIS Drs. Moh. Hatta.

Pada saat yang sama di Jakarta (Istana Merdeka) juga berlangsung penandatanganan pengakuan kedaulatan dari wali tinggi mahkota Belanda (Lovink) kepada wakil pemerintah Republik Indonesia (Sri Sultan Hamengku Buwono IX). Dengan demikian, secara formal Belanda telah memberikan pengakuan kemerdekaan Indonesia di seluruh bekas wilayah Hindia-Belanda kecuali Irian Barat (sekarang Papua).

Dengan adanya pengakuan kedaulatan tersebut, berakhirlah masa revolusi bersenjata di Indonesia dan secara de jure Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun, atas kesepakatan rakyat Indonesia tanggal 17 Agustus 1950, RIS dibubarkan dan dibentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selanjutnya, pada tanggal 28 September 1950 Indonesia diterima menjadi anggota PBB yang ke-60. Hal itu berati bahwa kemerdekaan Indonesia secara resmi telah diakui oleh dunia internasional.

Baca juga selanjutnya di bawah ini :

Post a Comment for "Situasi Politik Indonesia pada Awal Kemerdekaan"