Perjuangan Tokoh Nasional dan Daerah dalam Mempertahankan Bangsa Indonesia
Perjuangan Tokoh Nasional dan Daerah dalam Mempertahankan Bangsa Indonesia - Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran atau pejuang yang gagah berani. Tidak semua orang mendapat gelar pahlawan. Salah satu kriteria yang harus dipenuhi adalah tokoh tersebut telah memimpin dan melakukan perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lainnya untuk mencapai atau merebut atau mempertahankan atau mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Berikut beberapa pahlawan nasional yang memiliki jasa dalam mewujudkan integrasi bangsa Indonesia.
1. Frans Kaisiepo
Frans Kaisiepo ialah salah satu yang memopulerkan lagu Indonesia Raya di Papua menjelang Indonesia merdeka. Frans Kaisiepo juga berperan dalam pendirian Partai Indonesia Merdeka (PIM) pada tanggal 10 Mei 1946. Pada tahun 1948 ikut berperan dalam merancang pemberontakan rakyat Biak untuk melawan pemerintah kolonial Belanda.
Pada tahun 1961, Frans Kaisiepo mendirikan partai politik Irian Sebagian Indonesia (ISI) yang menuntut penyatuan Nederlands Nieuw Guinea ke negara Republik Indonesia. Pada akhir tahun 1960-an, Frans Kaisiepo berupaya agar pepera dimenangkan oleh masyarakat yang ingin agar Papua bergabung ke Indonesia.
Frans Kaisiepo
Pada tahun 1961, Frans Kaisiepo mendirikan partai politik Irian Sebagian Indonesia (ISI) yang menuntut penyatuan Nederlands Nieuw Guinea ke negara Republik Indonesia. Pada akhir tahun 1960-an, Frans Kaisiepo berupaya agar pepera dimenangkan oleh masyarakat yang ingin agar Papua bergabung ke Indonesia.
2. Silas Papare
Sebulan setelah Indonesia merdeka, Silas Papare membentuk Komite Indonesia Merdeka (KIM) pada bulan September 1945. Adapun tujuan KIM adalah menghimpun kekuatan dan mengatur gerak langkah perjuangan dalam membela dan mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.
Sepanjang tahun 1950-an, Silas Papare berusaha agar Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia. Pada tahun 1962, Silas Papare mewakili Irian Barat duduk sebagai anggota delegasi Republik Indonesia dalam Perundingan New York antara Indonesia-Belanda dalam upaya untuk menyelesaikan masalah Papua. Berdasarkan New York Agreement tersebut, akhirnya Belanda setuju untuk mengembalikan Papua ke Indonesia.
Silas Papare
Sepanjang tahun 1950-an, Silas Papare berusaha agar Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia. Pada tahun 1962, Silas Papare mewakili Irian Barat duduk sebagai anggota delegasi Republik Indonesia dalam Perundingan New York antara Indonesia-Belanda dalam upaya untuk menyelesaikan masalah Papua. Berdasarkan New York Agreement tersebut, akhirnya Belanda setuju untuk mengembalikan Papua ke Indonesia.
3. Marthen Indey
Sebelum Jepang masuk ke Indonesia, Marthen Indey ialah seorang anggota polisi Hindia Belanda. Jabatan tersebut tidak berarti melunturkan sikap nasionalisnya. Keindonesiaan yang dimilikinya justru semakin tumbuh tatkala sering berinteraksi dengan tahanan politik Indonesia yang dibuang Belanda ke Papua.
Bahkan Marthen Indey pernah berencana bersama anak buahnya untuk memberontak terhadap Belanda di Papua, tetapi mengalami kegagalan. Antara tahun 1945- 1947, Marthen Indey masih menjadi pegawai pemerintah Belanda dengan jabatan sebagai kepala Distrik. Meskipun demikian, bersama-sama kaum nasionalis di Papua, secara sembunyi-sembunyi Marthen Indey menyiapkan pemberontakan, tetapi sekali lagi pemberontakan gagal dilaksanakan.
Marthen Indey sejak tahun 1946 menjadi ketua Partai Indonesia Merdeka (PMI). Marthen Indey kemudian memimpin sebuah aksi protes yang didukung delegasi 12 kepala suku terhadap keinginan Belanda yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia. Marthen Indey juga mulai terang-terangan menghimbau anggota militer yang bukan orang Belanda untuk melancarkan perlawanan terhadap Belanda. Akibat aktivitasnya tersebut, pemerintah Belanda menangkap dan memenjarakan Marthen Indey.
Pada tahun 1962 setelah keluar dari penjara, Marthen Indey menyusun kekuatan gerilya sambil menunggu kedatangan tentara Indonesia yang akan diterjunkan ke Papua dalam rangka operasi Trikora. Setelah perang selesai, Marthen Indey berangkat ke New York untuk memperjuangkan masuknya Papua ke Indonesia di PBB hingga akhirnya Papua menjadi bagian Republik Indonesia.
4. Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Pada waktu Sultan Hamengku Buwono IX dinobatkan menjadi raja Yogyakarta pada tahun 1940, beliau dengan tegas menunjukkan sikap nasionalismenya. Sikap tersebut diperkuat ketika tidak sampai tiga minggu setelah pembacaan Teks Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan Kerajaan Yogyakarta adalah bagian dari negeri Republik Indonesia.
Sultan mengirim ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta sebagai presiden dan wakil presiden. Sejak awal kemerdekaan, Sultan Hamengku Buwono IX banyak memberikan fasilitas bagi pemerintah RI yang baru terbentuk untuk menjalankan roda pemerintahan, misalnya markas ibu kota RI pernah berada di Yogyakarta atas saran beliau. Pada waktu perang kemerdekaan, Sultan memberi bantuan logistik dan perlindungan bagi kesatuan-kesatuan TNI. Sultan Hamengku Buwono IX pernah menolak tawaran Belanda yang akan menjadikannya raja seluruh Jawa setelah Agresi Militer Belanda II.
5. Sultan Syarif Kasim II
Pada waktu berusia 21 tahun, Sultan Syarif Kasim II dinobatkan menjadi raja Siak Indrapura pada tahun 1915. Sultan Syarif Kasim II berpendapat bahwa Kerajaan Siak berkedudukan sejajar dengan Belanda. Berbagai kebijakan yang dilakukannya sering bertentangan dengan keinginan Belanda.
Pada waktu berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sampai di Siak, Sultan Syarif Kasim II segera mengirim surat kepada Soekarno-Hatta dan menyatakan kesetiaan dan dukungan terhadap pemerintah RI serta menyerahkan harta senilai 13 juta gulden untuk membantu perjuangan Republik Indonesia. Kesultanan Siak pada masa itu dikenal sebagai kesultanan yang kaya.
Selanjutnya Sultan Syarif Kasim II membentuk Komite Nasional Indonesia di Siak, Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan Barisan Pemuda Republik Indonesia. Sultan Syarif Kasim II segera mengadakan rapat umum di istana serta mengibarkan bendera Merah Putih dan mengajak raja-raja di Sumatera Timur lainnya agar turut memihak Republik Indonesia.
Pada waktu berlangsung revolusi kemerdekaan, Sultan Syarif Kasim II menyuplai bahan makanan untuk para laskar. Sultan Syarif Kasim II menyerahkan 30% kekayaannya berupa emas kepada Presiden Soekarno di Yogyakarta untuk kepentingan perjuangan. Pada waktu Gubernur Jenderal de facto Hindia Belanda, Van Mook mengangkatnya sebagai sultan boneka Belanda Sultan Syarif Kasim II menolaknya. Atas jasanya, Sultan Syarif Kasim II dianugrahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia.
6. Ismail Marzuki
Lagu-lagu yang diciptakan Ismail Marzuki sangat diwarnai oleh semangat kecintaanya terhadap tanah air. Pada waktu RRI dikuasai Belanda pada tahun 1947, Ismail Marzuki yang sebelumnya aktif dalam orkes radio memutuskan keluar karena tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Setelah RRI kembali diambil alih oleh Republik Indonesia, baru beliau mau kembali bekerja di RRI.
Lagu-lagu yang diciptakan Ismail Marzuki sarat dengan nilai-nilai perjuangan yang menggugah rasa kecintaan terhadap tanah air dan bangsa. Lagu tersebut seperti Rayuan Pulau Kelapa (1944). Halo-Halo Bandung (1946) diciptakan untuk membangkitkan semangat juang saat revolusi kemerdekaan, dan Sepasang Mata Bola (1946) menggambarkan harapan rakyat untuk merdeka.
7. Opu Daeng Risaju
Semangat perlawanannya untuk melihat rakyat keluar dari cengkeraman penjajah membuat Opu Daeng Risaju rela mengorbankan dirinya. Nama kecil Opu Daeng Risaju ialah Famajjah. Opu Daeng Risaju lahir di Palopo pada tahun 1880. Orang tuanya bernama Opu Daeng Mawellu dan Muhammad Abdullah to Barengseng. Adapun nama Opu menunjukkan gelar kebangsawanan di Kerajaan Luwu.
Setelah dewasa Famajjah dinikahkan dengan H. Muhammad Daud, seorang ulama yang pernah bermukim di Mekah. Melalui perkenalannya dengan H. Muhammad Yahya (seorang pedagang asal Sulawesi Selatan yang pernah lama bermukim di Jawa), Opu Daeng Risaju mulai aktif di organisasi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Selanjutnya, Opu Daeng Risaju membentuk cabang PSII di Palopo. Pada tanggal 14 Januari 1930 PSII resmi dibentuk melalui suatu rapat akbar yang bertempat di Pasar Lama Palopo.
Kegiatan yang dilakukan Opu Daeng Risaju didengar oleh controleur afdeling Masamba. Kemudian, controleur afdeling Masamba mendatangi rumah Opu Daeng Risaju dan menuduh Opu Daeng Risaju telah melakukan tindakan menghasut rakyat atau menyebarkan kebencian di kalangan rakyat untuk membangkang terhadap pemerintah.
Atas tuduhan tersebut, pemerintah kolonial Belanda menjatuhkan hukuman penjara selama 13 bulan. Hukuman tersebut tidak membuat Opu Daeng Risaju jera. Setelah keluar dari penjara Opu Daeng Risaju semakin aktif dalam menyebarkan PSII.
Meskipun mendapat tekanan yang berat dari pihak kerajaan dan pemerintah kolonial Belanda, Opu Daeng Risaju tidak menghentikan aktivitasnya. Opu Daeng Risaju mengikuti kegiatan dan perkembangan PSII, baik di daerah maupun di tingkat nasional. Pada tahun 1933 dengan biaya sendiri, Opu Daeng Risaju berangkat ke Pulau Jawa untuk mengikuti kongres PSII.
Ternyata kedatangan Opu Daeng Risaju ke Jawa menimbulkan sikap tidak senang dari pihak kerajaan. Opu Daeng Risaju dipanggil kembali oleh pihak kerajaan dan dianggap telah melakukan pelanggaran dengan melakukan kegiatan politik. Oleh anggota Dewan Hadat yang pro-Belanda, Opu Daeng Risaju dihadapkan pada pengadilan adat dan Opu Daeng Risaju dianggap melanggar hukum.
Anggota dewan adat yang pro-Belanda menuntut agar Opu Daeng Risaju dijatuhi hukuman dibuang. Namun, Opu Balirante yang pernah membela Opu Daeng Risaju menolak usul tersebut. Akhirnya Opu Daeng Risaju dijatuhi hukuman penjara selama empat belas bulan pada tahun 1934.
Pada masa Pendudukan Jepang, Opu Daeng Risaju tidak banyak melakukan kegiatan di PSII. Hal tersebut disebabkan oleh adanya larangan dari pemerintah Jepang terhadap kegiatan politik organisasi pergerakan kebangsaan, termasuk di dalamnya PSII.
Pada masa revolusi, Opu Daeng Risaju kembali aktif. Di Luwu pada masa revolusi terjadi pemberontakan yang digerakan oleh pemuda sebagai sikap penolakan terhadap kedatangan NICA di Sulawesi Selatan yang ingin kembali menjajah Indonesia. Opu Daeng Risaju banyak melakukan mobilisasi terhadap pemuda dan memberikan doktrin perjuangan kepada pemuda.
Tindakan yang dilakukan Opu Daeng Risaju tersebut membuat NICA berupaya untuk menangkapnya. Dalam persembunyiannya, Opu Daeng Risaju ditangkap dan kemudian dibawa ke Watampone dengan cara berjalan kaki sepanjang 40 km. Opu Daeng Risaju ditahan dipenjara Bone dalam satu bulan tanpa diadili, kemudian dipindahkan ke penjara Sengkang dan kemudian dibawa ke Bajo.
Selama di penjara, Opu Daeng Risaju mengalami penyiksaan. Penyiksaan tersebut berdampak pada pendengarannya. Setelah pengakuan kedaulatan RI tahun 1949, Opu Daeng Risaju pindah ke Pare-Pare mengikuti anaknya, Haji Abdul Kadir Daud. Sejak tahun 1950, Opu Daeng Risaju tidak aktif di PSII. Opu Daeng Risaju meninggal pada tanggal 10 Februari 1964 dan dimakamkan di perkuburan raja-raja Lokkoe di Palopo.
8. Abdul Haris Nasution
Abdul Haris Nasution lahir pada tanggal 3 Desember 1918 di Hutan Pungut, kota Nopan, Tapanuli Selatan. Setelah tamat dari HIS, Nasution melanjutkan ke Hollands Inlandsche Kweekschool di Bukittinggi, kemudian dilanjutkan ke Bandung. Pada tahun 1940, Nasution memasuki pendidikan militer pada Corps Opleiding Reserve Offocieren (CORO).
Abdul Haris Nasution
Setelah kemerdekaan Nasution bergabung dengan TKR. Sejak itulah banyak posisi yang diemban Nasution, seperti Kepala Staf Komandemen TKR Jawa Barat, Komando Divisi III, Panglima Divisi Siliwangi, Wakil Panglima Besar Angkatan Perang, Panglima Tentara dan Teritorial Djawa.
Nasution merupakan salah satu dari sasaran peristiwa G-30-S/PKI. Beliau berhasil meloloskan diri dalam peristiwa itu, tapi anaknya Ade Irma Suryani Nasution, meninggal. Pada masa Orde Baru, Nasution pernah menjabat sebagai ketua MPRS. Ketika memasuki usia pensiun tahun 1972, pangkat beliau naik menjadi Jenderal Besar TNI. Nasution meninggal pada tanggal 5 September 2000 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Oleh pemerintah, Nasution dianugrahi gelar Pahlawan Nasional melalui SK Presiden Nomor 073/TK/2002.
9. Ahmad Yani
Ahmad Yani lahir pada tanggal 19 Juni 1922 di Purworejo. Ahmad Yani meninggalkan sekolah di AMS bagian B karena harus mengikuti wajib militer yang diadakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Ahmad Yani mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang. Namun, pendidikan tersebut terputus pada masa Pendudukan Jepang.
Selanjutnya, Ahmad Yani mengikuti pendidikan heiho di Magelang dan tentara Peta di Bogor. Ketika terjadi pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948, Ahmad Yani ikut memadamkan pemberontakan tersebut. Pada waktu berlangsung Agresi Militer Belanda I, pasukan Ahmad Yani berhasil menahan laju tentara Belanda di Pingit. Pada masa Agresi Militer II, Ahmad Yani diangkat menjadi Komandan Wehrkreise II untuk daerah Kedu.
Ketika terjadi pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah, Ahmad Yani membentuk pasukan khusus yang bernama Banteng Raiders dalam upaya memadamkan pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah. Karier Ahmad Yani terus meningkat dan beliau ditarik menjadi Staf Angkatan Darat dan disekolahkan pada Command and General Staff College di Amerika.
Setelah pulang dari mengikuti tugas belajar di Amerika Serikat pada tahun 1958, beliau ditunjuk sebagai Komandan Komando Operasi 17 Agustus di Padang dengan tugas meredam pemberontakan PRRI/Permesta. Dalam waktu singkat Ahmad Yani berhasil menduduki kota Padang dan Bukittinggi.
Dengan keberhasilan tersebut mengantarkan Ahmad Yani menduduki Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pada tahun 1962. Pada tahun 1962 Ahmad Yani menolak keinginan PKI yang ingin membentuk angkatan kelima (yang terdiri dari buruh dan tani yang disenjatai).
Pada waktu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat Ahmad Yani bersama patinggi Angkatan Darat yang lainnya menjadi korban peristiwa G-30-S/PKI. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pada tanggal 5 Oktober 1965 melalui SK Presiden Nomor 111/KOTI/1965, pemerintah menganugrahinya gelar Pahlawan Revolusi.
Post a Comment for "Perjuangan Tokoh Nasional dan Daerah dalam Mempertahankan Bangsa Indonesia"