Berdirinya Kerajaan Syafawi Tahun 1503 - 1722 M
Berdirinya Kerajaan Syafawi Tahun 1503 - 1722 M
Kerajaan Syafawi berdiri sejak tahun 1503-1722 M., (Marshal G.S.Hodson, t.th.: 16). Kerajaan" ini berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat syafawiyah, yang diambil dari nama pendirinya, Sati Al-Din dan nama Syafawi terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan (Yatim, 1997: 138).
Sementara itu, di Persia muncul suatu dinasti yang kemudian merupakan suatu kerajaan besar di dunia Islam. Dinasti ini berasal dari seorang sufi Syekh Ishak Safiuddin dari Ardabil di Azerbaijan (Nasution, op. cit., 1985: 84).
Safiuddin berasal dari keturunan yang berbeda dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Ia keturunan dari Imam Syi'ah yang enam, Musa Al-Kazim. Oleh karena itu, untuk tahap selanjutnya Kerajaan Syafawi menyatakan Syi'ah sebagai madzhab negara. Karena itu, kerajaan ini dapat dianggap sebagai peletak pertama dasar terbentuknya negara Iran dewasa ini (Yatim, 1997: 138).
Suatu hal yang sangat spektakuler dari Kerajaan Syafawi bahwa kerajaan tersebut beraliran Syi’ah dan menjadikannya sebagai dasar keyakinan negara (Marshal, G.S. Hodson, t.th.: 16). Syekh Safiuddin beraliran Syi’ah dan mempunyai pengaruh besar di daerah Persia (Nasution, op. cit., hlm. 84).
Uraian di atas dapat dipahami bahwa penggagas awal berdirinya Kerajaan Syafawi adalah Syekh Ishak Safiuddin yang semula hanya sebagai mursyid tarekat dengan tugas dakwah agar umat Islam secara murni berpegang teguh pada ajaran agama.
Namun, pada tahun selanjutnya setelah memperoleh banyak pengikut fanatik akhirnya aliran tarekat ini berubah menjadi gerakan politik dan awal memperoleh kebiasaan secara konkret pada masa Junaid. Kerajaan Safiuddin beraliran Syi'ah dan menjadikannya sebagai dasar keyakinan negara.
1. Kondisi Politik dan Sosial Kerajaan Syafawi
Keadaan politik pada masa Syafawi mulai bangkit kembali setelah Abbas naik tahta dari tahun 1587-1629 dan dia menata administrasi negara dengan cara yang lebih baik (Marshal G.S. Hodson, t.th.: 38). Kondisi memprihatinkan Kerajaan Syafawi bisa diatasi setelah Raja Syafawi kelima, Abbas I naik tahta, ia memerintah dari tahun 1587-1629 M. (Yatim, 1997: 142).
Langkah-langkah yang ditempuh Abbas I dalam rangka memulihkan politik Kerajaan Syafawi adalah :
a. mengadakan pembenahan administrasi dengan cara pengaturan dan pengontrolan dari pusat;
b. pemindahan ibukota ke Isfahan, (Marshal G.S. Hodson, t.th. : 40);
c. berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qiziblash atas Kerajaan Syafawi dengan cara membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri atas budak-budak yang berasal dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia, dan Sircassia yang telah ada sejak Raja Tamh I;
d. mengadakan perjanjian damai dengan Turki Utsmani;
e. berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pada khotbah Jumat (Yatim. 1997: 142).
Reformasi politik yang dilakukan oleh Abbas I tersebut berhasil membuat Kerajaan Syafawi kuat kembali. Setelah itu, Abbas I mulai memusatkan perhatiannya merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yang hilang (Yatim, 1997: 143).
Selanjutnya, perlu diketahui bahwa Kerajaan Syafawi dan Turki Utsmani sebelum abad ke-17 sudah saling bermusuhan dan Syafawi mengalami banyak kekalahan, namun setelah Abbas I naik tahta Kerajaan Syafawi dalam merebut wilayah kekuasaan Turki Utsmani banyak mengalami kemenangan.
Menurut Badri Yatim, rasa permusuhan antara dua kerajaan aliran agama yang berbeda ini tidak pernah padam sama sekali. Abbas I mengarahkan serangan-serangannya ke wilayah Kerajaan Turki Utsmani pada tahun 1602 M. Di saat Turki Utsmani berada di bawah Sultan Muhammad III.
Pasukan Abbas I menyerang dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan Baghdad. Sedangkan Nakh Chivan, Erivan, Ganja, dan Tiflis dapat dikuasai tahun 1605-2906 M. Selanjutnya, pada tahun 1622 M., pasukan Abbas I berhasil merebut Kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas (Yatim, 1997: 143).
Pada tahun 1902 M., pecahlah perang Turki dengan Austria dan tentara Turki yang lain terpaksa pergi memadamkan pemberontakan kaum tarekat Jalaliah (Maulawiyah) di Asia Kecil. Kesempatan ini diambil oleh Syekh Abbas dan berhasil merebut kembali Tibriz dari tangan Turki. Setelah itu, dirampas juga Sirwan dan akhirnya diambilnya Baghdad kembali yang sudah berkali-kali jatuh ke tangan Turki (Hamka, 1981: 69).
Kemudian, ia sanggup menaklukkan negeri Kaukasus dan diperkuatnya batas-batas kekuasaan sampai ke Balakh dan Merv. Pada bulan Maret 1622 M. ia dapat pula merampas pulau Hurmuz yang telah sekian lama menjadi pangkalan kekuatan bangsa Portugis (Hamka, 1981: 69). Sesudah Syah Abbas I, tidak ada lagi Raja Syafawi yang kuat dan akhimya kerajaan ini dapat dijatuhkan oleh Nadhir Syah (Nasution, 1985: 85).
2. Kondisi Keagamaan
Pada masa Abbas, kebijakan keagamaan tidak lagi seperti masa khalifah-khalifah sebelumnya yang senantiasa memaksakan agar Syi'ah menjadi agama negara, tetapiia menanamkan sikap toleransi. Menurut Hamka, terhadap politik keagamaan beliau tanamkan paham toleransi atau lapang dada yang amat besar.
Paham Syi'ah tidak lagi menjadi paksaan, bahkan orang Sunni dapat hidup bebas mengerjakan ibadahnya. Bukan hanya itu saja, pendeta-pendeta Nasrani diperbolehkan mengembangkan ajaran agamanya dengan leluasa sebab sudah banyak bangsa Armenia yang telah menjadi penduduk setia di kota Isfahan (Hamka, 1981: 70).
3. Kondisi Ekonomi
Stabilitas politik Kerajaan Syafawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian Syafawi, terlebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah, menjadi Bandar Abbas. Dengan dikuasainya bandar ini, salah satu jalur dagang laut antara timur dan barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis sepenuhnya menjadi milik Kerajaan Syafawi (Yatim, 1997: 144).
Di samping sektor perdagangan, Kerajaan Syafawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian terutama di daerah bulan sabit subur (fortile crescent) (Yatim, 1997: 144). Namun, setelah Abbas I mangkat perekonomian, Syafawi lambat laun mengalami kemunduran dan puncak kemundurannya terjadi pada masa kekuasaan Syafi Mirza.
Pada masa itu, rakyat cenderung masa bodoh karena mereka sudah banyak memperoleh penindasan dari Syafi Mirza, tetapi saudagar-saudagar bangsa asing banyak berdiam di Iran dan mengendalikan kegiatan ekonomi (Hamka, 1981: 72).
4. Kondisi Bidang Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah Islam, bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pada masa Kerajaan Syafawi, khususnya ketika Abbas I berkuasa, tradisi keilmuan terus berkembang.
Berkembangnya ilmu pengetahuan masa Kerajaan Syafawi tidak lepas dari suatu doktrin mendasar bahwa kaum Syi'ah tidak boleh taqlid dan pintu ijtihad selamanya terbuka. Kaum Syi'ah tidak seperti kaum Sunni yang mengatakan bahwa ijtihad telah terhenti dan orang mesti taqlid saja. Kaum Syi'ah tetap berpendirian bahwasanya mujtahid tidak terputus selamanya (Hamka, 1987: 70).
Ilmuan yang melestarikan pemikiran-pemikiran Aristoteles, Al-Farabi, dan Suhrowardi pada sekitar abad ke-17 di Kerajaan Syafawi adalah Mullah Sadr dan Mir Damad, (Marshal C.S. Hodson, t.th.: 44). Dalam keterangan lain disebutkan, ada beberapa ilmuan yang selalu hadir di majelis istana, yaitu Baha Al-Din Al-Syaerazi, filosof dan Muhammad Bagir Ibn Muhammad Damad', filosof ahli sejarah, teolog, dan ia adalah seorang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah (Yatim, 1997: 144) Zende, Rud, dan istana Chihil Sutan.
Kota lsfahan juga diperindah dengan taman-taman yang ditata secara baik dan ketika Abbas wafat, beliau meninggalkan 162 masjid, 48 akademi, 1.802 penginapan, dan 273 pemandian yang ada di Isfahan (Marshal 6.8. Hodson, t.th.: 40).
Di bidang seni, kemajuan tampak begitu jelas gaya arsitektur bangunannya, seperti terlihat pada Masjid Syah yang dibangun tahun 1603 M. Unsur seni lainnya terlihat dalam bentuk kerajinan tangan. kerajinan karpet, permadani, pakaian, tenunan, mode, embikar, dan benda seni lainnya.
Seni lukis mulai dirintis sejak zaman Tamasp I, Raja Ismail pada tahun 1522 M. membawa seorang pelukis Timur ke Tabriz, pelukis itu bernama Bizhard (Marshal G.S. Hodson, r.a.: 40). Menurut Hamka (1987: 70) pada zaman Abbas I berkembanglah kebudayaan, kemajuan, dan keagungan pikiran mengenai seni lukis, pahat, syair, dan sebagainya.
Di antara pujangga yang gemerlapan bintangnya, ialah Muhammad Bagir ibn Muhammad Damad, ahli tilsafat dan ilmu pasti. Abbas sendiri asyik dengan ilmu tersebut, bahkan tidak segan Abbas mengadakan penyelidikan sendiri. Beliau tidak lengah menggerakkan kemajuan pengetahuan-pengelahuan khusus mengenai agama, terutama ilmu fiqh.
Di antara ulama besar yang sangat ternama pada waktu itu ialah Baharudin Al-Amili, selain dari seorang ahli agama beliau pun ahli kebudayaan yang mengetahui soalSoal dari berbagai segi. Pada waktu itu, hidup juga filosof Shadaruddin Asyaerozi, ahli filsafat ketuhanan yang banyak mempengaruhi timbulnya paham bahai yang sekarang mengakui diri mereka agama baru. Demikian puncak kemajuan yang dicapai oleh Kerajaan Syafawi pada masa Abbas I abad ke-17 dan setelah Abbas I wafat, kondisi ilmu pengetahun dan seni mengalami banyak kemunduran.
Baca juga di bawah ini :