Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perkembangan Islam Jaman Kesultanan Delhi

Perkembangan Islam Jaman Kesultanan Delhi  - Periode ini dipimpin oleh Quthbuddin Aybak setelah hancur Gaznawi (1186 M.) dan Dinasti Ghuri (1192 M.). Dua dinasti di atas, tampaknya tidak mampu mengembangkan kekuasaannya. Sementara Aybak lebih pandai karena ia memiliki kemampuan manajemen politik dan keterampilan yang sangat hebat. 

Hingga akhirnya, Aybak secara independen. membentuk dinasti yang berpusat di Delhi dengan nama Kesultanan Delhi (1206-1526). Kesultanan yang berisi para budak militer, menandai adanya periode tunggal dalam sejarah muslim India. Ini terjadi karena adanya kesinambungan kepemimpinan pemerintahannya, baik dalam suksesi kepemimpinan atas dasar warisan kepercayaan militer yang cukup panjang maupun dari segi keberlanjutan kepemimpinan para budak dan panglima yang tangguh berasal dari Turki dan Afganistan serta Asia Tengah”), sebagai “penerus” tradisi Dinasti Mamluk. 

Dalam tulisan Daniel Pipes yang dikutip Ajid dan Ading”), menguraikan bahwa, realitas pemerintahan Aybak (Delhi) lebih mirip dengan pola militerisme Tartar Mongol. Dalam setiap kebijakan suksesi kepemimpinan militerisme Tartar Mongol, para pengganti biasanya tidak selalu berasal dari sanak keluarga, tetapi bisa saja dari orang yang dianggap mampu memimpin dan mengembangkan kekuatan militer kelompoknya.

Perkembangan Islam Jaman Kesultanan Delhi

Inilah periode kekuasaan para budak militer (the slave soldiers) yang mewarnai wilayah timur Islam, pasca-Abbasiyah. Di sebelah barat, terutama Mesir dan Siria, kekuatan seperti ini ditunjukkan pula oleh para budak-budak militer Turki yang terorganisasi dalam Muluk Al-Burji dan Muluk Al-Bahri. Mereka pada umumnya mencari legitimasi kekuasaan yang bernaung di bawah legitimasi para pewaris keluarga Khalifah Dinasti Abbasiyah. 

Hal itu dilaktlkan dalam rangka mendapat proteksi dan kharismatik dari masyarakat Islam secara luas bahwa pemerintahannya diakui oleh tradisi Abbasiyah. Tradisi seperti ini banyak dilakukan pada periode sebelumnya oleh para daulat-daulat kecil (al-duwailat), di hampir seluruh provinsi kekuasaan Abbasiyah Baghdad untuk hidup secara mandiri dan setengah independen dalam berpolitik. 

Kemandiriannya, secara teologi politik, belum sepenuhnya mereka tunjukkan. Pada umumnya, mereka masih bernaung dalam kewibawaan otoritas kekhalifahan pusat yang berdasarkan konsep klasik bahwa seorang khalifah harus berasal dari turunan Quraisy, Al-Aimmat min Quraisy. 

Sikap seperti ini terus mereka pelihara, baik melalui pencantuman nama para khalifah pusat dalam koin mata uang, mendoakannya dalam setiap kesempatan khotbah Jumat, bahkan melalui pemberian upeti kepada penguasa pusat yang masih dianggap sakral dalam politik. 

Oleh karena itu, para panglima militer yang secara de facto dan de jure berkuasa penuh saat itu, secara politik di wilayah barat Baghdad, tetapi tidak berani menyebut dirinya sebagai khalifah. Mereka lebih senang untuk menyebut dirinya sebagai sultan. Mereka sangat berjasa terutama dalam menangkis berbagai serangan pasukan Salib dari Eropa yang hendak menjarah kembali Wilayah-wilayah Islam yang sebelumya telah dikuasai oleh bangsa lain.

Atas dasar itu, mereka terus berupaya untuk membuat garis genealogis yang menunjukkan bahwa ia berasab dari keluarga mulia, .yakni dari silsilah keluarga raja-raja pra-Islam, seperti Raja Sasanid dari Persia. Mereka pada umumnya tidak mungkin menyambungkannya dengan tokoh-tokoh keluarga besar Arab. 

Bahkan, tidak sedikit dari mereka (para panglima), mengungkapkan konsep dan strategi militer yang ditunjukkan dalam hal-hal yang berhubungan dengan kekuatan fisiknya. Ini dilakukan untuk menunjukkan kekuatannya. Peran utama mereka adalah memperluas kekuatan Islam. 

Bahkan, mereka berkeinginan kuat untuk menunjukkan dan meyakinkan kepada raja dan masyarakat Hindu bahwa kekuasaannya sangat besar dan selalu menempati posisi yang hebat di mata rakyat India umumnya. Peran utama ini, tampaknya didukung bukan hanya oleh kehebatannya dalam menata kekuatan militer, melainkan juga loyalitas para budak militer yang selalu dibinanya agar terus membantu mereka dalam menjaga dan mengontrol kewibawaannya di mata rakyat India. 

Keberhasilan dan kesuksesan sultan-sultan budak sebagai tradisi Mamluk terdahulu yang diterapkan dalam memerintah wilayah sekitar India, bukan hanya menghasilkan kontrol politik, melainkan juga sangat mewarnai proses Islamisasi. 

Salah satu cara yang dilakukan para penguasa untuk mengenalkan Islam kepada mereka adalah menerjemahkan teksteks keislaman dengan jumlah kurang lebih 1.500 buah dari bahasa Arab dan Persia ke dalam berbagai bahasa lokal India. Dengan cara demikian, pemikiran tentang keislaman masuk ke dalam masyarakat India, kecuali di pusat-pusat Hindu yang ekstrem seperti di Vijayanagar sebagaimana temuan Sayyidina Alvi sebagaimana dikutip Aj id dan Ading. 

Lambat laun, posisi India sebagai simbol dari masyarakat muslim di Asia Selatan, secara keseluruhan berhasil mengembangkan warisan “Irano-Turkish” dalam membangun peradaban di wilayah ini. Dalam hal tradisi militer, mereka membawa dasar-dasar karakter Turki, sedangkan dalam administrasi politik dan bahasa komunikasi pemerintahan (the language of high culture), bahasa Persia menjadi bahasa pengantar, sekaligus menjadi bahasa resmi di seluruh wilayah yang berada di bawah pemerintahan mereka.

Peran India, pada akhirnya menjadi solusi atau sebagai simbol dari arus pemikiran Islam yang membeku di Timur Tengah saat itu akibat suasana yang mencekam oleh situasi Mongolisme kembali menjadi cair oleh bangkitnya keislaman di Asia Selatan, terutama setelah Hijaz menjadi wilayah persimpangan antara India dan Mekah. 

Contoh spesifik dalam hal ini adalah hubungan Sultan Muhammad Tughluq (1325-1351 M.) yang begitu dalam dengan pemikiran Ibnu Taymiyah (1263-1327 M.), seorang pemikir pasca-Mongol. Bahkan, ia terinspirasi oleh berbagai pemikiran ulama yang satu ini hingga ia banyak menggagas kembali penegakan sistem kekhalifahan untuk diterapkan di wilayah India. 

Hubungan baik ia jalin melalui bahasa hubungan diplomatik dengan penguasa Mamluk di Mesir. Ternyata, mereka melindungi turunan para Khalifah Abbasiyah sebagai penguasa antar waktu. Tughluq meminta legitimasi spiritual sebagai penguasa yang sah kepada para Khalifah Abbasiyah di Mesir untuk memimpin umat islam di India. 

Kesadaran sejarah politik Sunni pada periode pertengahan ternyata terus tumbuh dan dipelihara oleh proses dan tradisi seperti ini. Kejayaan ini mulai menghilang ketika imperialisme Barat mulai berdatangan yang memandang bahwa pendirian wilayah kekuasaan tidak perlu meminta izin dan legitimasi dari siapa pun, kecuali dari rakyat yang mendukungnya.

Baca juga di bawah ini


Setelah periode Khalji (1290-1320 M.) dan Tughluq (1320-1413 M) mulai menurun. Periode ini dipegang oleh keluarga budak Sayyid (1414 - 1451 M). turunan keluarga Rasulullah SAW., dan keluarga Lodi (1451-1526 M.). Hingga Lodi digulingkan kepemimpinannya ketika kalah pertempuran dengan Zahiruddin Babur yang didukung oleh Timur Lenk (1526 M.). Sejak saat itu, Kesultanan Delhi hancur dan diganti dengan Kesultanan Mughal.