Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Berakhirnya Pemerintahan Mamluk Bahri dan Burji

Berakhirnya Pemerintahan Mamluk Bahri dan Burji 

Kehancuran pemerintah Mamluk baik Bahri ataupun Burji pada dasarnya berasal dari internal istana sendiri. Meskipun faktor luar pun memberikan pengaruh terhadap kehancuran Mamluk sebagai faktor eksternal. Gaya hidup yang tinggi diperlihatkan oleh Sultan Nashir selama ia memerintah. 

Hal itu dilakukan karena ia menjabat sultan sebanyak tiga kali (lihat tabel di atas). Misalnya, ketika Nashir mengadakan pesta perkawinan anaknya. Ia menyajikan 18.000 irisan roti, menyembelih 20.000 ekor ternak, dan menyalakan 3.000 batang lilin untuk menerangi istananya. Selain itu, Nashir senang mengeluarkan uang untuk kesenangan pribadinya, yakni olah raga berkuda. Tiga puluh ribu dinar, ia keluarkan demi seekor kuda yang disenangi. 

Gaya hidup yang tinggi pada masa Nashir dibebankan kepada rakyat untuk membayar pajak yang lebih tinggi dan menjadi salah satu sebab runtuhnya Dinasti Mamluk Bahri. Hingga penerus keturunan Nashir sampai dua belas keturunan berlaku sama, seperti Nashir pendahulunya. 

Berakhirnya Pemerintahan Mamluk Bahri dan Burji

Secara internal, sebagai temuan Ibn Al-Taghri Birdi yang dikutip K. Hitti, menjelaskan bahwa : 

“Faktor kehancuran Mamluk Burji tampak terlihat dari para sultan atau pegawainya yang berperilaku buruk, seperti tipu daya, pembunuhan, dan pembantaian. Sebagian sultan melakukan tindakan kejam, curang, dan sebagian yang lain tidak efisien atau bahkan bermoral bejat'dan kebanyakan dari mereka tidak beradab. Sultan Al-Mu’ayyan (1412-1421), seorang pemabuk yang dibeli oleh Barquq dari penjual budak Sirkasius, melakukan berbagai tindakan keji yang melebihi batas.”

Begitu pula dalam tulisan Al-Suyuthi, bahwa : 

“Hanya Sultan Barquq dari begitu banyak sultan yang mempunyai ayah seorang Muslim“.
Perilaku sultan yang tidak terpuji ini terlihat pula pada Sultan Barsibai (1422-1438) yang awalnya dipekerjakan bersama budak-budak Barquq. sama sekali tidak memahami bahasa Arab. Bahkan, ia pernah memenggal kepala duabrang dokternya karena tidak bisa menyembuhkannya dari penyakit parah. Begitu pula Sultan Inal (1453-1460), budak Barquq yang tidak bisa membaca dan menulis, bahkan tidak hafal surat pertama Al-Quran dengan baik.

Korupsi dan monopoli ekonomi dilakukan oleh para sultan dalam mengelola pembangunan. Misalnya. Sultan Barsibai melarang impor rempah-rempah dari India padahal ia termasuk importir lada yang sangat dibutuhkan. Sebelum harga naik, ia memonopoli persediaan rempah yang , ada, kemudian menjualnya kepada konsumen dengan laba yang sangat tinggi. Dia juga memonopoli produksi gula, dan melangkah lebih jauh dengan melarang tanaman tebu selama satu periode dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang sangat besar baginya. 

Secara eksternal, kalangan Mamluk Burji lebih tidak peduli ketimbang mengurus persoalan domestik dalam negeri. Kondisi ini terbaca oleh para “musuh” lamanya, seperti tentara Mongol yang berkeinginan untuk merebut kembali, ditambah pasukan Utsmani dari Anatolia yang memperparah kehancuran Mamluk Burji. 

Dalam tulisan Ahmad Al-Usairy dipaparkan detik-detik berakhirnya Mamluk Burji sebagai berikut :

Pasukan Utsmani di bawah pimpinan Sultan Salim, mengalahkan pemeritahan Al-Saffariah pada perang Jaladz'ran yang sangat terkenal pada tahun 920 H./1514 M. Mereka berhasil memasuki ibukotanya, Tibriz. Dengan demikian, Irak kini berhasil masuk di bawah kekuasaan Utsmani. Setelah itu, mereka berhasil pula mengalahkan pemerintahan Mamluk di negeri Syam pada perang Marj Dabiq di Halb. Sultan Qanshuh Al-Ghawri dibunuh dalam perang ini pada tahun 922 H./1516 M. Kemudian Sultan Salim melanjutkan serangannya ke Mesir dan berhasil menang atas orang-orang Mamluk pada perang Raydaniyah di Kairo,. Pada perang ini, Sultan Thumanbai terbunuh. Dengan terbunuhnya sultan terakhir Mamluk Burji, maka berakhir pulalah pemerintahan Mamluk. Khalifah Abbasi terakhir, Al-Mutawakkil 'Ala Allah, turun tahta dan menyerahkan kekuasaan kepada Sultan Salim, terjadi pada tahun 923 H./l517 M. 

Demikianlah. Syam tunduk dan berada di bawah pemerintahan Utsmani. Pada saat itu juga, pemimpin Hijaz datang ke Kairo dan mea “Yamkan ketaatan mereka kepada Khalifah Utsmani dan menyatakan bahwa Hijaz tunduk pada pemerintahan Utsmani. Dengan demikian, berakhirlah pemerintahan Mamluk dan berpindahlah khilafah Islam pada pemerintahan Utsmani.

Baca juga di bawah ini :