Hubungan pusat-daerah yang dipikirkan Kabinet Ali.S. II
Hubungan pusat-daerah yang dipikirkan Kabinet Ali.S. II
Kabinet Ali Sastroamidjojo II sudah mulai memikirkan hubungan Pusat-Daerah. Undang-Undang No.1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana di dalamnya diatur pembagian kekuasaan dan keuangan antara pusat dan daerah. Ditetapkan pula bahwa Aceh menjadi Propinsi lepas dari Sumatera Utara, sedang Kalimantan dijadikan tiga Propinsi; Kalbar, Kalsel, dan Kaltim.
Adanya Konsepsi Presiden, menambah ketenangan karena muncul bentuk pertentangan baru antara golongan yang pro dan kontra terhadapnya. Perkembangan pada bulan Maret 1957 ternyata tidak menguntungkan pusat. Pergolakan daerah meluas ke Sulawesi.
Pada tanggal 2 Maret 1957 berdirilah Dewan Perjuangan Semesta (Permesta) di bawah pimpinan Letkol Samuel, Panglima Divisi Indonesia Timur yang menggantikan Warouw. Dewan ini memperjuangkan dilaksanakannya Piagam Perjuangan Semesta yang menuntut dilaksanakannya Repelita dan pembagian pendapat daerah secara adil (daerah surplus mendapat 70% dari hasil ekspor).
Indonesia Timur dinyatakan dalam keadaan SOB yang menempatkan kekuasaan militer. Di Kalimantan Letkol Hasan Basry Panglima Divisi setempat, mendirikan Dewan Lambung Mangkurat pada tanggal 13 Maret 1957. Sebagaimana daerah-daerah lain, Lambung Mangkurat juga menghendaki perlakuan yang lebih baik oleh pusat.
Situasi ini menyebabkan jatuhnya Kabinet Ali II, yang kemudian Indonesia dalam keadaan darurat. Kabinet Karya terbentuk pada tanggal 9 April 1957 di bawah pimpinan PM Djuanda. Meskipun Kabinet ini secara teoritis bersifat non partai, namun pada hakikatnya Kabinet tersebut merupakan suatu koalisi antara PNI dan NU.
Pada bulan Mei 1957 dibentuklah Dewan Nasional yang terdiri dari 41 wakil golongan fungsional (pemuda, kaum tani, kaum buruh, kaum wanita, para cendekiawan, agama-agama, kelompok daerah-daerah dan lain-lain) ditambah beberapa anggota ex officio.
Kebanyakan partai politik, termasuk PNI, secara tidak langsung diwakili melalui anggota-anggota golongan fungsional, tetapi tidak demikian halnya dengan Masyumi dan partai Katholik. Presiden Sukarno menjadi ketuanya, namun urusan-urusan Dewan Nasional tersebut secara langsung berada di tangan wakil ketuanya Ruslan Abdulgani.
Kalangan militer berusaha untuk menjamin bahwa cara baru yang bersandar pada golongan-golongan fungsional yang berafiliasi dengan partai-partai dan bulan Juni 1957 Nasution mulai membentuk badan-badan kerjasama tentara-sipil guna memisahkan golongan-golongan tersebut dan partai.
Nasution berhasil mempersatukan organisasi para veteran ke dalam suatu liga veteran di bawah kekuasaan pihak tentara pada bulan Agustus 1959. PKI sangat terpukul dengan langkah tersebut, karena kehilangan organisasi yang mempunyai nilai militer yang potensial.
Kabinet menjalin hubungan dengan dewan-dewan militer daerah yang telah mengambil alih kekuasaan di daerah-daerahnya dan bahkan memberi mereka beberapa dana dari dana-dana Jakarta yang terbatas dengan kedok pembangunan daerah. Djuanda menyelenggarakan suatu musyawarah nasional di Jakarta antara tanggal 10 dan 14 September 1957, yang disusul dengan musyawarah nasional pembangunan dua bulan berikutnya.
Ada harapan bahwa musyawarah nasional yang pertama akan menghasilkan cara-cara pemecahan yang riil. Para wakil dari dewan-dewan daerah tampaknya bersedia bekerjasama, akan tetapi tidak tercapai tujuan dan jalan buntu.
Hubungan Pusat-Daerah kurang harmonis, hal ini terlihat adanya berbagai pergolakan di daerah. Di samping itu juga ada daerah yang ingin lepas dari negara kesatuan Indonesia. Maka gerakan ini disebut sebagai gerakan separatis.
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
Post a Comment for "Hubungan pusat-daerah yang dipikirkan Kabinet Ali.S. II"