Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Manusia Purba Praaksara Kehidupan Awal di Indonesia

Manusia Purba

Manusia Purba Praaksara Kehidupan Awal  di Indonesia - Masa manusia purba berburu dan mengumpulkan makanan (meramu), Kehidupan sosial budaya, kehidupan ekonomi, teknologi, kapak perumbas, kapak genggam, alat-alat dari tulang, alat-alat serpih, kapak penetak.

Dari informasi apa yang telah didapat manusia dikaruniai akal dan pikiran sehingga dalam kehidupannya selalu berkembang dan dinamis. Manusia purba berawal dari kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan, berkembang menjadi bercocok tanam hingga perundagian. Berikut ini yang akan kita pelajari perkembangan kehidupan awal manusia purba di Indonesia.

Menurut para ahli sejarah manusia purba, kehidupan masyarakat manusia purba praaksara bisa dibagi menjadi masa berburu dan mengumpulkan makanan (meramu), masa bercocok tanam, dan masa perundagian. Adanya pembagian tersebut ditentukan berdasarkan penemuan-penemuan hasil kebudayaannya yang memiliki karakteristik yang berbeda dari setiap masa.

Manusia Purba Praaksara Kehidupan Awal  di Indonesia
Manusia Purba Praaksara Kehidupan Awal  di Indonesia


1. Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan (Meramu) Manusia Purba


Tahap awal kehidupan manusia purba pada masa praaksara ialah masa berburu dan mengumpulkan makanan. Pada masa berburu dan meramu kehidupan manusia purba bergantung pada alam.

a. Kehidupan Sosial Budaya Manusia Purba


Sebagai makhluk sosial, manusia selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, manusia purba masih memiliki pengetahuan dan keterampilan yang terbatas dalam memanfaatkan alam. Oleh karena itu, manusia purba sangat bergantung pada ikatan kelompok. Tugas berburu binatang dilakukan laki-laki dan tugas mengumpulkan makanan dilakukan perempuan.

Manusia purba praaksara pada masa ini memilih tinggal di dataran-dataran rendah yang dekat dengan sumber air. Secara berkelompok manusia purba, mereka selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Manusia purba belum memiliki rumah yang permanen sebagai tempat tinggal. Dengan kehidupan seperti itu menyebabkan manusia purba sedikit menghasilkan barang-barang kebudayaan.

Hasil kebudayaan pada masa manusia purba praaksara hanyalah berupa alat-alat yang terbuat dari batu, tulang, dan kayu. Oleh karena itu tulang dan kayu merupakan benda yang mudah rapuh, maka yang ditemukan lebih banyak peninggalan dari batu. Pada masa manusia purba berburu dan mengumpulkan makanan ini alat-alat yang ditemukan masih berbentuk sederhana dan kasar.

b. Kehidupan Ekonomi Manusia Purba


Ciri-ciri kehidupan ekonomi manusia purba pada masa berburu dan mengumpulkan makanan ditandai sebagai berikut ini :

  • Kehidupan ekonomi bergantung pada alam (food gathering). Oleh karena itu, manusia purba selalu berpindah untuk mencari bahan makanan baik dari tumbuh-tumbuhan maupun binatang.
  • Manusia purba belum mengenal sistem pertanian (bercocok tanam).
  • Aktivitas manusia purba berburu dilakukan secara berkelompok.
  • Lingkungan ekonomi manusia purba ada yang di daerah pedalaman (hutan), pinggir aliran sungai atau daerah tepi pantai.

c. Teknologi Manusia Purba


Teknoligi yang digunakan manusia purba pada masa berburu dan mengumpulkan makanan berkaitan dengan peralatan yang digunakan untuk berburu. Alat-alat yang dihasilkan masih kasar. Hal tersebut karena manusia purba belum mengenal teknik mengasah batu. 

Berikut ini beberapa alat yang dihasilkan untuk berburu :

1.  Kapak Perumbas

Sebuah benda yang memiliki bentuk seperti kapak tetapi tidak memiliki tangkai yang terbuat dari batu. Cara menggunakan kapak ini adalah dengan menggenggamnya. Di samping daerah Pacitan daerah lainnya yang terdapat jenis kapak perimbas adalah Ciamis, Gombong, Bengkulu, Lahat, Bali, Flores, dan daerah Timor. Berdasarkan lapisan penemuannya, para ahli menyimpulkan bahwa kapak perimbas adalah hasil budaya manusia purba Pithecantropus erectus. Selain di Indonesia kapak jenis ini juga ditemukan di beberapa negara Asia, seperti Myanmar, Vietnam, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Cina sehingga sering dikelompokkan dalam kebudayaan Bacson-Hoabinh.

2. Kapak Genggam

Kapak genggam memiliki bentuk yang hampir sama dengan kapak perimbas, tetapi lebih kecil dan belum diasah. Kapak ini juga ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Cara menggunakan kapak ini adalah menggenggam bagian yang paling kecil.

3. Alat-alat dari Tulang

Alat-alat dari tulang ini berupa tulang-tulang keras dari binatang yang salah satu ujungnya diruncingkan. Fungsi alat-alat tulang sebagai pisau, mata tombak, dan mata panah. Alat-alat dari tulang ditemukan di daerah Ngandong, Blora, Jawa Tengah.

4. Alat-alat Serpih

Alat-alat serpih adalah alat-alat yang terbuat dari pecahan batu yang dibuat dengan bentuk yang sangat sederhana yang kemungkinan besar dibuat sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dilihat dari bentuknya, kemungkinan alat-alat serpih itu antara lain memiliki fungsi sebagai pisau atau alat penusuk. Alat-alat ini di Indonesia banyak ditemukan di daerah Sangiran ( Jawa Tengah ), Cabbenge (Sulawesi Selatan), Maumere (Flores), dan Timor. Kebanyakan ditemukan di dalam ceruk atau gua-gua yang merupakan tempat tinggal manusia purba praaksara.

5. Kapak Penetak

Bentuk kapak penetak mirip dengan kapak perimbas, tetapi berukuran lebih besar. Fungsi kapak penetak untuk membelah kayu, pohon, dan bambu.

d. Kepercayaan Manusia Purba


Manusia Purba pada masa berburu dan mengumpulkan makanan ini diduga telah muncul kepercayaan. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya bukti-bukti tentang penguburan yang ditemukan di Gua Lawa, Sampung Ponorogo, Jawa Timur, Goa Sodong, Besuki, Jawa Timur, dan di Bukit Kerang, Aceh Tamiang, Nanggroe Aceh Darussalam. Di antara mayat-mayat yang dikubur tersebut ada yang ditaburi dengan cat merah. Cat merah tersebut diperkirakan berhubungan dengan upacara penguburan dengan maksud untuk memberikan kehidupan baru di alam baka.

Selain penguburan tersebut, juga ditemukan lukisan cap-cap tangan dengan latar belakang cat merah di dinding-dinding Gua Leang Pattae di Sulawesi Selatan dan di Gua Tewet di Kalimantan Timur. Hal tersebut menurut para ahli mungkin mengandung arti kekuatan atau simbol kekuatan pelindung untuk mencegah roh-roh jahat. Ada beberapa lukisan cap-cap tangan tersebut tidak lengkap gambar jarinya. Hal tersebut dianggap sebagai tanda adat berkabung atau berduka.

Selain ditemukan di Sulawesi Selatan dan Kalimantan, lukisan gua juga ditemukan di Papua dan Pulau Seram. Di tempat ini ditemukan lukisan kadal. Diperkirakan lukisan tersebut mengandung arti lambang kekuatan magis, yaitu sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau kepala suku manusia purba yang sangat dihormati.

2. Masa Bercocok Tanam Manusia Purba Praaksara


Dalam perkembangan selanjutnya, manusia purba praaksara mulai meninggalkan kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan dan mengembangkan kehidupan bercocok tanam. Pada masa bercocok tanam, manusia purba praaksara sudah mulai menetap di suatu tempat dan menjinakkan beberapa hewan untuk diternak.

a. Kehidupan Sosial Budaya Manusia Purba


Kehidupan sosial pada masa bercocok tanam manusia purba semakin kompleks. Manusia purba praaksara sudah mengenal sistem masyarakat yang dipimpin oleh seorang kepala suku. Pemilihan kepala suku tersebut dilakukan dengan sistem primus interpares. Primus interpares yaitu pemilihan pemimpin melalui musyawarah di antara sesamanya berdasarkan kelebihan yang dimiliki.

Manusia purba pada masa bercocok tanam ini sudah membentuk desa-desa kecil sebagai tempat permukiman. Desa-desa tersebut awalnya tersusun atas beberapa rumah kecil yang berbentuk melingkar dengan atap yang terbuat dari daun-daunan. Rumah-rumah tersebut selanjutnya berkembang menjadi rumah panggung besar yang berbentuk persegi panjang dan dihuni oleh beberapa keluarga inti. Di bagian bawah rumah biasanya digunakan untuk memelihara hewan ternak.

Kegiatan sosial budaya yang utama pada masa manusia purba praaksara ini adalah gotong-royong. Kegiatan tersebut berupa usaha saling membantu baik diminta maupun dengan kesadaran sendiri, seperti mencangkul, menanam dan memanen. Selain dalam bidang pertanian, gotong royong juga telah merambah ke bidang lain, baik dalam kehidupan sosial, budaya, maupun politik. Gotong royong pada masyarakat agraris sudah menjadi ciri khas.

b. Kehidupan Ekonomi Manusia Purba


Manusia purba praaksara pada masa bercocok tanam sudah dikembangkan kegiatan perekonomian yang berbasis agraris atau pertanian. Adapun sistem pertanian yang dikembangkan adalah berhuma (ladang berpindah).

Berikut tahap-tahap sistem berhuma :
  • Membersihkan hutan atau sabana. Pohon dan semak-semak ditebang, kemudian setelah kering dibakar.
  • Tanah yang sudah dibuka, ditanami jewawut, ubi jalar, talas, dan ketela pohon.
  • Setelah tanah dianggap kurang subur, tanah akan dibiarkan selama 10-15 tahun agar menjadi hutan kembali.
  • Setelah masa istirahat, hutan siap dibuka kembali menjadi lahan pertanian.

Selain pertanian, mata pencaharian yang dikembangkan oleh manusia purba praaksara adalah perikanan. Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari kehidupan berburu manusia pruba. Munculnya kelompok masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan ini dimulai pada waktu mereka berpindah ke sekitar muara-muara sungai atau pesisir pantai.

Awalnya manusia purba hanya berburu ikan, tetapi seiring bertambahnya penduduk teknik berburu di muara sungai atau pantai sudah tidak mencukupi lagi. Selanjutnya manusia purba ke tengah laut menggunakan perahu sebagai alat bantu kemudian berkembanglah kebudayaan nelayan.

Manusia purba praaksara pada masa bercocok tanam, selain bercocok tanam juga melakukan aktivitas perdagangan dengan sistem barter. Sistem barter dilakukan dengan cara tukar-menukar barang. Adanya aktivitas barter tersebut dapat membantu manusia purba praaksara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari terutama kebutuhan terhadap barang-barang yang tidak dihasilkan di daerahnya. 

Barang-barang yang ditukar tidak hanya berupa hasil pertanian, tetapi juga hasil industri rumah tangga, seperti gerabah, perhiasan, dan alat-alat pertanian. Akhirnya aktivitas barter ini, mendorong terbentuknya kelompok pedagang dan pasar tradisional.

c. Teknologi Manusia Purba Praaksara


Manusia purba praaksara pada masa bercocok tanam telah mampu membuat perlengkapan pertanian dan perkakas rumah tangga yang efektif dan efisien. Pada masa ini telah dikenal pembuatan pernak-pernik perhiasan dan bangunan pemujaan. Perlengkapan tersebut sebagian besar dibuat dari batu. Pada masa ini manusia purba praaksara sudah mengenal teknik mengasah batu. Oleh karena itu, perlengkapan batu yang dihasilkan memiliki bentuk lebih halus dan elegan.

Berikut ini beberapa peralatan batu yang telah dihasilkan :

1. Kapak Lonjong Manusia Purba Praaksara


Kapak lonjong manusia purba praaksara ialah kapak yang penampangnya berbentuk lonjong atau bulat telur. Pada ujungnya yang lancip ditempatkan tangkai, kemudian diikat menyiku. Bahan yang digunakan untuk membuat kapak lonjong adalah batu kali yang berwarna kehitaman. 

Ada dua macam kapak lonjong yaitu kapak lonjong yang besar disebut walzanbeil, banyak ditemukan di Irian sehingga sering dinamakan Neolitikum Papua dan kapak yang kecil disebut keinbeil, banyak ditemukan di Kepulauan Tanimbar dan Seram.

Selain kapak lonjong tersebut ada kapak lonjong di Indonesia terbatas hanya digunakan sebagai alat upacara. Penemuan kapak lonjong di Indonesia terbatas hanya di Indonesia bagian timur, yaitu di Sulawesi, Sangihe Talaud, Flores, Maluku, Tanimbar, Leti, dan Papua.

Hal tersebut sesuai dengan penelitian Van Heekem dan W.F. van Beers yang mengatakan bahwa di Kalumpang (Sulawesi Utara) sudah terjadi perpaduan antara tradisi kapak persegi dan kapak lonjong. Penemuan tersebut ditaksir sangat muda, yaitu pada 600-1.000 tahun yang lalu.

Persebaran kapak lonjong dari Asia Daratan ke kepulauan Nusantara melalui jalan timur, yaitu dari Asia Daratan ke Cina, Jepang, Formosa (Taiwan), Filipina, Minahasa, Maluku, dan Papua. Kapak lonjong sampai pada abad ke-20 masih digunakan di Irian Jaya atau Papua terutama di daerah terpencil dan terasing. Kapak lonjong di luar Indonesia banyak ditemukan di Burma, Cina, dan Jepang.

2. Beliung Persegi Manusia Purba


Wujud beliung persegi menyerupai kapak berbentuk persegi dengan bagian yang tajam diasah miring. Beliung persegi kemudian diberi tangkai dengan teknik mengikat. Guna beliung persegi sebagai kapak untuk memotong kayu, cangkul untuk mengolah tanah, dan tatah untuk mengukir kayu. Sebagian besar penemuan beliung persegi ditemukan di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara.

3. Gurdi dan Pisau Manusia Purba


Gurdi dan pisau neolitik banyak ditemukan di kawasan tepi danau, misalnya Danau Kerinci (Jambi), Danau Bandung, Danau Bandung, Danau Cangkuang, Leles Garut, Danau Leuwiliang Bogor (Jawa Barat), Danau Tondano-Minahasa (Sulawesi Utara), dan danau di Flores Barat (Nusa Tenggara Timur).

4. Mata Panah Manusia Purba


Guna mata panah untuk keperluan berburu dan menangkap ikan. Biasanya mata panah untuk menangkap ikan terbuat dari tulang dan ujungnya dibentuk berpenemuan mata panah di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur.

5. Perhiasan Manusia Purba


Perhiasan neolitik ini dibuat dari batu mulia yang berupa gelang. Benda tersebut banyak ditemukan di Tasikmalaya, Cirebon, dan Bandung. Jenis perhiasan itu antara lain gelang, kalung, manik-manik, dan anting-anting. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan perhiasan adalah batu-batu indah seperti agat, kalsedon, dan jaspis.

6. Gerabah Manusia Purba


Teknologi yang digunakan untuk membuat gerabah masih sederhana, yaitu dengan teknik tatap sehingga hasilnya masih kasar dan tebal. Gerabah dibuat dari tanah liat dan pasir. Gerabah yang dihasilkan pada masa bercocok tanam berupa periuk, cawan, piring, dan pedupaan. Daerah penemuan gerabah di Jawa Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara.

d. Kepercayaan Manusia Purba


Manusia purba praaksara pada masa ini sudah memasuki zaman megalitikum. Megalitikum merupakan kebudayaan yang menghasilkan bangunan-bangunan monumental yang terbuat dari batu-batu besar. Bangunan megalitikum ini digunakan sebagai sarana untuk menghormati dan pemujaan terhadap roh nenek moyang.

Berikut ini bangunan-bangunan megalitikum :

1. Punden Berundak


Punden berundak adalah bangunan bertingkat yang dihubungkan tanjakan kecil yang berfungsi sebagai tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang. Biasanya di setiap tingkat didirikan menhir. Bangunan ini banyak dijumpai di Kosala dan Arca Domas Banten, Cisolok Sukabumi, serta Pugungharjo di Lampung. Dalam perkembangan selanjutnya, punden berundak merupakan dasar pembuatan candi, keratin, atau bangunan keagamaan lainnya.

2. Menhir (Men = Batu; Hir = Tegak/Berdiri)


Menhir adalah tiang atau tugu terbuat dari batu yang didirikan sebagai tanda peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang sehingga menjadi benda pujaan dan ditempatkan pada suatu tempat. Fungsi menhir adalah sebagai sarana pemujaan terhadap arwah nenek moyang, sebagai tempat menampung kedatangan roh.

Menhir banyak ditemukan di Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Sulawesi Tengah. Dalam upacara pemujaan, menhir juga berfungsi sebagai tempat untuk menambatkan hewan korban. Tempat-tempat temuan menhir di Indonesia, antara lain Pasemah (Sumatera Selatan), Pugungharjo (Lampung), Kosala dan Lebak Sibedug, Leles, Karang Muara, Cisolok (Jawa Barat), Pekauman Bondowoso (Jawa Timur), Trunyan dan Sembiran (Bali), Belu (Timor), Bada-Besoha, dan Toraja, Sulawesi. Penyelidikan menhir di Pasemah dilakukan oleh Dr. Van der Hoop dan Van Heine Geldern.

3. Kubur Peti Batu


Kubur peti batu banyak ditemukan di daerah Kuningan, Jawa Barat. Kubur peti batu yaitu peti jenazah yang terpendam di dalam tanah yang berbentuk persegi panjang, sisi, alas, dan tutupnya terbuat dari papan batu yang disusun menjadi peti.

4. Waruga


Waruga adalah kubur batu yang berbentuk kubus atau bulat dengan tutup berbentuk atap rumah. Bentuk dan fungsi waruga seperti sarkofagus, tetapi dengan   posisi mayat jongkok terlipat. Waruga hanya ditemukan di Minahas.

5. Sarkofagus


Sarkofagus atau keranda adalah peti jenazah yang bentuknya seperti lesung tetapi mempunyai tutup. Pembuatannya seperti lesung batu, tetapi bentuknya seperti keranda. Salah satu tempat penemuan sarkofagus adalah di Bali. Isinya tulang belulang manusia, barang-barang perunggu dan besi, serta manik-manik. Sarkofagus juga ditemukan di Bondowoso, Jawa Timur.

Untuk melindungi roh jasad yang sudah mati dari gangguan gaib, pada sarkofagus sering dipahatkan motif kedok/topeng dengan berbagai ekspresi. Sarkofagus dapat juga diartikan sebagai ''perahu roh'' untuk membawa roh berlayar ke dunia roh.

6. Dolmen (Dol = Meja; Men = Batu)


Dolmen adalah meja batu besar dengan permukaan rata sebagai tempat meletakkan sesaji, sebagai tempat meletakkan roh, dan menjadi tempat duduk ketua suku agar mendapat berkat magis dari leluhurnya.

7. Arca atau Patung


Arca atau patung terbuat dari batu berbentuk binatang atau manusia yang melambangkan nenek moyang dan menjadi pujaan. Peninggalan megalit ini banyak ditemukan di dataran tinggi Pasemah (pegunungan antara wilayah Palembang dan Bengkulu). Penyelidikan di Pasemah ini dilakukan oleh Dr. Van der Hoop dan Van Heine Geldern. Di Lembah Bada, Sulawesi Tengah ditemukan juga dua buah arca yang melambangkan sosok lelaki dan perempuan.

Bangunan-bangunan tersebut berhubungan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Dengan demikian, pada masa ini manusia purba praaksara telah menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Manusia purba telah mengenal upacara penguburan mayat yang lebih kompleks, terutama waktu penguburan tokoh masyarakat seperti kepala suku adat kepala adat.

Biasanya tokoh-tokoh manusia purba praaksara tersebut dibekali dengan berbagai macam barang yang dipakai sehari-hari seperti periuk dan perhiasan. Barang-barang tersebut dikubur bersama dengan jasad kepala suku. Selain diberi bekal kubur, jasad kepala suku tersebut mendapat perlakuan khusus dengan dimasukkan dalam peti batu, seperti sarkofagus, kalamba dan waruga. Di sekitar kuburan kemudian didirikan bangunan-bangunan pelengkap pemujaan seperti menhir, arca, dan dolmen.

3. Masa Perundagian


Pada masa perundagian manusia purba praaksara sudah menggunakan berbagai peralatan yang terbuat dari logam. Masa perundagian dimulai pada zaman logam, yaitu pada periode kurang lebih 10.000 tahun yang lalu. Pada periode ini, beis dan perunggu mulai digunakan untuk membuat peralatan yang digunakan oleh manusia purba.

Dengan melalui proses yang panjang, masyarakat Indonesia mulai mengenal zaman logam (suatu zaman yang peralatannya menggunakan bahan logam). Dengan peralatan logam, kehidupan masyarakat dapat berjalan lebih baik dan menghasilkan jumlah barang dan bahan makanan yang lebih banyak sehingga produksi makanan menjadi surplus.

a. Kehidupan Sosial Budaya


Diperkirakan masyarakat pada masa perundingan sudah mengenal sistem pembagian kerja. Hal tersebut dapat dilihat dari pengerjaan barang-barang dari logam. Pengerjaan barang-barang tersebut membutuhkan keahlian khusus karena tidak semua orang bisa membuat peralatan dari logam.

Pembagian kerja tersebut merupakan bukti bahwa masyarakat pada masa perundagian sudah menerapkan sikap responsif dan proaktif dalam mengatasi permasalahan sosial yang semakin kompleks. Masyarakat pada masa perundagian, selain mengenal sistem pembagian kerja juga mengenal pelapisan sosial. Benda-benda logam yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai simbol status sosial.

Sistem kemasyarakatan pada masa perundagian sudah teratur. Masyarakat di perdesaan membentuk kelompok yang lebih besar dengan penguasaan terhadap sebuah wilayah. Mereka menggabungkan desa-desa kecil untuk dikembangkan menjadi kelompok sosial yang besar.

Kelompok masyarakat ttleh seorang kepala suku yang bergelar datuk. Biasanya kepala suku tersebut didampingi seorang dukun yang berperan sebagai penasehat. Benda hasil kebudayaan pada zaman perundagian mengalami kemajuan dalam hal bahan dan teknik pembuatan. 

Bila pada zaman sebelumnya hanya menggunakan batu, tulang, kayu, dan tanah liat, pada masa berhasil membuat benda-benda dari logam (perunggu dan besi).

b. Kehidupan Ekonomi


Kegiatan ekonomi pada masyarakat perundagian sudah kompleks. Pertanian yang dikembangkan sudah maju. Sebagian besar masyarakat telah meninggalkan sistem berhuma dan beralih ke sistem pertanian lahan basah atau persawahan. Selain sektor pertanian, kegiatan di sektor perdagangan dan pertukangan juga mengalami perkembangan. Adanya keberadaan golongan undagi (tukang) menyebabkan kegiatan perdagangan berkembang pesat. Benda logam yang dihasilkan merupakan komoditas perdagangan bernilai tinggi. Benda-benda tersebut dibutuhkan oleh banyak orang sebagai alat pertanian, rumah tangga dan sebagai simbol status.

c. Teknologi


Pada masa perundagian, perkembangan teknologi ditandai dengan penguasaan teknik pengolahan logam. Benda-benda logam dibuat menggunakan teknik bivalve dan teknik a cire perdue.

  • Teknik Bivalve (Setangkup) - Teknik bivalve atau teknik setangkup ialah teknik cetakan menggunakan dua alat yang dijadikan satu dan dapat ditangkupkan. Alat cetak ini diberi lubang pada bagian atasnya. Dari lubang tersebut dituangkan logam yang telah dicairkan. Apabila cairan sudah dingin, kemudian cetakan dibuka. Cetakan dengan teknik bivalve ini dapat digunakan berkali-kali. Hasil dari teknik cetakan setangkup memperlihatkan garis sepanjang pertautan kedua bagian yang menangkup itu, contohnya cetakan nekara. Peralatan cetakan untuk membuat nekara masih dapat ditemukan di Bali.

  • Teknik a Cire Perdue (Cetakan Lilin) - Pembuatan perunggu menggunakan teknik a cire perdue diawali dengan membuat bentuk benda logam dari lilin yang berisi tanah liat sebagai intinya. Bentuk lilin yang sudah lengkap dibungkus lagi dengan tanah liat yang lunak dengan bagian atas dan bawah diberi lubang. Dari lubang atas dituangkan perunggu cair dan dari lubang bawah mengalirlah lilin yang meleleh. Bila perunggu yang dituangkan sudah dingin, cetakan tersebut dipecah untuk mengambil benda yang sudah jadi. Cetakan dengan teknik a cire perdue ini hanya digunakan sekali saja.

Teknik bivalve digunakan untuk mencetak benda-benda sederhana dan tidak memiliki bagian-bagian menonjol, sedangkan teknik a cire perdue digunakan untuk membuat benda-benda perunggu yang memiliki bentuk dan hiasan rumit, seperti arca dan patung perunggu. 

Berikut benda-benda logam yang dihasilkan pada masa perundagian :

1. Nekara Perunggu

Nekara merupakan genderang besar yang terbuat dari perunggu berpinggang di bagian tengahnya dan tertutup di bagian atasnya. Nekara dimungkinkan berfungsi sebagai sarana upacara (kesuburan dari kematian) dan dijadikan simbol status sosial. Fungsi lain dari nekara dimungkinkan untuk memanggil roh leluhur untuk turun ke dunia memberi berkat serta memanggil hujan. Hal ini dapat terlihat dari hiasan yang terdapat dalam beberapa nekara.

Hiasan-hiasan pada nekara tersebut sangat indah berupa garis-garis lurus dan bengkok, pilin-pilin dan gambar geometris lainnya, binatang-binatang (burung, gajah, merak, kuda, rusa), rumah, perahu, orang-orang berburu, tari-tarian, dan lain-lain.

Dari berbagai lukisan tersebut dapat digambarkan tentang penghidupan dan kebudayaan yang ada pada saat itu. Nekara ditemukan di Sumatera, Jawa, Bali, Rote, Selayar, dan Kepulauan Kei. Nekara yang terbesar terdapat di Pura Penataran Sasih di desa Intaran daerah Pejeng, Bali.

Nekara ini bergaris tengah 160 cm dan tingginya 198 cm. Di Alor ditemukan sejenis nekara yang kecil dan langsing yang disebut moko atau mako. Pada nekara dari Sangean ada gambar orang menunggang kuda beserta pengiringnya, keduanya memakai pakaian Tartar. Gambar-gambar orang Tartar ini memberi petunjuk akan adanya hubungan dengan daerah Tiongkok. Pengaruh-pengaruh dari zaman itu kini masih nyata pada seni hias suku bangsa Dayak dan Ngada (Flores).

2. Kapak Corong (Kapak Sepatu) 

Kapak corong adalah kapak yang bagian tajamnya seperti kapak batu, hanya bagian tangkainya berbentuk corong. Corong itu digunakan untuk tempat memasang tangkai kayu yang bentuknya menyiku seperti bentuk kaki. 

Oleh karena itu, kapak corong sering disebut juga kapak sepatu. Bentuk dan ukuran kapak corong bermacam-macam. Ada yang bagian tajamnya lurus dan ada yang melengkung panjang (candrasa). Ada juga yang tangkainya lurus, melengkung, atau terbelah dua seperti ekor burung layang-layang.

Kapak corong yang besar berfungsi sebagai cangkul, kapak corong yang kecil digunakan untuk mengerjakan kayu, sedangkan kapak yang tajamnya melengkung panjang digunakan untuk upacara atau sebagai tanda kebesaran seorang kepala suku. Biasanya kapak untuk upacara itu dihiasi dengan bermacam-macam pola hias. Kapak corong ini banyak ditemukan di Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah, Kepulauan Selayar dan dekat Danau Sentani, Papua.

3. Bejana Perunggu

Bejana perunggu adalah benda berbentuk seperti gitar Spanyol yang tidak bertangkai. Pola hiasan dalam bejana perunggu adalah hiasan anyaman dan menyerupai huruh ''J''. Di Indonesia bejana perunggu ditemukan oleh para ahli di daerah Madura dan Sumatera.

Bejana juga ditemukan di Pnom Penh (Kamboja), maka tidak dapat disangsikan lagi bahwa kebudayaan logam di Indonesia memang termasuk satu golongan dengan kebudayaan logam Asia yang berpusat di Dongson. Itulah sebabnya, zaman perunggu di Indonesia ini lebih dikenal dengan nama kebudayaan Dongson.

4. Perhiasan Perunggu

Biasanya perhiasan ditemukan sebagai bekal kubur. Bentuk perhiasan beraneka ragam dan ditemukan di daerah Bogor, Bali, dan Malang. Benda perhiasan dari besi banyak ditemukan bersamaan dengan benda-benda dari perunggu. 

Manik-manik yang ditemukan di wilayah Indonesia memiliki bermacam-macam bentuk dan biasanya digunakan sebagai perhiasan atau bekal kubur, tempat penemuannya antara lain di Sangiran, Pasemah, Gilimanuk, Bogor, Besuki, dan Bone.

5. Arca Perunggu

Arca-arca perunggu yang menggambarkan tentang manusia dan binatang ditemukan di Bangkinang (Riau), Palembang, Bogor, dan Lumajang (Jawa Timur). Bentuk arca beraneka macam, seperti menggambarkan orang sedang menari, naik kuda, dan memegang busur panah serta yang menarik arca tersebut di bagian kepalanya diberi tempat untuk mengaitkan tali atau menggantung.

6. Benda-Benda Besi

Penemuan benda-benda besi berbeda dengan benda perunggu, jumlah penemuan benda-benda besi terbatas. Sering benda-benda besi ditemukan sebagai bekal kubur, seperti di dalam kubur-kubur di Wonosari (Jawa Tengah) dan di Besuki (Jawa Timur). Benda besi yang ditemukan berupa mata panah, pisau, sabit, pedang, mata tombak, gelang-gelang besi, dan lain-lain.

Pada masa perundagian, teknik pembuatan gerabah juga mengalami peningkatan. Bila dibandingkan pada masa bercocok tanam teknik pembuatan pada masa perundagian lebih maju. Pengerjaannya lebih halus dan lebih tipis karena sudah menggunakan teknik tatap batu dan pelarikan/roda berputar.

Penggunaan gerabah pada masa perundagian juga semakin meningkat. Hal tersebut disebabkan oleh adat atau tradisi masyarakat untuk menempatkan tulang-tulang mayat dalam tempayan-tempayan besar.

d. Kepercayaan


Pada masa perundagian kepercayaan masyarakat manusia purba praaksara tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Mereka masih mempraktikkan pemujaan terhadap leluhur, hanya saja pada masa perundagian alat yang digunakan dalam upacara-upacara banyak yang menggunakan bahan dari perunggu. 

Pada masa perundagian berkembang kepercayaan bahwa roh nenek moyang memengaruhi perjalanan hidup manusia dan masyarakatnya. Oleh karena itu, roh nenek moyang harus selalu diperhatikan dan dihormati dengan berbagai upacara.







Post a Comment for "Manusia Purba Praaksara Kehidupan Awal di Indonesia"