Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Krisis Politik, Ekonomi dan Moneter, Sosial, Hukum, serta Kepercayaan masa Orde Baru

Krisis Politik, Ekonomi dan Moneter, Sosial, Hukum, serta Kepercayaan masa Orde Baru - Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, reformasi ialah perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara. Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 adalah suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan dan perubahan terutama dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan hukum menuju perbaikan secara hukum. Adapun kontrol terhadap reformasi perlu dilakukan agar pelaksanaan reformasi tepat pada tujuan dan sasarannya.

Keberhasilan pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi harus diakui sebagai suatu prestasi bagi bangsa Indonesia. Indikasi keberhasilan pemerintah Orde Baru ini antara lain tingkat GNP (gross national product), pada tahun 1997 mencapai US$1.200 dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% dan inflasi di bawah 3%. Ditambah lagi dengan meningkatkannya sarana dan prasarana fisik infrastuktur yang dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.


Namun, keberhasilan ekonomi maupun infrastruktur Orde Baru ini kurang diimbangi dengan pembangunan mental (character building) para pelaksana pemerintahan (birokrat), aparat keamanan, maupun pelaku ekonomi/konglomerat. Pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen terhadap tekad awal munculnya Orde Baru.

Berakhirnya pemerintahan Orde Baru disebabkan oleh beberapa faktor yang diawali oleh krisis ekonomi dan krisis politik yang berkepanjangan. Kebijakan politik dan ekonomi pemerintahan Orde Baru cenderung bertujuan memelihara status quo dalam rangka untuk memelihara kekuasaan. Kebijakan-kebijakan Orde Baru yang menyimpang tersebut memunculkan krisis di berbagai bidang kehidupan masyarakat.

Berikut berbagai krisis yang terjadi pada masa Orde Baru :

a. Krisis Politik

Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan politik. Ada kesan bahwa kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak dipegang oleh para penguasa. Pada dasarnya secara de jure (secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat tetapi ternyata secara de facto (dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa sehingga sebagian besar anggota MPR tersebut diangkat berdasarkan pada ikatan kekeluargaan (nepotisme).

Begitu mengakarnya budaya KKN dalam tubuh birokrasi pemerintahan, menyebabkan proses pengawasan dan pemberian mandataris kepemimpinan dari DPR dan MPR kepada presiden menjadi tidak sempurna. Unsur legislatif yang sejatinya dilaksanakan oleh MPR dan DPR dalam membuat dasar-dasar hukum dan haluan negara menjadi sepenuhnya dilakukan oleh Presiden Soeharto.

Selanjutnya dengan keadaan seperti itu, mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya kepada institusi pemerintah, DPR, dan MPR, Ketidakpercayaan itulah yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi yang dipelopori oleh kalangan mahasiswa. Mahasiswa yang didukung oleh dosen dan rektornya mengajukan tuntutan untuk mengganti presiden, reshuffle kabinet, dan menggelar Sidang Istimewa MPR serta melaksanakan pemilihan umum secepatnya.

Gerakan reformasi di samping menuntut dilakukannya reformasi total di segala bidang juga menuntut agar dilakukannya pembaruan terhadap lima paket undang-undang politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan.

Lima paket undang-undang politik tersebut adalah sebagai berikut :
  • Undang-undang Nomor 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum.
  • Undang-undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang DPR/MPR.
  • Undang-undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
  • Undang-undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum.
  • Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
Setahun sebelum pemilihan umum yang diselenggarakan pada bulan Mei 1997, kehidupan politik Indonesia mulai memanas. Pemerintahan Orde Baru yang didukung oleh Golkar berusaha memenangkan pemilu dan mempertahankan kemenangan mutlak seperti yang telah dicapai dalam lima pemilu sebelumnya.

Pada pemilu tahun 1997, Golkar menang mutlak, PPP berhasil menambah beberapa kursinya di DPR, sedangkan PDI mengalami penurunan secara drastis. Kemenangan Golkar tersebut diikuti dengan munculnya dukungan kepada Soeharto untuk menjadi presiden dalam sidang umum MPR 1998.

Pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden tidak dapat dipisahkan dari komposisi anggota MPR/DPR yang lebih mengarah pada unsur-unsur nepotisme. Di samping itu, DPR/MPR belum berfungsi sebagai lembaga legislatif seperti yang diharapkan rakyat.

Dalam sidang umum MPR bulan Maret 1998 Soeharto terpilih sebagai presiden dan wakil presidenya B.J. Habibie. MPR juga berhasil menetapkan beberapa ketetapan yang memberikan kewenangan khusus kepada presiden untuk mengendalikan negara.

Namun, pada kenyataannya tidak semua rakyat memberikan dukungan terhadap hasil keputusan MPR tersebut. Apalagi terhadap Kabinet Pembangunan VII yang telah disusun oleh Presiden Soeharto sarat dengan unsur-unsur nepotisme, korupsi, dan kolusi. Akibatnya muncul tekanan terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto yang datang dari para mahasiswa dan dari kalangan intelektual.

Pada tanggal 19 Mei 1998, mahasiswa dari berbagai kampus yang jumlahnya mencapai puluhan ribu orang terus berdatangan ke gedung MPR/DPR. Mereka mendesak Soeharto mundur dari kursi presiden dan menuntut reformasi total.

b. Krisis Ekonomi dan Moneter

Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dalam rentang waktu yang panjang. Pertumbuhan ekonomi tersebut telah menimbulkan dampak negatif dan positif. Dampak positif terlihat dalam bentuk penurunan angka kemiskinan absolut yang diikuti dengan perbaikan indikator kesejahteraan rakyat secara rata-rata, sedangkan dampak negatif yang muncul adalah kerusakan lingkungan hidup, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan, dan antar kelompok dalam masyarakat yang terasa semakin tajam.

Sejak tahun 1990-an perkembangan ekonomi Indonesia telah mengalami stagnasi. Pada saat itu, sistem neoliberalisme menjadi norma pengaturan ekonomi dan politik dunia. Barang-barang produksi Indonesia menjadi tidak berdaya saing apabila dibandingkan dengan barang-barang luar negeri yang secara bebas memasuki pasaran Indonesia.

Berdasarkan batasan-batasan yang dicanangkan oleh Bank Dunia, pembangunan ekonomi tergolong berhasil jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Bank Dunia. Syarat-syarat tersebut seperti adanya peningkatan investasi di bidang pendidikan yang ditandai dengan peningkatan sumber daya manusia, rendahnya tingkat korupsi yang ada di jajaran pemerintahan, serta adanya stabilitas dan kredibilitas politik.

Bagi negara-negara berkembang khususnya negara penerima bantuan luar negeri seperti Indonesia, syarat yang dikemukakan Bank Dunia tersebut menjadi acuan dalam melakukan pembangunan ekonomi. Namun, pada krisis tahun 1997, kondisi ekonomi Indonesia tidak merepresentasikan satu pun dari kriteria-kriteria yang ditetapkan Bank Dunia, tetapi yang terjadi di Indonesia justru adanya krisis moneter yang ditandai dengan rendahnya mutu sumber daya manusia, tingginya tingkat korupsi di instansi pemerintah, dan kondisi instabilitas politik.

Pada pertengahan tahun 1997 krisis moneter terjadi di beberapa negara Asia Tenggara, seperti di Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indonesia. Krisis ini merupakan imbas dari ekonomi global yang diduga disebabkan oleh pelaku spekulan. Meskipun banyak faktor yang menyebabkan krisis moneter ini, salah satu sebab utamanya adalah para spekulan asing yang telah memborong dollar lalu menjualnya dengan harga tinggi sehingga mata uang negara ASEAN terpuruk. Spekulan yang terbesar pada era krisis tersebut adalah George Soros.

Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia sangat merasakan dampak paling buruk. Hal ini disebabkan oleh rapuhnya fondasi Indonesia dan banyaknya praktik KKN dan monopoli ekonomi. Krisis ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.

Pada tanggal 1 Agustus 1997 nilai tukar rupiah turun dari Rp2.575,00 menjadi Rp2.603,00 per dollar Amerika Serikat. Pada bulan Desember 1997 nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat mencapai Rp5.000,00 per dollar, bahkan pada bulan Maret 1998 telah mencapai Rp16.000,00 per dollar Amerika Serikat.

Pada masa Orde Baru, perekonomian lebih memberikan keuntungan bagi kaum modal atau konglomerat. Hal tersebut adalah wujud dari praktik-praktik KKN yang mengakibatkan rakyat semakin miskin dan tidak berdaya. 

Berikut ini adalah akibat krisis ekonomi :

  • Kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat melemah pada tanggal 1 Agustus 1997.
  • Pemerintah melikuidasi enam belas bank bermasalah pada akhir tahun 1997. 
  • Pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi empat puluh bank bermasalah. Untuk membantu bank-bank bermasalah tersebut, pemerintah mengeluarkan Kredit Likuiditasi Bank Indonesia (KLBI). Dalam kenyataannya terjadi manipulasi besar-besaran terhadap dana KLBI tersebut. Usaha yang dilakukan pemerintah ini tidak memberikan hasil karena pinjaman bank-bank bermasalah tersebut semakin bertambah besar dan tidak dapat dikembalikan begitu saja. Oleh karena itu, pemerintah harus menanggung beban utang yang sangat besar.
  • Kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia menurun.
  • Perusahaan milik negara dan swasta banyak yang tidak dapat membayar utang luar negeri yang akan dan telah jatuh tempo.
  • Angka pemutusan hubungan kerja (PHK), meningkat karena banyak perusahaan yang melakukan efisiensi atau menghentikan kegiatannya sama sekali.
  • Persediaan barang nasional, khususnya sembilan bahan pokok di pasaran mulai menipis pada akhir tahun 1997. Akibatnya harga-harga barang naik tidak terkendali dan biaya hidup semakin tinggi.
Untuk mengatasi kesulitan moneter tersebut, pemerintah meminta bantuan dana pembangunan dari institusi internasional, yaitu Internasional Monetary Fund (IMF). Pada tanggal 15 Januari 1998 di Jalan Cendana, Jakarta Presiden Soeharto menandatangani 50 butir Letter of Intent (Lol) yang disaksikan oleh Direktur IMF Asia Michel Camdessus, sebagai sebuah syarat untuk mendapatkan kucuran dana bantuan luar negeri tersebut.

Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi di Indonesia adalah masalah utang luar negeri, penyimpangan terhadap pasal 33 UUD 1945, dan pola pemerintahan yang sentralistik.

1) Utang Luar Negeri Indonesia
Utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang negara, tetapi sebagian merupakan utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan negara hingga 6 Februari 1998 yang disampingkan oleh Radius Prawira pada sidang Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi yang dipimpin oleh Presiden Soeharto di Bina Graha mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, sedangkan utang pihak swasta mencapai 73,962 miliar dollar Amerika Serikat.

Ketika terjadi krisis moneter tahun 1998, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat merosot tajam, bahkan sempat mencapai Rp16.000,00. Akibat dari utang-utang tersebut, maka kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia semakin menipis. Para pedagang luar negeri tidak percaya lagi terhadap importir Indonesia yang dianggap tidak akan mampu membayar barang dagangan. Hampir semua negara luar tidak mau menerima Letter of Credit (L/C) dari Indonesia.

2) Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945
Pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila. Dalam pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.

Kemakmuran masyarakat ditafsirkan bukan merupakan kemakmuran orang perorang, melainkan kemakmuran seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia berdasarkan atas asas kekeluargaan. Perekonomian berdasarkan asas demokrasi ekonomi bertujuan untuk menciptakan kemakmuran bagi semua orang.

Oleh karena itu, cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Jika tidak, akan jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan akan merugikan rakyat. Sistem ekonomi yang berkembang pada masa Orde Baru adalah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoli dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.

3) Pola Pemerintahan Sentralistis
Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan sistem pemerintahan bersih sentralistis, artinya semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintahan (Jakarta), sehingga peranan pemerintah pusat sangat menentukan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat.

Pelaksanaan politik sentralisasi ini sangat terlihat pada bidang ekonomi, sebagian besar kekayaan daerah dibawa ke pusat dan pemerintah daerah tidak dapat berbuat banyak karena dominan pusat terhadap daerah sangat kuat. Hal tersebut menimbulkan ketidakpuasan pemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat.

Selain pada bidang ekonomi, politik sentralisasi ini juga dapat dilihat dari pola pemberitaan pers yang bersifat Jakartasentris. Disebut Jakarta sentris karena pemberitaan yang berasal dari Jakarta selalu menjadi berita utama, Jakarta selalu dipandang sebagai pusat berita yang bernilai tinggi. Berbagai peristiwa yang berlangsung di Jakarta atau yang melibatkan tokoh-tokoh Jakarta dipandang sebagai berita penting dan berhak menempatkan halaman pertama.

c. Krisis Sosial

Pada akhir pemerintahan Orde Baru, Indonesia mengalami gejolak politik yang tinggi baik di jajaran pemerintahan maupun di tingkat pergerakan rakyat dan mahasiswa. Suhu politik yang semakin memanas ini menimbulkan berbagai potensi perpecahan sosial di masyarakat.

Ada dua jenis aspirasi dalam masyarakat, yaitu mendukung Soeharto atau menuntut Soeharto turun dari kursi kepresidenan. Kelompok yang menuntut Presiden Soeharto mundur dari kursi kepresidenan diwakili mahasiswa. Kelompok mahasiswa ini memiliki cita-cita reformasi terhadap Indonsia.

Organisasi yang mendukung mundurnya Presiden Soeharto di antaranya Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Forum Kota (Forkot). Meskipun kedua organisasi ini memiliki napas perjuangan yang berbeda, tetapi memiliki tujuan yang sama, yakni menurunkan Soeharto dari kursi kepresidenan menghapus dwifungsi ABRI dan mewujudkan reformasi Indonesia secara optimal.

Krisis sosial horizontal di Indonesia juga mengalami titik puncak. Kondisi kehidupan masyarakat yang sangat sulit, ditambah dengan angka pengangguran yang tinggi menyebabkan berbagai benturan sosial. Kerusuhan sistematis yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia pada tanggal 13-14 Mei 1998, menjadi bukti dari adanya pergeseran sosial antarmasyarakat.

d. Krisis Hukum

Banyak ketidakadilan yang terjadi dalam pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru. Seperti pada kekuasaan kehakiman yang dinyatakan pada pasal 24 UUD 1945 bahwa kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif).

Namun, pada kenyataannya kekuasaan kehakiman berada di bawah kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu, pengadilan sangat sulit mewujudkan keadilan bagi rakyat karena hakim-hakim harus melayani kehendak penguasa. Hukum juga sering dijadikan sebagai alat pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah atau sering dijadikan sebagai alat pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah atau sering terjadi rekayasa dalam proses peradilan, apabila peradilan itu menyangkut diri penguasa, keluarga kerabat, atau para pejabat negara. 

Reformasi menghendaki penegakan hukum secara adil bagi semua pihak sesuai dengan prinsip negara hukum. Sejak adanya gerakan reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa, masalah hukum juga menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakat Indonesia menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar dapat mendudukkan masalah-masalah hukum pada kedudukan atau posisi yang sebenarnya. Reformasi hukum agar dilakukan secepatnya, karena merupakan suatu tuntutan agar siap menyongsong era keterbukaan ekonomi dan globalisasi.

e. Krisis Kepercayaan

Dalam pemerintahan Orde Baru berkembang korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilaksanakan secara terselubung maupun secara terang-terangan. Hal tersebut mengakibatkan munculnya ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah dan ketidakpercayaan luar negeri terhadap Indonesia.

Kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto berkurang setelah bangsa Indonesia dilanda krisis multidimensi. Muncul berbagai aksi damai yang dilakukan oleh para mahasiswa dan masyarakat. Para mahasiswa semakin gencar berdemonstrasi setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998.

Puncaknya pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang semula damai berubah menjadi aksi kekerasan setelah tertembaknya empat mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan.

Pada waktu terjadi peristiwa tersebut, Presiden Soeharto sedang berada di Kairo (Mesir) dalam rangka menghadiri KTT G-15. Masyarakat menuntut agar Presiden Soeharto sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan bertanggung jawab atas tragedi tersebut. Pada tanggal 15 Mei 1998 Presiden Soeharto kembali ke Indonesia. Tuntutan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri tidak saja dari kalangan mahasiswa atau pihak oposisi saja, tetapi juga datang dari orang-orang terdekatnya.

Baca juga selanjutnya di bawah ini :

Post a Comment for "Krisis Politik, Ekonomi dan Moneter, Sosial, Hukum, serta Kepercayaan masa Orde Baru"