Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perjalanan Umar bin Abdul-Aziz

Perjalanan Umar bin Abdul-Aziz - 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (bahasa Arab: عمر بن عبد العزيز‎; 2 November 682 – 5 Februari 720), atau juga disebut 'Umar II, ialah khalifah yang berkuasa dari tahun 717 (umur 34–35 tahun) sampai 720 (selama 2–3 tahun). 'Umar berasal dari Bani Umayyah cabang Marwani. Ia merupakan sepupu dari khalifah sebelumnya, Sulaiman.

Meski masa kekuasaannya yang sudah terbilang singkat, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz merupakan salah satu khalifah yang paling terkenal dalam sejarah Islam. Ia dipandang sebagai sosok yang saleh dan kerap disebut sebagai khulafaur rasyidin kelima.

Gubernur Madinah

Al-Walid naik takhta pada 705 sesudah ayahnya wafat. Secara silsilah, Al-Walid dan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz ialah sepupu. Melalui proses pernikahan, mereka berdua ialah saudara ipar. 'Umar menikah dengan Fatimah, saudari Al-Walid, dan Al-Walid merupakan suami Ummul Banin, saudari 'Umar.

Salah satu kebijakan Al-Walid ialah mengangkat 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sebagai gubernur Madinah. Di masa sebelumnya, Madinah yang menolak kepemimpinan Umayyah ditundukkan secara paksa oleh pihak Umayyah pada Pertempuran al-Harrah di masa Khalifah Yazid. 

Gubernur Madinah sebelumnya, Hisyam bin Ismail al-Makhzumi, dikenal sangat keras dalam memerintah. Penunjukan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz dimaksudkan untuk meredam ketegangan antara masyarakat Madinah dengan pihak Umayyah dan menjembatani kedua belah pihak. 'Umar mulai menjabat pada bulan Februari atau Maret tahun 706 dan wilayah kewenangannya lalu kemudian diperluas ke Makkah dan Tha'if.

'Umar juga sering memimpin rombongan haji dan menunjukkan dukungan pada para ulama Madinah, khususnya Said bin al-Musayyib yang merupakan salah satu Tujuh Fuqaha Madinah. 'Umar tidak membuat keputusan tanpa berdiskusi dengan Said terlebih dahulu, salah satunya ialah masalah perluasan Masjid Nabawi. 

Khalifah Al-Walid memerintahkan perluasan masjid yang menjadikan rumah Nabi Muhammad harus turut direnovasi. 'Umar telah membacakan keputusan itu di depan penduduk masyarakt Madinah sehingga banyak dari mereka yang telah menangis. 

Berkata Said bin al-Musayyi, "Sungguh aku berharap agar rumah Rasulullah tetap dibiarkan seperti apa adanya sehingga generasi Islam yang akan datang bisa mengetahui yang sesungguhnya tata cara hidupnya yang sederhana".

Dalam melaksanakan tugasnya, 'Umar telah membentuk sebuah dewan syura (musyawarah) yang kemudian bersama-sama dengannya menjalankan pemerintahan provinsi. Mereka yang ditunjuk sebagai anggota dewan syura Madinah adalah:

  • Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq
  • Sulaiman bin Yasar
  • ‘Urwah bin az-Zubair bin 'Awwam
  • Kharijah bin Zaid bin Tsabit
  • ‘Ubaidallah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah
  • Abu Bakar bin ‘Abdur-Rahman al-Makhzumi
  • Abu Bakar bin Sulaiman bin Abi Hatsmah
  • Salim bin 'Abdullah bin 'Umar bin Khattab
  • ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin ‘Umar
  • ‘Abdullah bin ‘Amin bin Rabiah.
6 nama pertama yang telah disebutkan termasuk Tujuh Fuqaha Madinah.


Masa di Madinah itu telah menjadi masa yang jauh lebih berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, dan keluhan-keluhan resmi ke Damaskus (ibukota kekhalifahan saat itu) berkurang dan bisa diselesaikan di Madinah. 

'Umar juga cenderung longgar untuk menghadapi para ulama yang sering melayangkan kritik terhadap pemerintahan Umayyah. Di dalam masalah pribadi, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz mempunyai gaya hidup yang sangat mewah saat menjadi gubernur. Segala kebijakan yang telah diambil menjadikan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sebagai pejabat yang sangat terkenal akan kesalehan dan kebijaksanaannya dalam memimpin.

Kemasyhuran 'Umar bin 'Abdul 'Aziz telah membuat kelompok syiah dari kawasan Iraq yang telah dipandang sebagai penentang Umayyah mencari suaka di Madinah lantaran mendapat penindasan dari gubernur tempat mereka berasal, Al-Hajjaj bin Yusuf.

'Umar mengirimkan surat kepada Al-Walid tentang perbuatan Al-Hajjaj, tetapi surat ini sudah bocor dan diketahui Al-Hajjaj. Al-Hajjaj menanggapinya dengan mengatakan pada Al-Walid melalui surat bahwa semua kebijakan yang telah dia ambil dibuat untuk mengamankan keadaan negara, juga kemudian berbalik menyalahkan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz lantaran dipandang terlalu lemah dalam menghadapi para penentang yang dikhawatirkan akan melemahkan pengaruh Umayyah. 

Sebagai catatan, Al-Hajjaj ialah tangan kanan khalifah sejak masa 'Abdul Malik bin Marwan yang telah berkuasa memimpin selama lebih dari dua dekade. Pengaruh Al-Hajjaj semakin menguat pada masa Al-Walid lantaran Al-Walid merasa berutang budi pada Al-Hajjaj atas dukungannya. 

Sesuai saran Al-Hajjaj, Al-Walid telah memberhentikan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz, lalu kemudian mengangkat 'Utsman bin Hayyan sebagai Gubernur Makkah dan Khalid bin 'Abdullah sebagai Gubernur Madinah.

Sesudah dicopot dari jabatannya, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz berada di istana Al-Walid di Damaskus. Menurut sejarawan 'Abbasiyah Ahmad Al-Ya'qubi, 'Umar melaksanakan shalat jenazah pada Al-Walid saat dia mangkat pada 715.

Umar bin Abdul-Aziz

Umar bin Abdul-Aziz

Masa Sulaiman

Peninggal Al-Walid, Sulaiman bin 'Abdul Malik yang merupakan adik kandungnya telah dinobatkan sebagai khalifah dan memimpin kekhalifahan dari Yerusalem (Al-Quds). Pada waktu masanya, para pejabat yang telah berkuasa pada masa Al-Walid telah dilucuti satu-persatu dari jabatan mereka. 

Al-Hajjaj sudah wafat tatkala Sulaiman naik takhta, tetapi kerabat dan sekutunya diberhentikan dan mendapat hukuman. Di sisi lain, lawan politik mereka telah menempati berbagai kedudukan penting pada masa Sulaiman. Salah satu di antaranya ialah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz.

Sulaiman juga merupakan sepupu 'Umar juga memberikan penghormatan padanya. Bersama seorang ulama tabi'in Raja' bin Haiwah, 'Umar telah menjadi penasihat utama Sulaiman. Ia juga mendampingi Sulaiman dalam memimpin rombongan haji pada 716 dan sampai kembalinya di Yerusalem. Tampaknya ia juga telah mendampingi Sulaiman di Dabiq ketika kekhalifahan berperang melawan Kekaisaran Romawi.

Pada awalnya, Sulaiman menunjuk salah satu putranya, Ayyub, yang menjadi putra mahkota, tetapi Ayyub wafat lebih dulu pada awal 717. Sulaiman pada saat itu sakit keras lalu kemudian berencana untuk menunjuk putranya yang lain, Dawud, sebagai putra mahkota, tetapi Raja' bin Haiwah tidak setuju dengan alasan bahwa Dawud sedang berperang di Konstantinopel dan tidak ada kejelasan mengenai kembalinya. 

Raja' mengusulkan supaya mengangkat 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sebagai pewaris menjadi putra mahkota sebab 'Umar telah dikenal sebagai salah satu tokoh yang bijaksana, cakap, dan saleh pada masa itu. Sulaiman menyepakati usulan tersebut. 

Tetapi demi menghindari perselisihan di dalam tubuh Umayyah antara pihak 'Umar bin 'Abdul 'Aziz dengan saudara-saudara Sulaiman, Sulaiman akhirnya menetapkan saudaranya, Yazid, sebagai wakil putra mahkota. Hal itu bermakna bahwa setelah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz, Yazid yang akan menjadi khalifah. Raja' yang dipasrahi urusan ini segera mengumpulkan anggota Bani Umayyah di masjid dan meminta mereka untuk bersumpah setia menerima wasiat Sulaiman yang masih dirahasiakan. 

Sesudah mereka menyatakan kepatuhan, barulah Raja' mengumumkan bahwa 'Umar bin 'Abdul 'Aziz yang telah menjadi khalifah sepeninggal Sulaiman. Saudara Sulaiman yang lain, Hisyam, akhirnya menentang keputusan tersebut, tetapi kemudian diancam akan dijatuhi hukuman, sehingga Hisyam patuh. Saat berada di atas mimbar, 'Umar meminta agar Hisyam yang pertama kali memberikan sumpah setia (bai'at). Lalu kemudian Hisyam maju membai'atnya, diikuti hadirin yang lain.

Tetapi menurut sejarawan Reinhard Eisener, peran Raja' dalam masalah itu dipandang "dilebih-lebihkan". Masalah ini lantaran penunjukkan 'Umar dipandang sudah sesuai tradisi. Ayah 'Umar sendiri, 'Abdul 'Aziz, sesungguhnya ialah putra mahkota dari ayah Sulaiman, Khalifah 'Abdul Malik. Walaupun begitu, 'Abdul 'Aziz tidak mewarisi takhta lantaran wafat lebih dulu dari 'Abdul Malik, sehingga setelah 'Abdul Malik wafat, tampuk kekhalifahan telah dialihkan ke putra-putra 'Abdul Malik.

Sulaiman wafat pada September 717 dan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz telah didaulat sebagai khalifah tanpa penentangan berarti.

Khalifah

'Umar dibai'at sebagai khalifah pada hari Jum'at setelah shalat Jum'at. Berbeda waktu masih menjadi gubernur, gaya hidup 'Umar menjadi sangat sederhana pada saat menjadi khalifah. Gajinya selama menjadi khalifah hanya 2 dirham perhari atau 60 dirham perbulan.

Segera setelah mendengar berita kematian Khalifah Sulaiman, 'Abdul 'Aziz yang merupakan putra Khalifah Al-Walid langsung bergegas untuk menuju Damaskus beserta pasukannya, tanpa mengetahui pihak yang menggantikan Sulaiman. 

Sebagai catatan, Al-Walid pernah berusaha untuk melepas posisi Sulaiman sebagai putra mahkota untuk diserahkan kepada 'Abdul 'Aziz, tetapi Al-Walid lebih dulu wafat sebelum keinginannya diresmikan, sehingga Sulaiman yang pada akhirnya menjadi khalifah. 

'Umar menyambut 'Abdul 'Aziz dengan tangan terbuka dan menyatakan siap untuk menyerahkan kekuasaan padanya jika itu kehendaknya. Mendengar jawabannya, 'Abdul 'Aziz membalas, "Tidak ada orang selainmu yang aku harapkan mengisi kekuasaan ini."

Mangkat

Kebijakan pembaharuan yang dilakukan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz mengusik para bangsawan Umayyah karena hak istimewa mereka telah dihilangkan sebagai bagian dari pembaharuan yang dilaksanakan 'Umar. Hal ini mendorong mereka untuk menyuap seorang budak milik 'Umar bernama Alas dengan uang sejumlah 1.000 dinar emas dan kebebasan dirinya agar mau meracuni makanan 'Umar. 

'Umar telah mengetahui tindakan budaknya lalu kemudian mengambil uang 1.000 dinar tersebut dan dimasukkan ke baitul mal, sedangkan Alas diperintahkan pergi sebagai orang merdeka. Dalam masa perjalanannya pulang dari Damaskus ke Aleppo, atau saat berada di Khanasir, ia telah jatuh sakit. 

'Umar wafat antara tanggal 5 sampai 10 Februari 720 pada usia 37 tahun di Dayr Sim'an di Aleppo barat laut. 'Umar telah membeli sebidang tanah di desa dan menjadi tempat jenazahnya dikebumikan. Sisa-sisa makamnya, tidak diketahui secara pasti waktu dibuatnya, masih terlihat.

Sumber-sumber sejarah Muslim utamanya sepakat akan kesalehan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz dan dia dipandang sebagai seorang pemimpin Muslim teladan, menjadikannya kerap disejajarkan dengan empat khalifah rasyidah. Hal ini berseberangan dengan beberapa khalifah lain dari Bani Umayyah yang sering dianggap sebagai perampas tak bertuhan dan zalim, sehingga mereka lebih dipandang sebagai seorang raja dan bukan khalifah sejati selayaknya 'Umar bin 'Abdul 'Aziz. 

Dalam pandangan sejarawan Hawting, telah penggambaran sebagian memang berangkat dari fakta-fakta sejarah serta sifat dan tindakan 'Umar, tetapi selain itu juga didasarkan atas "kebutuhan dan pandangan tradisi." Kennedy menyebut 'Umar sebagai "sosok paling membingungkan di antara penguasa Marwani". 

Menurut Hawting, sejarawan Jerman Julius Wellhausen menandai perubahan dalam studi Barat mengenai 'Umar yang awalnya dipandang sebagai "idealis yang tak praktis" beralih ke pandangan yang lebih modern sebagai "seorang saleh yang berusaha menyelesaikan masalah pada zamannya dengan jalan yang akan menyesuaikan kebutuhan dinastinya dan negara dengan tuntutan Islam.

Seorang ulama sunni Mughal Syah Waliullah Dehlawi pada abad ke-18 menyatakan, "Seorang mujaddid telah muncul di tiap akhir abad. Mujaddid pada abad pertama (hijriah) ialah imam ahlus-sunnah, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz. Mujaddid abad kedua ialah imam ahlus-sunnah, Muhammad Idris Syafi'i (Imam Asy-Syafi'i). 

Mujaddid abad ketiga adalah imam ahlus-sunnah, Abu Hasan Asy'ari (Imam Asy'ari). Mujaddin abad keempat adalah Abu 'Abdullah Hakim Naisaburi. Sepeninggal 'Umar bin 'Abdul 'Aziz, tampuk kekhalifahan diserahkan kepada sepupunya yang juga saudara seayah Khalifah Al-Walid dan Khalifah Sulaiman, Yazid bin 'Abdul-Malik.

Post a Comment for "Perjalanan Umar bin Abdul-Aziz"