Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Manajemen Kerakyatan yang di pimpin Pak Harto

Manajemen Kerakyatan yang di pimpin Pak Harto 

Ibarat tulisan maka sebagai pendahuluan, saya ingin menyatakan bahwa manajemen secara umum bisa kita artikan sebagai kemampuan mengelola sumber-sumber daya yang tersedia dengan cara-cara yang sistematis, terukur, dan terencana untuk mencapai tujuan tertentu. 

Persoalannya adalah bagaimana merumuskan manajemen Pak Harto yang telah terlaksana dewasa ini? Ini pertanyaan yang penting yang memang harus kita jawab. Sebelum saya menjawabnya, ada dua catatan utama yang harus saya berikan di-sini terlebih dahulu. 

Pak Harto

Pertama adalah bahwa manajemen Pak Harto adalah sebuah manajemen yang khas, yang mungkin tidak bisa kita temukan pada pemimpin lain. Karenanya, untuk memahaminya, kita harus memakai lensa khusus. Di 'sini, saya berusaha mengungkapkan istilah-istilah manajemen itu dalam bahasa lokal, karena pada hemat saya, hanya dengan lensa seperti inilah kita bisa memahami dan merumuskan manajemen Pak Harto dengan lebih memuaskan. 

Seperti yang saya usahakan di sini, saya berusaha menafsirkan istilah-istilah lokal dalam bahasa manajemen modern, sekadar untuk membantu kita menemukan konteks pengertian yang memadai. Namun, saya kira keabsahan istilah-istilah lokal itu tak tergoyahkan. 

Dan memang, kita harus, memahami istilah-istilah ini terlebih dahulu. Kedua, manajemen Pak Harto itu sangat luas lingkupnya. Untuk merumuskannya secara kongkret memerlukan waktu yang tidak sedikit. Apalagi, pada hemat saya. penerapan manajemen Pak Harto telah berlangsung sejak awal Orde Baru hingga kini. Karenanya, saya sebisa-bisanya mencoba merumuskan beberapa segi atau unsur manajemen Pak Harto sejauh yang bisa saya rekonstruksikan dari pengalaman saya.

Tiga pertanyaan berikut ini saya anggap pertanyaan yang lebih bersifat konseptual dan karenanya harus juga kita lihat secara konseptual pula. Maka, saya ingin melihat persoalan manajemen Pak Harto dalam konteks yang luas pula Pertama, saya mempunyai asumsi dasar bahwa landasan falsafah dan manajemen Pak Harto adalah manajemen kerakyatan. 

Apa yang saya maksud dengan manajemen kerakyatan ini tidak bisa kita artikan secara sempit. Rakyat dalam pengertian ini bukan hanya agregasi dari populasi atau penduduk, melainkan Juga nilai-nilai sosial-budaya yang hidup dan menjadi pedoman masyarakat. 

Dengan demikian. pola manajemen kerakyatan itu adalah sistem pengelolaan sumber-sumber daya yang ada (manusia, kekuatan ekonomi, politik, teknologi, militer, dan lain sebagainya) dengan mengikuti norma-norma yang hidup di dalam masyarakat banyak. 

Karena norma-norma itu hidup di dalam masyarakat Indonesia maka bisa dikatakan bahwa manajemen Pak Harto adalah pola-pola pengelolaan sumber-sumber daya Indonesia berdasarkan budaya Indonesia. 

Ini sangat penting kita perhatikan karena dengan demikian, pola manajemen yang diterapkan oleh Pak Harto selama ini bukanlah sebuah pola yang asing atau menjauh dari masyarakat. Sebab dasar dari pola itu adalah norma umum masyarakat Indonesia sendiri. Asumsi ini merupakan hal yang mendasar yang harus kita camkan terlebih dahulu. Tanpa memahami perspektif ini, saya kita kita akan gagal memahami spesifikasi manajemen Pak Harto.

Nah, jika asumsi manajemen kerakyatan Pak Harto di atas mau kita jabarkan di dalam konteks perenungan yang lebih mendalam (filsafat) maka kita harus mengaitkannya pada Asta Brata (delapan kebajikan). Asta Brata ini kita ketahui adalah piwulang atau secara harfiah berarti pelajaran yang berasal dari Sri Rama. 

Tentunya saya tidak ingin menguraikan semua ajaran dari Asta Brata. Yang ingin saya tekankan di sini adalah yang relevan dengan asumsi manajemen kerakyatan Pak Harto di atas. Dalam konteks ini, Sri Rama memberikan contoh tentang sikap Batara Indra, di mana disebutkan Batara Indra "yang menghujani bumi dengan wewangian, sementara derma dan kebajikannya tersebar merata ke seluruh dunia, kepada semua hambanya baik yang besar maupun yang kecil, tanpa membeda-bedakan orang." 

Menurut saya, inilah salah satu dasar filsafat manajemen kerakyatan yang dilaksanakan oleh Pak Harto. Di sini ditekankan bahwa seorang pemimpin pada dasarnya adalah pengabdi rakyat, tanpa kecuali.Wewangian yang disebarkan Batara Indra di atas bumi, dalam konteks manajemen Pak Harto, bisa kita baca sebagai hasil-hasil positif dari pembangunan ekonomi yang kini dilaksanakan Orde Baru di bawah kepemimpinannya. 

Kedua, kita harus melihat secara lebih khusus apa inti 'dari norma-norma masyarakat itu. Dengan memahami ini, kita akan semakin mengenali manajemen Pak Harto secara lebih khusus, yang berbeda dengan manajemen para pemimpin bangsa lainnya. Nah, dalam hal ini saya ingin menunjukkan beberapa hal yang pokok yang saya kira merupakan anti-pati dari manajemen Pak Harto, yaitu:

a. Rukun atau Harmonis 

Saya kira, dasar dari manajemen Pak Harto adalah menciptakan kerukunan pada tingkat nasional. Rukun atau harmonis dalam ani ini adalah bahwa Pak Harto senantiasa menghindari konflik yang tak perlu. Apa yang selalu diusahakannya adalah memadukan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Indonesia untuk berada serta bekerja selaras dan seimbang. Indikasi dari kecenderungan ini cukup banyak dan tidak perlu kita sebutkan satu per satu. 

Namun, ada hal-hal yang sangat penting yang tidak boleh kita lewatkan dalam hal ini. Yaitu: 

(1) kebijaksanaan restrukturisasi politik yang dilakukan pada awal 1970-an. Di sini kita melihat bahwa kekuatan-kekuatan politik dan partai-partai politik sebagai warisan Orde Lama sangat banyak pada waktu itu. Ditinjau dari segi apa pun, kemajemukan kekuatan politik itu merupakan potensi konflik yang sangat besar. 

Pengalaman bangsa Indonesia di tahun 1950-an dan 1960-an menunjukkan dengan nyata bagaimana pluralisme partai-partai politik mengakibatkan munculnya konflik yang berekor pada krisis bangsa kita. Dalam arti kata lain, kerukunan atau keharmonisan nasional tidak pernah tercipta. Maka kebijaksanaan restrukturisasi politik dalam bentuk penciutan partai-partai politik haruslah kita lihat sebagai usaha Pak Harto menghindari konflik yang tak perlu dan tak produktif. Dasar dari kebijaksanaan ini adalah penciptaan kerukunan dan keharmonisan. Nah, bukankah nilai kerukunan itu merupakan sesuatu yang hidup di dalam masyarakat Indonesia? 

(2) Nilai kerukunan ini tidak hanya tercermin dalam bidang politik, melainkan juga dalam bidang ekonomi. Kita mengetahui bahwa di masa lalu, banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan daerah. Motifnya tentu bermacam-macam. 

Tapi ada satu alasan yang secara konsisten dikemukakan oleh kaum pemberontak itu: yaitu kesenjangan ekonomi antara Jawa dan Luar Jawa, antara pusat dan daerah. Apa yang kini kita lihat adalah bahwa semangat pemberontakan semacam ini di bawah pemerintahan Pak Harto sangat jauh menurun, kalau tidak hapus sama sekali. Apa artinya ini? Menurut saya, kebijaksanaan kerukunan telah mengilhami Pak Harto untuk melakukan baik pemerataan pembangunan maupun pemerataan hasil-hasil pembangunan. 

Dengan meratakan kesempatan masing-masing daerah untuk membangun perekonomiannya sendiri-sendiri (melalui bimbingan dan bantuan dan" pusat) riak-riak kedaerahan semakin berkurang dan yang tercipta adalah kerukunan ekonomi pada tingkat nasional. Kerukunan ekonomi mempunyai dampak yang luas. 

Salah satu yang terpenting, seperti kita lihat sekarang ini, adalah terciptanya kerukunan politik yang pada gilirannya melahirkan stabilitas politik yang tak pernah dinikmati dalam masa-masa sebelumnya. Dengan demikian, berdasarkan asas atau nilai kerukunan, manajemen nasional Pak Harto telah meletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi perkembangan bangsa Indonesia menjelang abad mendatang.

b. Ketegasan dan Keberanian 

Di samping prinsip atau nilai rukun, manajemen Pak Harto juga didasarkan pada ketegasan dan keberanian. Ini sangat sesuai dengan Asta Brata, di mana Sri Rama mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus berani bertindak tegas terhadap orang-orang yang menyeleweng.

Di sini Sri Rama menganjurkan: "Siapa pun yang berbuat laknat (harus) diburu dan diusut sampai porak-poranda. Lebih lanjut, Sri Rama mengatakan bahwa mereka itu harus: "ditangkap dan dihabisi nyawanya, (karena) mereka sampah negara yang harus dimusnahkan." Jadi sikap tegas dan berani merupakan salah satu kualitas kepemimpinan dan manajemen yang penting dari seorang pemimpin. 

Secara kasatmata, ketegasan dan keberanian ini tentunya telah menjadi kualitas seorang pemimpin, apalagi pemimpin sebuah bangsa besar, seperti Indonesia. Namun, tetap saja saya bisa melihat di mana letak khususnya kualitas tersebut pada Pak Harto, yang berbeda dengan para pemimpin bangsa lainnya. 

Bagaimana cara kita membuktikan pernyataan di atas? Saya ingin menjawab pertanyaan ini dengan beberapa contoh: 

(1) nilai ketegasan dan keberanian itu tercermin pada keputusan Pak Harto membubarkan PKI begitu beliau mendapat Surat Perintah 11 Maret. Siapa pun yang mengetahui keadaan politik pada waktu itu akan mengetahui dengan persis perihal ketidakpastian politik akan merasa gamang untuk bertindak tegas masa itu. 

Saya kira, bahkan Pak Harto sendiri belum mengetahui dengan pasti siapa kawan dan siapa lawan di masa gonjang-ganjing itu. Toh Pak Harto dengan Bismillah mengambil tindakan tegas dan berani membubarkan PKI. Hasil dari tindakan tegas dan berani itu bisa kita rasakan sekarang ini. Bahkan, kalau kita ingin sedikit melebih-lebihkan, pengaruhnya juga terasa pada tingkat internasional. 

Bukan saja karena, pada hemat saya, hanya Indonesia-lah satu-satunya negara yang bisa membasmi secara tuntas kekuatan komunis, melainkan juga pada akhirnya, pusat komunis dunia (Uni Soviet) runtuh berkeping-keping. Maka ketegasan dan keberanian Pak Harto membubarkan PKI adalah kualitas kepemimpinan yang secara alamiah telah dimilikinya sejak awal. 

(2) Tetapi, ketegasan dan keberanian itu tidak hanya tercermin pada bidang politik dalam negeri saja, melainkan juga dalam bidang ekonomi, yang dampaknya bersifat internasional. Untuk hal ini, kita melihat kebijaksanaankebijaksanaan deregularisasi ekonomi Indonesia. Tindakan ini, di dalam beberapa hal dianggap tidak populer, karena akan merugikan pihak-pihak yang kuat. 

Toh kebijaksanaan ini tetap dilaksanakan. Lepas dari berbagai perhitungan teknikal lainnya, saya melihat kebijaksanaan tersebut konsisten dengan nilai ketegasan dan keberanian yang mendasari manajemen Pak Harto yang kualitasnya tidak bisa dipersamakan begitu saja dengan para pemimpin lainnya. 

(3) Masih berkaitan erat dengan itu, tetapi mempunyai dimensi yang jauh lebih mendalam adalah tindakan Pak Harto memutuskan hubungan dengan IGGI beberapa tahun lalu. Saya kira, siapapun juga tidak akan pernah menyangka, apalagi J. Pronk (Ketua IGGI pada waktu itu) bahwa Indonesia akan berani mengambil tindakan yang radikal seperti itu. Karena dalam pandangan kacamata, ketergantungan Indonesia pada bantuan luar negeri melalui IGGI: itu sangat tinggi dan mendalam. 

Maka, dalam pandangan orang awam, Indonesia akan dengan begitu saja mengikuti atau membiarkan tindakan-tindakan Pronk "menghina" bangsa Indonesia dengan gaya "pengawasan"-nya. Toh Pak Harto berani mengambil tindakan tegas dan berani: memutuskan hubungan dengan IGGI secara sepihak. Apa arti dari tindakan ini? Buat saya, artinya sangat mendalam. 

Pertama, harga diri bangsa kita bangkit kembali secara kolektif. Tindakan Pak Harto ini menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia masih tetap merupakan pilarspilar yang kokoh yang tak dapat dirobohkan oleh iming-iming materi, walau sesungguhnya kita membutuhkannya. 

Di pihak lain, tindakan tegas dan berani ini mempertinggi gengsi dan wibawa Indonesia di tingkat internasional, bahwa meski benar pembangunan Indonesia memerlukan bantuan, namun bangsa Indonesia tidak bisa disepelekan dan diturunkan derajatnya hanya dengan persoalan materi. 

Dan bukankah dengan tindakan tegas semacam ini harga diri kita sebagai warga negara dan anggota masyarakat Indonesia secara kolektif ikut terangkat? Adakah pemimpin lain dari negara-negara berkembang mempunyai manajemen yang mendasari dirinya pada ketegasan dan keberanian seperti di atas? Dengan mengambil contoh krisis ekonomi Meksiko dan negara-negara Amerika Latin serta Afrika lainnya maka seraya tidak melebih-lebihkan, saya cenderung mengatakan bahwa ketegasan dan keberanian Pak Harto itu belum ada tandingannya untuk kurun waktu ini dibandingkan dengan pemimpin negara berkembang lainnya. 

(4) Pada tingkat internasional, nilai ketegasan dan keberanian ini juga diterapkan oleh pak Harto dengan sangat mencolok. Baik sebagai Presiden Indonesia dan terutama sebagai Ketua Gerakan Negara-negara Non-Blok (GNB), Pak Harto melakukan kunjungan perdamaian yang tak pernah dilakukan oleh para pemimpin lain. 

Bayangkan saja, hanya Pak Harto-1ah satu-satunya pemimpin yang bersedia berkunjung dan menyebarkan semangat perdamaian di Bosnia tanpa memperdulikan keselamatan dirinya. Bagi saya, kunjungan Pak Harto itu secara terang dan jelas menunjukkan sikap tegas dan berani yang boleh dikatakan mencengangkan dunia. 

Sekali lagi, manajemen yang didasarkan pada nilai ketegasan dan keberanian dari Pak Harto ini menimbulkan perasaan mendalam ngi kita semua sebagai warga negara. Pertama, kita dibangkitkan oleh per saan kebanggaan memiliki pemimpin yang bertaraf internasional seperti Pak Harto. Dalam arti kata lain, tiba-tiba kita merasa bahwa kita memiliki pemimpin taraf internasional yang bukan saja mempunyai kemampuan secara teknikal, melainkan juga punya ketegasan dan keberanian. 

Dalam konteks ini, bangsa Indonesia melihat bahwa Pak Harto bukan lagi hanya pemimpin formal, melainkan juga telah menjadi simbol emosional kita semua. Kita sebagai rakyat Indonesia telah bersambung-rasa dengan pemimpinnya. 

Kedua, bersamaan dengan itu, ketegasan dan keberanian Pak Harto itu sekaligus menyegarkan kembali rasa kebanggaan kita sebagai bangsa Indonesia. Nah, dari sini kita bisa lihat bagaimana pengaruh positif yang dilahirkan oleh manajemen tegas dan berani dari Pak Harto terhadap kesadaran kita, bangsa yang berpenduduk terbesar di Asia Tenggara.

c. Kebapakan 

Sehubungan dengan pembicaraan di atas tadi, saya kira tepat sekali jika kita menambah unsur Kebapakan dalam manajemen Pak Harto. Untuk ini perlu sedlklt penjelasan. Bapak, secara harfiah adalah "kepala rumah tangga". Nah, sebagai kepala rumah tangga sifat-sifat yang ingin menegakkan kerukunan, ketegasan dan keberanian adalah kualitas-kualitas yang diperlukan oleh seorang bapak di dalam rumah tangganya. 

Sebab tanpa itu, sebuah rumah tangga akan kacau-balau. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana sebuah rumah tangga dengan kepala rumah tangga tanpa kualitas kepemimpinan semacam itu. Unit kesatuan dasar (rumah tangga) itu pasti akan berantakan. Maka dalam konteks inilah kita bisa mengkonseptualisasikan manajemen Pak Harto dalam membina dan membangun bangsa Indonesia. 

Konsep "Bapak", dalam konteks ini bisa bersifat objektif, dalam arti kehadiran atau keberadaannya memang diperlukan oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena bagaimanapun juga sebuah masyarakat atau bangsa tidak bisa hidup tanpa seorang Bapak. Masyarakat Amerika Serikat sekalipun yang dikenal sangat anti feodal dan memang asal-usulnya bersumber dari masyarakat jelata, temyata memerlukan sebuah keluarga yang bisa dijadikan panutan dan simbol masyarakatnya. Maka tidak mengherankan jika keluarga Kennedy hingga kini dipuja dan dijadikan simbol ideal masyarakat Amerika. 

Contoh lain adalah masyarakat Inggris dan Australia. Betapapun modemnya kedua masyarakat itu, namun mereka tetap memerlukan "Bapak" yang menjadi simbol pengayom masyarakat. Pemujaan mereka terhadap Ratu Inggris adalah contoh paling nyata dari kasus ini. Ringkasnya, setiap masyarakat atau bangsa memerlukan seorang "Bapak" yang bisa menjadi simbol pengayom anggota-anggotanya. 

Pak Harto, sebagaimana telah saya utarakan pada butir-butir jawaban di atas, secara objektif memenuhi kualitas Bapak Bangsa di atas. Bukan karena Pak Harto berasal dan" keluarga terhormat, seperti Kennedy ataupun tokoh luar biasa, seperti Ratu Inggris, melainkan justru karena Pak Harto sebagai orang biasa, tetapi berhasil melahirkan karya besar: yaitu penyelamat bangsa dari bahaya komunisme. 

Karya ini bersifat agung, karena siapapun tahu bahwa PKI pada masa itu adalah panai komunis terbesar, setelah Cina dan Uni Soviet. Dalam konteks ini, semua kekuatan-kekuatan anti-komunis dunia harus berterima kasih kepada Pak Harto Peristiwa besar inilah yang mematrikan kualitas Pak Harto sebagai "Bapak Bangsa". 

Jadi, jika Bung Karno dan Bung Hatta menjadi Bapak Bangsa karena bertindak sebagai proklamator kemerdekaan maka Pak Harto menjadi Bapak Bangsa karena jasanya menghancurkan salah satu kekuatan komunis dunia, PKI. Nah, sifat kebapakan ini pula yang menjadi unsur penting dari manajemen Pak Harto. 

Sebagai salah seorang pembantunya, manajemen yang bersifat kebapakan ini sangat saya rasakan. Walaupun sesungguhnya dan secara teoritis hubungan antara saya dan beliau seharusnya bersifat impersonal (bukan hubungan pribadi), namun dalam prakteknya, ketika berhadapan dengan beliau, saya tidak merasa sebagai "pembantu resminya" melainkan sesuatu yang bersifat kekeluargaan. 

Dalam konteks ini, berhadapan dengan beliau saya tidak merasa sebagai "pembantu resminya", melainkan sesuatu yang bersifat kekeluargaan. Di sini, batas-batas hubungan birokratis terhapuskan dan yang muncul di hadapan saya adalah seorang Bapak yang membimbing, membina, dan mengayomi saya. 

Tentu saja, saya punya inisiatif dan pandangan-pandangan sendiri yang saya ajukan kepada beliau. Dalam batas-batas ini saya sadar bahwa saya adalah pembantu resmi Pak Harto yang diangkat melalui Surat Keputusan (SK) dengan pembatasan atau ruang lingkup kerja yang jelas. 

Namun, dalam pengalaman saya, harus diakui juga bahwa dalam prakteknya batas-batas yang bersifat rasional, resmi, dan birokratis itu runtuh ketika berhadapan dengan Pak Harto. Dalam hubungan ini saya teringat pada ucapan seorang Menteri lainnya (Pak Habibie) yang mengatakan bahwa Pak Harto itu adalah gurunya. Dan saya kira pengalaman batin itu sama seperti yang saya alami. 

Tapi unsur kebapakan dalam manajemen Pak Harto ini, saya kira, tidak hanya berlaku pada pembantu-pembantu dekatnya saja, melainkan juga terjelma pada segenap bangsa Indonesia. Untuk membuktikannya kita bisa mengulang pembicaraan pada apa yang terjadi pada bangsa Indonesia selama Orde Baru ini. 

Sejauh yang bisa saya lihat, tingkat stabilitas politik Indonesia sangat tinggi di bawah kepemimpinan Pak Harto, dan tentunya gejala ini diakui oleh semua pihak. Persoalannya adalah bagaimana kita memberikan makna dari kenyataan stabilitas politik ini. Bagi saya, ini berarti bahwa Pak Harto diterima oleh semua pihak dan semua golongan. 

Contoh yang kecil mungkin bisa dikemukakan dengan melihat perasaan rakyat yang menyambut Pak Harto dalam setiap kunjungannya. Tapi contoh yang bersifat kualitatif dan lebih penting adalah rasa kepuasan dari berbagai daerah atas pembangunan (ekonomi) yang kini dilaksanakan. 

Di sini, secara simbolis kita bisa mengatakan bahwa Pak Harto adalah kepala rumah tangga Indonesia, di mana daerah-daerah adalah anggota keluarganya. Pemerataan pembangunan yang dilaksanakan selama ini adalah berarti pemberian kesempatan kepada setiap anggota keluarga untuk berkembang, tanpa pilih kasih. 

Hasilnya, seperti telah saya katakan di atas, adalah kerukunan nasional dan stabilitas politik yang tinggi. Tentu saja di antara anggota-anggota keluarga (Indonesia). Di sini, di samping memberikan contoh yang benar, Pak Harto sebagai seorang kepala rumah tangga, juga melaksanakan prinsip manajemen lainnya: bertindak tegas dan berani. 

Maka anggota keluarga yang mbalelo itu ditegur atau dijewer. Jadi unsur kebapakan dan pendidikan dalam manajemen Pak Harto sangat penting. Unsur pendidikan ini juga berlaku pada anggota-anggota keluarga yang lebih yunior, tetapi juga pada anggota keluarga yang sebaya dengan Pak Harto. 

Misalnya, Pak Harto mengatakan kepada teman-teman sebaya beliau: "Kita ini wis podo tuane" (Kitakan sudah sama-sama tua). Buat saya, ini pernyataan yang paling berarti dan mengandung unsur pendidikan yang sangat tinggi. 

Sebab di sini dituntut bahwa masingmasing orang harus menyadari tempatnya sendiri-sendu“; Jadi, tidak usah nekoneko. Dalam budaya kita, hal-hal semacam ini telah menjadi pengetahuan umum dan biasanya orang yang telah dianggap dewasa (wis Jowo) sudah semestinya mengetauinya. Sebab dalam budaya kita juga dikenal kalimat ''Cah Ra nJowo''.

Ini artinya dalam. Secara harfiah, berarti kalimat itu menunjukkan bahwa kita masih dianggap anak-anak yang belum tahu budaya atau belum dewasa. Tapi jika ini kita konseptualisasikan secara lebih luas, jika kalimat itu ditujukan kepada kita, itu berarti bahwa kita, walau sudah tua, tapi tidak tahu menempatkan diri. 

Manajemen seperti ini mengandung dasar pemikiran yang mendalam, karena segala sesuatunya berlangsung secara simbolis, bukan dengan gerakanagerakan atau tindakan kasar. Dan inilah yang saya maksud dengan unsur pendidikan di dalam manajemen Pak Harto, karena orang harus berfikir dan merasakan suasana, bukan hanya dengan otak, tapi juga dengan hati.

d. Tidak Ngoyo, Ojo nggege mangsa dan Alon-alon asal kelakon 

Kesemuanya ini saling berhubungan. Tidak ngoyo di sini bisa kita artikan secara harfiah sebagai tidak ngototan di dalam mencapai sesuatu yang sesungguhnya masih jauh dari jangkauan. Nilai ini bersambungan dengan Ojo nggege mongso, yaitu sebuah ajaran yang menekankan janganlah kita mengharap-harap sesuatu yang belum masuk masanya. 

Dan kedua nilai di atas itu bersambungan dengan pas dengan nilai atau konsep alon-alon asal kelakon (berjalan perlahan tidak apa-apa, asal terjalani dengan baik). Saya tidak tahu bagaimana membahasakan istilah ketika nilai atau konsep ini di dalam konteks ilmiah. 

Tapi pada hemat saya, nilai-nilai tersebut merupakan salah satu unsur-unsur penting dari manajemen Pak Harto. Mungkin, jika kita tafsirkan dalam "bahasa modern", manajemen yang terbalut dalam ketiga konsep di atas adalah usaha-usaha pencapaian tujuan dengan mengandalkan sistem perencanaan yang akurat dan sistematis. 

Dengan cara kerja yang seperti ini, seseorang dipaksa berfikir realistis dan tidak melakukan sesuatu yang bersifat besar pasak daripada tiang. Ini berarti bahwa kombinasi dari konsep-konsep itu, mengajarkan kepada kita untuk tidak memaksakan terjadinya sesuatu, dalam situasi yang sesungguhnya belum matang; atau keinginan mendapatkan sesuatu yang lebih besar di luar kemampuannya. 

Akibatnya, tujuan tidak tercapai. Maka, seperti yang saya katakan tadi, manajemen dari kombinasi nilai tidak ngoyo, ojo nggege mongso dan alon-alon asal kelakon ini adalah pengorganisasian kerja secara realistis terhadap sumber daya yang tersedia guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 

Karena terjadi kelangkaan (scarcity) sumber daya maka pencapaian tujuan harus direncanakan secara sistematis dan perhitungan yang akurat. Inilah yang saya maksudkan dengan manajemen gabungan tiga nilai tersebut. Ini bahwa kita tidak berkeinginan menciptakan suatu proyek "mercuasuar", karena tidak mempunyai basis sumber daya yang ril atau kongkret. 

Pada hemat saya, Pak Harto telah menerapkan manajemen tersebut dengan tepat. Secara sederhana, misalnya penerapan manajemen jenis ini bisa kita lihat dari usaha beliau yang secara sistematis berusaha mengurangi dan memerangi krisis inilasi di awal Orde Baru. Ini dilakukan dengan perhitungan-perhitungan yang tepat dan bertahap, jadi tidak terburu-buru. 

Cara ini tentunya sangat berbeda dengan apa yang kita alami sebelum Orde Baru. Misalnya, usaha menurunkan harga dilakukan dengan mengumumkan jabatan "Menteri Penurunan Harga" dan orang yang ditunjuk itu harus bisa menurunkan harga hanya dalam tempo tiga bulan. Pada hemat saya, ini adalah manajemen ngoyo, tidak realistik dan ingin memaksakan keberhasilan padahal dalam kenyataannya usaha itu tidak punya dasar yang kuat.

Akan tetapi secara konseptual kita bisa melihat bahwa manajemen tidak ngoyo dari Pak Harto ini terungkap secara jelas pada pembabakan rencana pembangunan lima tahun (Repelita). Di sini, usaha mencapai "masyarakat yang adil makmur gemahn'pah loh jinawi tatatentrem kertorahazjo" dihayati bukan sebagai pemain sulap gaya "lampu Aladin", hanya berbunyi di dalam semboyan. 

Melainkan dilaksanakan secara bertahap, dengan sistem perencanaan yang sistematis dan perhitungan yang akurat. Maka, sampai kini, pada PELITA VI, kita melihat perkembangan kemakmuran Indonesia berlangsung secara tahap demi tahap. Inilah pada hemat saya inti dari manajemen dalam konsep di atas. Semua usaha untuk mencapai tujuan dilakukan dengan perhitungan realistis, sistematis dan dengan perhitungan akurat. Bukan sesuatu yang melompat-lompat.

Dalam konteks manajemen semacam inilah saya memahami mengapa Pak Harto pada akhirnya mau menerima kehormatan sebagai Ketua Gerakan Negara-negara Non-Blok. Kesediaan Pak Harto menjadi Ketua gerakan negara-negara yang tak berafiliasi pada salah satu pusat kekuatan dunia ini merefleksikan manajemen tidak ngoyo beliau. 

Pak Harto, di dalam hal ini, tidak mau ngoyo menjadi pemimpin dunia. Karena bagaimanapun juga beliau bersikap realistis. Bagaimana menjadi pemimpin dunia jika keadaan ekonomi Indonesia masih morat-marit? Jadi walaupun ada kesempatan untuk itu di masa lalu. 


Pak Harto tetap menolak berkecimpung atau menjadi pemimpin dunia. Sebab beliau sadar bahwa persoalan rumah tangga harus diselesaikan terlebih dahulu. Baru setelah Pak Harto merasa bahwa ekonomi Indonesia telah berkembang mantap, beliau bersedia menerima kehormatan sebagai Ketua Gerakan Non-Blok. Jadi, ibaratnya, setelah dapur rumah tangga sendiri sudah cukup, barulah kita mengurus dapur orang lain Inilah, pada hemat saya, manajemen tidak ngoyo dan tidak nggege mongso. 

Nah sekarang, untuk melihat praktek dari kerangka teoritis manajemen beliau, kita bisa mendiskusikan organisasi pemerintahan dalam konteks modern Di sini kita mengenal prinsip-prinsip elementer dalam manajemen: planning, organizing, actuating, controlling. 

Mengenai organisasi pemerintahan, kita melihat bagaimana beliau mempersiapkan prasarana kelembagaan Kabinet, bagaimana beliau menetapkan berbagai Departemen. Kemampuan pengaturan kerja pemerintahan melalui departemen-departemen itu merupakan suatu kepandaian yang luar biasa. 

Bagaimana beliau menambah nama "Pembinaan Pengusaha Kecil" di dalam Departemen Koperasi. Itu luar biasa sekali. Saya tanyakan ke banyak pihak, ide siapa sesungguhnya untuk menambahkan. bidang usaha kecil dalam lingkup Departemen Koperasi. Ternyata idenya dari beliau sendiri.

Kabinet Pembangunan sekarang, dilihat dari sudut pandang teori manajemen adalah aplikasi langsung teori matrik yang bersifat horizontal. Menurut saya beliau sangat piawai dalam organizing, kemudian actuating. Dengan struktur horizontal ini berarti beliau mengembangkan pola partisipatif dari seluruh pembantu-pambantunya. 

Karena dengan itu terjadi pemberian Pendelegasian wewenang yang besar sekali kepada mereka. Bagaimana proses pembagian pendelegasian wewenang ini terjadi? Biasanya beliau memulai dengan Penyusunan perencanaan pembangunan dan anggaran yang matang dan komprehensif.

Lalu bersama-sama dengan DPR seluruh rencana ini didiskusikan bahkan diperdebatkan sampai akhirnya menjadi keputusan bersama antara pihak legislatif dan eksekutif. Nah, pada tingkat pelaksanaan keputusan rencana-rencana pembangunan itulah menjadi lingkup wewenang masing-masing pembantu beliau terjadi. 

Tapi peran beliau tetap menonjol. Karena beliau mengikuti seluruh proses pembuatan perencanaan sejak awal sampai akhir. Dengan demikian posisi beliau tetap mengontrol secara keseluruhan. Nah di sini, pelaksanaan semua rencana itu sepenuhnya diserahkan kepada menteri sepanjang tidak menyimpang dari garis yang telah ditetapkan terutama GBHN. 

Sekali lagi, semua ini menunjukkan terjadinya pendelegasian wewenang yang sangat bersifat manajerial. Kendatipun demikian, bukanlah berarti Pak Harto tinggal berpangku tangan. Sebab beliau selalu siap sedia membantu menyelesaikan masalah-masalah yang pelik yang tak bisa diputuskan pada tingkat otoritas para pembantunya. 

Namun, tetap saja para pembantu beliau diperkenankan menyampaikan alternatif-altematif penyelesaian. Misalnya, dalam konteks wewenang saya tentang kebijaksanaan tata niaga cengkih. Di sini saya mengusulkan beberapa alternatif dan beliau mendengarkan. Biasanya, beliau menerima saran-saran yang saya ajukan. Namun, dalam hal-hal tertentu bahkan beliaulah yang memberikan petunjuk sampai hal yang sekecil-kecilnya.

Secara empiris saya tidak banyak mendapatkan kesulitan dalam memimpin Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Ini sangat dimengerti, karena beliau pun memahami benar seluk beluk persoalan koperasi dan pengusaha kecil. Lagi pula kerangka kebijaksanaan yang beliau tetapkan sudah jelas. Saya bekerja sepanjang framework yang sudah beliau gariskan. Kebijaksanaan beliau baik yang tertulis maupun tidak tertulis, saya laksanakan berdasarkan kerangka yang sudah saya pahami tersebut. 

Alhamdulillah, sepanjang pelaksanaan tugas ini saya belum pernah ditegur. Dan, lagi pula, beliau jarang memberikan teguran-teguran yang tidak perlu. Untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk langsung, biasanya ada mekanisme Alhamdulillah, sepanjang pelaksanaan tugas ini saya belum pernah ditegur. 

Dan, lagi pula, beliau jarang memberikan teguran-teguran yang tidak perlu. Untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk langsung, biasanya ada mekanisme tersendiri, yaitu usulan untuk menghadap beliau. Mekanisme ini efektif karena di dalam sidang-sidang Kabinet pembicaraan atau pembahasan tidak bisa berlangsung secara detil. 

Biasanya kami hanya memberikan laporan-laporan umum dan sangat terbatas pada hal-hal yang penting, misalnya masalah-masalah moneter, perdagangan, perindustrian dan lain sebagainya. Pelaporan dalam sidang kebinet itu sendiri merupakan mekanisme manajemen yang bagus sekali. Itulah salah satu kelebihan Pak Harto yang luar biasa, karena beliau dapat menangkap permasalahan-permasalahan yang berkembang secara mendetil. Kemampuan semacam inilah yang menimbulkan kekaguman saya tanpa henti.

Tapi, seperti telah saya katakan di atas, sidang-sidang kabinet itu membicarakan persoalan secara menyeluruh dan jarang menyentuh masalah-masalah per sektor dan per departemen. Padahal banyak hal yang juga harus dikonsultasikan kepada beliau. Untuk itulah mekanisme menghadap secara sendiri-sendiri menjadi sangat penting. 

Di sini banyak keputusankeputusan khusus yang menyangkut departemen masing-masing diputuskan secara lebih mendetil. Nah, dalam hal ini, masalah koperasi yang menyangkut wewenang saya secara reguler saya laporkan dalam jangka 2 (dua) bulan sekah. 

Ini saya lakukan agar beliau mendapatkan informasi mendetil tentang perkembangan kegiatan dari departemen saya. Ini saya lakukan sebagai sebuah kewajiban yang juga mengandung makna manajerial. Sebab dengan itu, beliau bisa mengambil keputusan secara akurat.

Gaya manajemen Pak Harto yang semacam ini sesungguhnya sangat transparan dan karenanya mudah dimengerti. Kalaupun saya merasa sulit mengikutinya, semua itu merupakan pertanda kelebihan-kelebihan beliau yang tidak saya miliki. 


Contoh yang paling mencolok adalah kemampuan kontrol diri (self control) beliau yang sangat tinggi. Inilah yang membedakan beliau dengan banyak pemimpin negara-negara Selatan lainnya. Beliau bisa menerima perbedaan pendapat dengan tenang, tanpa memperlihatkan kegelisahan apa pun. 

Tentu saja saya tidak bisa dibandingkan dengan beliau. Karena harus saya akui, bahwa kadang-kadang saya masih diselimuti sifat emosional. Kontras sekali dengan sifat Pak Harto yang sabar, tenang dalam menangani berbagai permasalahan. Maka tak mengherankan kemampuan mengelola kinerja pribadi ini menjadi panutan banyak pembantunya. 

Saya tentu saja termasuk salah seorang di antaranya. Sebab buat apa saya mencari panutan lain, jika ada yang lebih hebat dan merupakan orang dekat yang bisa langsung saya ambil banyak hikmah darinya terutama dalam menghadapi persoalan-persoalan yang tidak diduga sebelumnya? Kedigdayaan beliau itu terbukti selama 28 tahun kemimpinan beliau atas negara dan bangsa ini. 

Selama kurun kepemimpinan itu segala sesuatunya berlangsung dengan tenang, tanpa gejolak yang berarti -hanya riak kecil gelombang perubahan yang memang wajar terdapat dalam setiap dinamika sebuah masyarakat sebesar Indonesia. Oleh karenanya, beliau adalah guru saya.

Pada mulanya, selama bertahun-tahun saya tidak menyadari akan kekayaan khazanah kinerja manajerial dan kepemimpinan Pak Harto ini. Saya lebih banyak memburu ide-ide pada berbagai sosok yang mempunyai keahlian tertentu.

Tapi kini, saya telah menemukan guru yang telah lama mengayomi saya hingga tak terasa saya tumbuh dari akar pelajaran yang distrukturkan oleh kinerja pengalaman kepemimpinan beliau. Oleh karenanya, saya tak perlu mencari Peter Drucker atau Phillips Kottler untuk persoalan-persoalan manajerial ini. 

Akan tetapi, semua ini bukanlah berarti bahwa saya telah menyamai kemampuan beliau. Malah saya merasa, saya masih jauh dari gaya kepemimpinan yang tercermin dari perilaku beliau, karena masih ada nilai-nilai yang beliau miliki yang belum bisa kita ikuti. 

Yang perlu diberi penekanan di sini adalah sikap sabar beliau. Sikap sabar dalam merencanakan sesuatu tentang program negara, baik yang bersifat teknis, ekonomis maupun politik. Salah satu contoh kesabaran beliau tercermin pada rentang waktu yang panjang sekali dalam menerapkan konsep asas tunggal dalam dunia partai-partai politik dan Golkar. 

Sebab seingat saya, konsep itu telah mengendap di dalam pikiran beliau sejak 1967. Karena pertimbanganpertimbangan tertentu, konsep itu tidak segera diterapkan, hingga beliau menunggu sampai 17 tahun, sampai waktu yang beliau anggap tepat untuk diterapkan. Bayangkan betapa hati-hati dan sabamya beliau mempersiapkan dengan saksama sebuah kebijaksanaan yang dianggap strategis bagi bangsa dan negara. 

Karenanya, tepat sekali jika beliau itu kita hayati sebagai Bapak Bangsa. Dan adalah keliru kalau ada yang berasumsi bahwa rakyat tidak berada di belakang beliau. Semua keputusan yang beliau ambil merupakan cerminan dari tuntutan hati nurani rakyat, meskipun banyak yang tidak merasakannya. 

Dan justru berkat beliaulah maka para pembantu Pak Harto juga mendapatkan percikan dukungan rakyat. Ini saya buktikan sendiri, waktu saya melaksanakan sembahyang Jumat di sebuah masjid di Lampung. Setelah sembahyang Jumat, saya mendapati kenyataan betapa banyaknya jamaah yang berusaha menyalami saya. 

Saya melihat mereka sangat tulus dalam melakukannya. Apakah ini direkayasa? Saya kira tidak. Bagi saya fenomena itu adalah wujud kecintaan rakyat kepada pemerintah, atau seorang menteri yang notabene adalah pembantu Pak Harto. 

Nah, jika kepada pembantu beliau saja orang begitu menaruh rasa hormat, apalagi terhadap Pak Harto. Saya berani memastikan bahwa rakyat dengan tulus mencintai beliau. Karena mereka bukan saja yakin terhadap kepemimpinan beliau, melainkan juga melihat dengan mata kepala sendiri bukti-bukti kongkret dari hasil-hasil pembangunan yang ditebarkan oleh kinerja kepemimpinan Pak Harto. 

Buktinya rakyat hidup dengan tenang dewasa ini, tidak ada pemberontakan, tidak ada macam-macam. Artinya, rakyat semakin menyadari dan menerima pemerintah sebagai rekan dalam kemajuan. Tidak mengherankan jika negara sebesar Indonesia ini masih memerlukan pemimpin sekaliber beliau. Karena tidak seorang pun menyanggah bahwa ketenangan hidup dan stabilitas politik serta keamanan adalah prasyarat yang paling utama bagi proses kreatif segenap bangsa ini.

Saya kira, inilah sumbang saran saya dalam merumuskan manajemen Pak Harto. Dan, seperti yang saya katakan di atas, jenis manajemen semacam ini tidak akan kita temukan di dalam buku-buku manajemen modern. Kita harus menghayatinya, menjadikannya sebagai pengalaman langsung dan memahaminya bukan hanya dengan "otak modern", tetapi juga dengan "rasa" dan penghayatan budaya. Memang sulit dimengerti, tapi kita bisa merasakannya secara kongkret di dalam proses pembangunan bangsa yang kini telah dan sedang berlangsung.

Baca juga selanjutnya di bawah ini :

Post a Comment for "Manajemen Kerakyatan yang di pimpin Pak Harto"