Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BAB 9 Dinasti-Dinasti Kecil di Bagian Timur Baghdad

BAB 9 Dinasti-Dinasti Kecil di Bagian Timur Baghdad - Menurut para pakar sejarah Islam, Daulat Abbasiyah (750-1258 M.) telah berjasa dalam memajukan umat Islam. Hal ini ditandai dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, peradaban, kesenian, dan filsafat. Data monumental dari kebesaran Daulat Abbasiyah, yaitu berdirinya kota Baghdad yang megah, kota yang didirikan atas nrakarsa raja raja dinasti ini. 

Menurut Philip K. Hitti, kota Baghdad merupakan kota terindah yang dialiri sungai dan benteng-benteng yang kuat serta penahanan militer yang cukup kuat. Sekalipun demikian, dinasti ini tidak mampu mempertahankan integritas negerinya, karena setelah Khalifah Harun Ar-Rasyid daerah kekuasaan dinasti ini mulai goyah, baik daerah yang ada di bagian barat maupun yang ada di bagian timur Baghdad. 

Di bagian timur. menurut J.J. Saunder berdiri dinasti-dinasti kecil, yaitu Thahiriyah. Saffariah, dan Samaniyah. Faktor-faktor yang mendorong berdirinya dinasti-dinasti kecil ini, yaitu adanya persaingan jabatan khalifah di antara keluarga raja dan munculnya sikap ashabiyah antara keturunan Arab dan non-Arab, tepatnya persaingan Arab dan Persia. 

BAB 9 Dinasti-Dinasti Kecil di Bagian Timur Baghdad

Tumbuhnya dinasti-dinasti yang memisahkan diri dari kekuasaan pemerintahan pusat di Baghdad itu tidak terlepas dari persaingan kekuasaan antara Bani Hasyim dan Bani Umayah dan munculnya Bani Ali, yang merupakan pecahan dari Bani Hasyim. 

Perpecahan dan tersebarnya kekuasaan tersebut di satu segi dapat dipandang sebagai suatu kemunduran dan perpecahan, namun di segi lain dapat dipandang sebagai suzitu kemunduran persaingan di antara dinasti untuk berlomba mempertahankan kekuasaan dan kemajuan yang dicapainya. 

Seperti persaingan antara Baghdad yang Abbasiyah dengan Cordova yang dijadikan tempat Umawiyah II dalam memajukan ilmu pengetahuan. Dilihat dari segi ini barangkali tidak salah kalau dikatakan merupakan penyumbang dan sekaligus pemacu tersendiri bagi perkembangan di bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan dalam alam Islami. 

Akan tetapi, perkembangan dinasti-dinasti kecil di timur tampaknya mempunyai corak dan latar belakang yang berlainan dengan sifat dan tujuan timbulnya dinasti-dinasti kecil di barat. Bila yang kemudian dilatari oleh keinginan melepaskan diri dari ikatan Bahgdad dan berdiri sebagai satu kekuatan”, yang terdahulu kalau boleh disebut sebagai dinasri yang mempunyai sifat dan tujuan yang berbeda, yakni bukan persaingan antara 'Bani Hasyim dan Bani Umayah atau Bani Abbasiyah dengan Alawiyah. 

Namun, dinasti-dinasti kecil di timur itu merupakan gejala perkembangan baru yang berada di luar persaingan utama di atas. Mereka berdiri bukan untuk melepaskan atau memisahkan diri dari kekuasaan Baghdad, tetapi justru mereka pada umumnya tidak ada keinginan untuk membuat kekuasaan yang lepas dari pemerintahan pusat, apalagi menentangnya dan menandingi kekhalifahannya. Dinasti-dinasti kecil di timur ini tetap mempertahankan ikatan dan struktur lama dengan pemerintahan pusat di Baghdad dengan menyatakan tunduk pada kekuasaan khalifah.

Perbedaan sifat kemunculan itu tidak bisa begitu saja dilepaskan dari latar belakang masing-masing. Pada masa Abbasiyah, kaum Umawiyah mencoba bangkit lagi dengan mendirikan Dinasti Andalusia Spanyol. Sementara itu, di timur, para gubernur yang banyak mendapat dukungan dari keluarga Alawiyyin tidak memberikan reaksi menentang atau menumbuhkan gerakan revolusi untuk memisahkan diri dari Baghdad. 

Mereka yang berasal dari Persia maupun Turki yang tetap memperoleh kekuasaan dalam pemerintahan Abbasiyah telah memberikan kesempatan secara timbal-balik kepada mereka dan hal itu merupakan keuntungan unmk menaikkan jenjang yang lebih baik. 

Dengan latar belakang sejarah tersebut, secara psikologis, mereka lebih menaruh hormat dan merasa berutang budi kepada Dinasti Abbasiyah. Pendapat lainnya bahwa kermmgkinan munculnya dinasti-dinasti kecil pada abad ke III Hijriah, disebabkan banyaknya kegoncangan politik”, yang timbul dalam dunia Islam, yang dimanfaatkan oleh para keluarga yang sudah mempunyai kekuasaan di daerah. 

Namun, itu merupakan faktor lain yang boleh jadi bukan merupakan faktor penentu dalam memunculkan mereka, terutama dinasti-dinasti di timur. Yang jelas, satu perkembangan pada zaman sesudahnya adalah terdapat perubahan kendali politik dalam pemerintahan Abbasiyah. Otoritas politik berpindah ke tangan keluarga Buwaihi dan sultan-sultan Turki. Khalifah Abbasiyah hanya memegang kekuasaan yang bersifat spiritual semata-mata.

A. Dinasti Thahiri (200-259 H./820-872 M)

Dinasti ini didirikan oleh Thahir Ibn Husain (150-207 H.), seorang yang berasal dari Persia, terlahir di desa Musanj dekat Marw. Ia diangkat sebagai panglima tentara pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun. Ia telah banyak berjasa membantu Al-Ma'mun dalam menumbangkan Khalifah Al-Amin dan memadamkan pemberontakan kaum Alwiyin di Khurasan. 

Pada mulanya, Al-Ma'mun memberikan kesempatan kepada Thahir untuk memegang jabatan gubernur di Mesir pada tahun 205 H., kemudian dipercaya pula untuk mengendalikan wilayah timur. Thahir Ibn Husain yang memerintah pada tahun 205-207 H., menjadikan kota Marw sebagai tempat kedudukan gubernur. 

Setelah ia wafat, jabatan gubernur dilimpahkan oleh khalifah kepada anaknya, yaitu Thalhah Ibn Thahir yang memerintah selama 6 tahun, yaitu sejak 207-213. H. Dalam redaksi lain, Philip K. Hitti menjelaskan pendirian dinasti ini sebagai berikut :

"The jirst to established a quasi independent state east of Baghdad was the once trusted general of Al-Ma 'mun. T ahir Ibn Al-Husayn of Khurasan, who had victariusly led his masters’ army against AlAmin. In this was the one-eyed Tahir is said to have used the sword so effectively with both hands that Al-Ma 'mun. The descendeant of a Persian slave, Tahir was east of Baghdad, with the centre of his power in Khurasan. Before his death two years later in his capital. Marw, Tahir had omitted mention of the caliph 's name in the Friday prayer”.

Setelah Thalhah, kekuasaan berpindah ke tangan penerusnya. yaitu Abdullah Ibn Thahih dan merupakan pemegang jabatan gubernur Khurasan terlama (213-248 H.). Selama memegang pemerintahan setingkat gubernur, Dinasti Thahiri mempertahankan hubungan baik dan setia kepada pemerintahan Abbasiyah di Baghdad. 

Bahkan, daerah Mesir pun diserahkan oleh Al-Ma'mun kepada penguasaan Abdullah Ibn Thahir pada tahun 210 H. yang pada waktu itu sempat menimbulkan gejolak Karena hubungan dekat dan kepercayaan yang diberikan Al-Ma'mun cukup besar, wilayah kekuasaan Abdullah diperluas sampai ke daerah Suriah dan Jazirah. 

Pada tahun 213 H. wilayah kekuasaan Abdullah Ibn Thahir dikurangi dan Al-Ma’mun menyerahkan Suriah, Mesir, dan Jazirah kepada saudaranya sendiri, yaitu Abu Ishak Ibn Harun Ar-Rasyid. Hal ini dilakukan oleh Al-Ma'mun setelah ia menguji kesetiaan Abdullah Ibn Thahir, yang diketahui ternyata cenderung memihak pada keturunan Ali Ibn Abi Thalib.

Sesudah Abdullah Ibn Thahir", jabatan gubernur Khurasan dipegang oleh saudaranya, yaitu Muhammad Ibn Thahir (248-259 II.). Ia merupakan gubernur terakhir dari keluarga Thahiri. Kemudian, daerah Khurasan diambil alih oleh keluarga Saffari melalui perjuangan bersenjata. Keluarga Saffari merupakan saingan keluarga Thahiri di Sijistan. 

Walaupun beberapa kekuasaan atas wilayah-wilayah mereka dikurangi oleh khalifah, mereka terus memperluas wilayahnya dengan cara mempertahankan hubungan baik dengan Khalifah Abbasiyah dan saling membantu dalam menjalankan kekuasaan Abbasiyah. 

Hal ini terbukti ketika Al-Mu'tashim harus memerangi pemberontakan Al-Maziyar Ibn Qarun dari Tabarristan. Abdullah Ibn Thahir turun tangan menyelesaikan dan menghancurkan Al-Maziyah. Akan tetapi, ketika Dinasti Thahiri di Khurasan mendekati masa kemunduran, tampaknya keluarga Abbasiyah menunjukkan perubahan sikap. Mereka mengalihkan perhatiannya kepada keluarga Saffari yang mulai menggerogoti dan melancarkan gerakan untuk menguasai Khurasan.

Dalam keadaan mulai melemah, keluarga dan pengikut Alawiyin di Tabaristan menggunakan kesempatan untuk memunculkan gerakan mereka. Bersamaan dengan gerakan Saffari yang terus mendesak kekuasaan Tahbari dari arah selatan, pada tahun 259 H., jatuh dan berakhirlah Dinasti Thahiri. 

Para ahli sejarah mengakui bahwa pada zaman Thahiri, dinasti ini telah memberikan sumbangan dalam memajukan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan dunia Islam. Kota Naisabur berhasil bangkit menjadi salah satu pusat perkembangan ilmu dan kebudayaan di timur. 

Pada masa itu, negeri Khurasan dalam keadaan makmur dengan pertumbuhan ekonomi yang baik sehingga dapat mendukung kegiatan ilmu dan kebudayaan pada umumnya. Keadaan ini merupakan suasana yang menguntungkan bagi perkembangan seterusnya.

Kemudian, Dinasti Thahiri dapat diandalkan oleh Khalifah Abbasiyah untuk menjaga ketenteraman dan kemajuan dunia Islam. Mereka berhasil menguasai dan mengamankan wilayah sampai ke Turki yang para sultannya telah menyatakan kesetiaan dan ketaatan sebagai umat Islam yang tunduk di bawah kekuasaan Khalifah Abbasiyah.

Dengan demikian, meskipun kekuasaan Thahiri dapat direbut oleh Keluarga Saffari, selama kekuasaannya, mereka telah menyumbangkan sejumlah perluasan wilayah kekuasaan dunia Islam ke bagian timur.

B. Dinasti Saffariah (867-903 M)

Philip K. Hitti mengatakan bahwa Dinasti Saffariah didirikan oleh Ya'kub Ibn Al-Laits. Dinasti ini lebih singkat jika dibandingkan dengan Dinasti Thaluriyah. Dinasti ini hanya bertahan 21 tahun. ia berasal dari keluarga perajin tembaga dan semenjak kecil bekerja di perusahaan Orang tuanya. 

Keluarga ini berasal dari Sijistanz”. Selain ahli dalam bidang ini, ia juga dikenal gemar merampok, tetapi dermawan terhadap fakir miskin, Lebih jelasnya, berikut ini adalah ungkapan Philip K. Hitti. 

'The Safarid Dinasty, which originated in sijistan and reigned in Persia for forty-one years (867-908), owes its foundaabns to one Ya'qub Ibn Al-layth As-Sajfar (867-78), Ar-SqU'ar (copper-smith) was a coppersmith by profession and a brigand by avocalons. " 

Menurut Boswort, sekalipun singkat. kelompok Saffariyah ini memiliki kekuasaan yang cukup luas dan megah’" Ya'kub mendapat simpati dari pemerintah Sijistan pada waku: itu karena dinilai memiliki kesopanan dan keberanian. 

Oleh karena itu, Ya'kub ditunjuk umnk manimpin pasukan memerangi pembangkang terhadap Daulah Abbasiyah di bagian timur, khususnya di Sijistan. Ketika Ya'kub menjadi panglima perang. ia berhasil mengalahkan para pembangkang dalam waktu relatif singkat. 

Akhimya, ia berjalan sendiri tanpa menghiraukan perintah Baghdad setelah ia menjabat 'Amir di Khurasan. Selanjutnya, menguasai kota Harat dan Busang. Setelah berhasil mengusir tentara 'l'liahiriyah, akhirnya ia menjadi pemimpin di daerah itu. Ya’knb juga menaklukkan sisa-sisa kebiasaan yang pernah dikuasai oleh Thahiriyah yang msih serta di Khurasan nehingga kebiasaannya semakin luas dan mantap.

Ya'kub sangat berambisi menduduki kekuasaannya dengan gerakannya yang membabi buta. Hal ini sebenarnya sudah diperingatkan oleh khalifah di Baghdad pada waktu itu, namun ia tidak memperdulikan lagi apa yang dilarang oleh pemerintah pusat. 

Ia menentangnya dan melanjutkan gerakannya sampai Persia. Irak Ahwaz. Karena faktor inilah, Boswort menyebutkan bahwa Dinasti Saffariah ini luas. Saffariah juga dikenal sebagai dinasti yang dipimpin oleh rakyat jelata, dan perilaku mereka seperti bandit dan yang menjadi elemen-elemen mereka juga tokoh-tokoh radikal. 

Kerasnya sikap Ya'kub dan penentangnya yang keras terhadap instruksi khalifah, serta ditunjukkannya kekuasaan-kekuasaan baru yang diduduki oleh Ya'kub dengan kekuatan bala tentara yang cukup kuat, menunjukkan bahwa Khalifah Abbas di Baghdad sudah menunjukkan kelemahan. 

Dengan kelemahannya ini Baghdad yang waktu itu dipimpin oleh Al-Mu'tamad telah menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada Ya'kub. Di antara daerah-daerah yang diberikan khalifah pada waktu itu adalah Khurasan, Tibrasan, Jurjan, dan Ar-Ra. 

Ya'kub menjadi pemimpin dinastinya kurang lebih 11 tahun. Setelah ia meninggal pada tahun 878, kepemimpinannya diserahkan kepada saudaranya, Amr Ibn Al-Laits. Sikap Amr ini tidak keras, seperti saudaranya. 

Ya'kub, bahkan sebelum ia diangkat menggantikan Ya'kub, ia telah mengirimkan surat kepada pemerintahan Baghdad yang intinya akan mengikuti semua petunjuk yang diberikan oleh Baghdad pada daerahnya. 

Dengan demikian, pengangkatan Amr pun mendapat sokongan dari Baghdadmi Sekalipun demikian, tidak ada keterangan yang menyebutkan bahwa surat itu dimaksudkan sebagai tujuan politik agar Baghdad mendukungnya. Fakta yang ada adalah Amr akan menaati seluruh Baghdad. 

Kenyataan ini didukung pula oleh fakta bahwa setelah ia menggantikan kakaknya, hubungan Baghdad dengan Saffariah semakin baik. Namun, ada analisa yang menyebutkan. Baghdad melunak terhadap Amr dengan tujuan lebih menenangkan suasana, dan stabilitas politik, karena jika Al-Mu'tamad tidak mendukungnya dikhawatirkan kelompok Amr ini akan menambah masalah. 

Sekalipun demikian kekuasaan Amr ini dieleminasi sehingga, luas wilayahnya tidak seluas seperti yang dikuasai oleh Ya'kub. Di antara wilayah yang dicabut khalifah adalah daerah Khurasan, dan diberikannya kepada Mahmud bin Thahir. 

Pada saat khalifah Baghdad dipegang bleh Al-Mu'tadid, Baghdad tetap mengakui kekuasaan Amr, sekalipun mendapat perlawanan dari kalangan istana. Pembesar istana menahan Amr, kemudian memberikan kekuasaaannya kepada cucunya, Thahir lbn Muhammad Ibn Amr. 

Setelah Thahir Ibn Muhamad Ibn Amr, kekuasaan diberikan kepada saudaranya Al-Laits Ibn Ali Ibn Al-Laits, tetapi khalifah ini berhadapan dengan As-Sabakri, yaitu pembantu Amr Ibn Al-Laits. Pada saat inilah terjadi perebutan kekuasaan dan berakhirlah riwayat Dinasti Saffariah.

C. Dinasti Samaniyah (875-1004 M)

Berdirinya dinasti ini bermula dari pengangkatan empat orang cucu Saman oleh Khalifah Al-Ma'mun menjadi gubernur di daerah Samarkand, Pirghana, Shash, dan Harat yang ada di bawah pemerintahan Thahiriyah pada waktu itu. 

Akan tetapi, ternyata, selain mempunyai hasrat untuk menguasai wilayah yang diberikan khalifah kepada mereka, keempat cucu tersebut juga mendapat simpati warga Persia, Iran. Awalnya simpati mereka itu hanya di kota-kota kekuasaannya, kemudian menyebar ke seluruh negeri Iran, termasuk Sijistan, Karman, .lurjan, Ar-Ray, dan Tabanistan, ditambah lagi daerah Transoxiana di Khurasan. 

Philip K. Hitti menjelaskan tentang pendirian dinasti berikut ini. 

“The Samanids of Transoxiana and Persia (874-999) were descended from Saman, a Zoroastrian noble of Balkh. The founder of the dynasty was Nasr Ibn Ahmad (874-92), a great grandson of Saman. but the one who established its power was Nasr ”: brother Ismail (892-907), who in 900 wrested Khurasan from Tahirids, the Samanids under Nasr II Ibn Ahmad (913-43). fouth in the line, extended their kingdom to its greatest limits, including under their sceptre Sijistan, Karman, Jurjan. Ar-Rayy and Tabaristan.''

Berdirinya dinasti Samaniyah ini didorong pula oleh kecenderungan masyarakat Iran pada waktu itu yang ingin memerdekakan diri terlepas dari Baghdad. Oleh karena itu, tegaknya Dinasti Samaniyah mi bisa jadi merupakan manisfestasi dari hasrat masyarakat Iran pada waktu itu. 

Adapun pelopdr yang pertama kali memproklamasikan Dinasti Samaniyah ini, sebagaiamana penjelasan Philip K. Hitti adalah Nasr Ibn Ahmad (874 M.), cucu tertua dari keturunan Samaniyah, bangsawan Balk Zoroastcrian, dan dicetuskan di Transoxiana. ' 

Dinasti Samaniyah ini berhasil menjalin hubungan yang baik, sehingga berbagai kemajuan pada dinasti ini cukup membanggakan, baik di bidang ilmu pengetahuan, filsafat, juga politik. Pelopor yang sangat berpengaruh dalam filsafat dan ilmu pengetahuan pada dinasti ini, yaitu Ibn Sina, yang pada waktu itu pernah menjadi menteri. 

Dinasti ini juga mampu meningkatkan taraf hidup dan perekonomian masyarakat. Hal ini diakibatkan adanya hubungan yang baik antara kepala-kepala daerah dan pemerintah pusat, yaitu Dinasti Bani Abbas.

Setelah me'ncapai puncak kegemilangannya bagi bangsa Parsi (Iran), semangat fanatik kesukuan pun cukup tinggi pada dinasti ini. Oleh karena itu, ketika banyak imigran Turki yang menduduki posisi di pemerintahan, dengan serta merta, para imigran Turki tersebut dicopot karena faktor kesukuan. 

Akibat ulahnya ini, Dinasti Samaniyah mengalami kehancuran, karena mendapat penyerangan dari bangsa Turki. Dengan keruntuhannya ini, tumbuh dinasti kecil baru, yaitu Dinasti Al-Ghaznayvi yang terletak di India dan di Turki. 

Dinasti Samaniyah juga telah berhasil menciptakan kota Bukhara sebagai kota budaya dan kota ilmu pengetahuan yang terkenal di seluruh dunia, karena selain Ibn Sina, muncul juga para pujangga dan ilmuwan yang terkenal seperti Al-Firdausi, Ummat Kayam, Al-Biruni, dan Zakariya ArRazi34). , 

Selain kota Bukhara, Samaniyah juga berhasil membangun Samarkand, hingga mampu menandingi kota-kota lainnya di dunia Islam pada waktu itu. Kota, selain berfungsi sebagai kota ilmu pengetahuan dan budaya, juga telah menjadi kota perdagangan. Samaniyah telah lenyap, namun perjuangan dan pengorbanannya dalam mengembangkan Islam senantiasa diingat oleh umat Islam.

D. Kondisi Sosial, Politik, dan Ekonomi Dinasti-Dinasti Kecil di Timur.

Sebagian besar dinasti kecil yang tumbuh di timur adalah keturunan Parsi. Meskipun secara politik tidak menimbulkan kesulitan bagi pemerintahan pusat di Baghdad, dari segi budaya memberikan corak perkembangan yang baru, yaitu kebangkitan kembali nasionalisme dan kejayaan bangsa Iran Lama. 

Masuknya orang-orang Iran ke dalam elit kekuasaan pada masa Abbasiyah yang dimulai dari keluarga Al-Barmark pada masa Harun Ar-Rasyid telah memberikan semangat terpendam yang merupakan cikal bakal kebangkitan Iran Baru yang berjiwa Islam. 

Apalagi dengan adanya perkawinan keluarga khalifah seterusnya. Walaupun di sana-sini timbul pertentangan antara orang-orang yang masih mempertahankan dominasi dan nasionalisme Arab di kalangan keluarga khalifah dengan pihak yang telah beradaptasi dengan kebudayaan Iran, hal itu tidak menghalangi proses lebih lanjut bagi perluasan pengaruh Iran dalam dunia Islam pada waktu itu. 

Misalnya dalam pembangunan kota Baghdad, jelas sekali meniru pola kota di zaman Iran. Tata kota dibagi-bagi secara serasi. Ada pusat pemerintahan, pusat ekonomi, dan pusat keagamaan, yang dikelilingi oleh perumahan yang disediakan untuk rakyat.

Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa meskipun dinasti-dinasti hari itu merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah, namun dalam proses pemerintahannya bersifat otonomi penuh. Sementara bagi pemerintahan pusat di kota Baghdad, adanya dinasti-dinasti kecil di timur, bukan saja menguatkan Dinasti Abbasiyah itu sendiri, melainkan juga sangat menguntungkan kekuasaan para penguasa Abbasiyah. 

Apalagi dinasti-dinasti kecil tersebut satu sama lain saling berebut kekuasaan. Tentu saja, hal ini sangat menguntungkan pemerintahan di Baghdad. Jika muncul gejala pembangkangan, bagi pemerintahan di Baghdad mudah saja, tinggal menggunakan dinasti kecil lainnya agar menyerang dinasti kecil yang membangkang tersebut. 

Hal ini dapat dilihat dari kasus Dinasti Saffari yang mempunyai ambisi menguasai seluruh wilayah Timur, namun khalifah di Baghdad segera menggunakan kekuatan Dinasti Samaniyah untuk meruntuhkan Dinasti Saffari tersebut. Politik adu domba seperti ini, sangat efektif untuk menghancurkan suatu kekuatan. 

Manfaat adanya dinasti-dinasti kecil di timur tersebut, bukan saja dirasakan oleh Dinasti Abbasiyah sebagai penunjang kejayaan Bani Abbasiyah, melainkan juga bagi dinasti-dinasti kecil karena dapat terus berusaha memperluas daerah kekuasaan mereka, sehingga ke utara memasuki jantung Asia maupun ke timur menembus wilayah India. 

Perluasan wilayah ini dilihat secara makro sangat menguntungkan dunia Islam waktu itu. Dilihat dari perkembangan sosial ekonomi, munculnya dinasti-djnasti kecil tersebut memunculkan kota-kota pusat kegiatan ekonomi, seperti Samarkand atau Bukhara yang menjadi kota perdagangan utama. 

Kota-kota itu menjadi transit perdagangan bagi dunia Islam belahan timur. Di samping menjadi pusat kegiatan ekonomi, dua kota tersebut menghubungkan rute perdagangan ke Cina atau ke Eropa, di samping ke arah tenggara India. 

Terutama pada masa Dinasti Samani, kota-kota di Khurasan, seperti Marw Hirrah, Balk, Naisabur dapat menyaingi Baghdad. Kota-kota tersebut menjadi rute perekonomian Asia pada masa itu. Samaniyah untuk meruntuhkan Dinasti Saffari tersebut. Politik adu domba seperti ini, sangat efektif untuk menghancurkan suatu kekuatan. 

Manfaat adanya dinasti-dinasti kecil di timur tersebut, bukan saja dirasakan oleh Dinasti Abbasiyah sebagai penunjang kejayaan Bani Abbasiyah, melainkan juga bagi dinasti-dinasti kecil karena dapat terus berusaha memperluas daerah kekuasaan mereka, sehingga ke utara memasuki jantung Asia maupun ke timur menembus wilayah India. 

Perluasan wilayah ini dilihat secara makro sangat menguntungkan dunia Islam waktu itu. Dilihat dari perkembangan sosial ekonomi, munculnya dinasti-djnasti kecil tersebut memunculkan kota-kota pusat kegiatan ekonomi, seperti Samarkand atau Bukhara yang menjadi kota perdagangan utama. Kota-kota itu menjadi transit perdagangan bagi dunia Islam belahan timur. 

Di samping menjadi pusat kegiatan ekonomi, dua kota tersebut menghubungkan rute perdagangan ke Cina atau ke Eropa, di samping ke arah tenggara India. Terutama pada masa Dinasti Samani, kota-kota di Khurasan, seperti Marw Hirrah, Balk, Naisabur dapat menyaingi Baghdad. Kota-kota tersebut menjadi rute perekonomian Asia pada masa itu.

Sebagai penutup dan bahan perbandingan, jika pada masa Dinasti Umawiyah, wilayah kekuasaannya masih merupakan kesatuan yang utuh, yakni suatu wilayah yang luas membentang dari Spanyol di Eropa, Afrika Utara, hingga ke timur di India, pada masa Dinasti Abbasiyah mulai tumbuh dinasti saingan yang melepaskan diri dari kekuasaan khalifah di Baghdad, yang dimulai dengan terbentuknya Dinasti Umawiyah 11 di Spanyol, seperti dijelaskan di atas. 

Selanjutnya, kekuasaan kekhalifahan terpecah menjadi dua bagian, yaitu Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad dan Dinasti Umawiyah H yang berpusat di Andalusia, Spanyol. 

Pada masa itu, muncul pula dinasti-dinasti lain yang membangun kekuasaan terpisah-pisah, meskipun tidak sepenuhnya melepaskan diri dari kekuasaan pemerintahan pusat di Baghdad, seperti Dinasti Fatimiah (358567 H./969-ll71 M.) Dinasti Touluniyah (254-292 H./868-905 M.) di Mesir. Kemudian, muncul pula dinasti-dinasti kecil di belahan barat Baghdad, yang dimulai dengan munculnya Dinasti ldrisiyah di Maroko (tahun l72-3l1 H./788-932 M.).

Tumbuhnya dinasti-dinasti yang memisahkan diri dari kekuasaan perintahan pusat di Baghdad, tidak terlepas dari persaingan kekuasaan antara Bani Hasyim dan Bani Umayah dan munculnya Bani Ali, yang merupakan pecahan dari Bani Hasyim. 

Perpecahan dan tersebarny. kekuasaan tersebut, di satu segi dipandang sebagai suatu kemunduran dan perpecahan, namun di segi lain, dipandang membawa kecenderungan bagi kemungkinan persaingan di antara dinasti-dinasti. 

Tiga dinasti yang ada di bagian timur Baghdad, seperti Thohiryah, Samani, pada awalnya didirikan atas restu Baghdad sebagai pusat kekuasaan umat Islam pada waktu itu. Restu dalam arti'untuk memimpin sebuah wilayah kegubernuran. Akan tetapi, setelah mendapat kepercayaan Baghdad, mereka membelot danjngin mendirikan negeri yang independen. berpisah dari Baghdad. 

Baca juga selanjutnya di bawah ini

BAB 10 Dinasti-Dinasti Kecil di Barat Baghdad


Faktor yang mendorong timbulnya dinasti baru, di samping karena syu'ubiyah qabilah, juga adanya persaingan jabatan khalifah Baghdad pada waktu itu. Faktor lainnya karena lemahnya kontrol dari pemerintah Baghdad terhadap wilayah kekuasaannya. 

Dinasti-dinasti kecil ini sebenarnya tidak melepaskan diri secara total dari Baghdad. Bahkan, kerja sama berjalan dengan baik. Jadi. mereka bukan oposisi Baghdad, tetapi tampak sebagai mitra Baghdad.