Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BAB 10 Dinasti-Dinasti Kecil di Barat Baghdad

BAB 10 Dinasti-Dinasti Kecil di Barat Baghdad - Pada waktu pemerintahan Abbasiyah, pembangunan dan pembinaan di berbagai aspek, mulai bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya telah mengalami kemajuan dan perkembangan yang pesat, meskipun di balik semua itu telah tersimpan persoalan politik yang pada akhirnya bermuara pada persoalan disintegrasi bangsa tersebut. 

Kebijakan penguasa Abbasiyah yang lebih menitikberatkan terhadap pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi, sedikitnya telah memberikan kontribusi terhadap proses percepatan pelepasan wilayah-wilayah atau provinsi-provinsi tertentu yang berada di pinggiran dari kesatuan pemerintahan Abbasiyah. 

BAB 10 Dinasti-Dinasti Kecil di Barat Baghdad

Disintegrasi di bidang politik sebenarnya sudah muncul sejak berakhirnya pemerintahan Bani Umayah, tetapi dalam sejarah politik Islam terdapat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayah dan pemerintahan Abbasiyah. 

Di antara perbedaan-perbedaan tersebut ialah jika pada masa pemerintahan Bani Umayah, wilayah kekuasaan sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam (mulai awal berdirinya sampai pada masa kehancurannya), pada masa pemerintahan Abbasiyah, wilayah kekuasaannya tidak pernah diakui di daerah Spanyol dan Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar, bahkan pada kenyataannya terdapat banyak daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah. 

Peta kekuasaan tersebut telah banyak mengakibatkan bermunculan wilayah-wilayah atau provinsi. provinsi yang memisahkan diri dan membentuk dinasti-dinasti kecil. Selain itu pula, luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah, telah menjadikan khalifah tidak mampu untuk mengawasi secara efektif yang jauh dari pusat pemerintahan, sehingga sangat memungkinkan bagi daerah-daerah terpencil untuk melepaskan dan memerdekakan diri dari kekuasaan tersebut. 

Proses memerdekakan diri dari kekuasaan Abbasiyah tersebut ialah melalui cara-cara yang dianggap mereka sebagai cara yang akurat, yaitu: Pertama, salah seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh. Kedua, seseorang yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah dan kedudukannya semakin bertambah kuat. 

Selain cara-cara tersebut, ada beberapa faktor yang mempercepat proses pelepasan wilayah-wilayah itu dari kekuasaan Abbasiyah. di antaranya ialah faktor ras atau kebangsaan (syu'ubiyah), bahwa pendirian kekuasaan Abbasiyah tidak terlepas dari bantuan-bantuan bangsa Persia yang dilatarbelakangi oleh dua alasan : 

Pertama, karena penindasan Bani Umayah terhadap Persia dan kebijakan Bani Umayah yang lebih mengistimewakan bangsa Arab dan memarginalkan bahasa non-Arab, termasuk Persia. 

Kedua, karena tradisi Persia yang mengakui dan meyakini terhadap adanya hak kerajaan yang suci. 

Dengan demikian. ketergantungan Bani Abbasiyah pada kekuatan orang Persta sangat kuat dan hal ini disadari betul oleh bangsa Persia, maka sebagai balasannya. bangsa Persia memegang kedudukan yang penting dan strategis dalam pemerintahan Abbasiyah. 

Setelah memerdekakan diri dari kekuasaan Abbasiyah dengan kekuatan-kekuatan daerah atau wilayah yang mereka bangun, mereka menjadikan daerah-daerah tersebut sebagai dinasti-dinasti kecil yang berdiri secara independen dan berusaha untuk meluaskan daerah kekuasaannya dengan menaklukkan daerah-daerah yang ada di sekitarnya.

A. Dinasti Idrisiyah (789-926)

Dinasti ini didirikan oleh salah seorang penganut Syi'ah, yaitu Idris bin Abdullah pada tahun 172 H./789 M. Dinasti ini merupakan Dinasti Syi'ah Pertama yang tercatat dalam sejarah berusaha memasukkan Syi'ah ke daerah Maroko dalam bentuk yang sangat halus. 

Muhammad bin Idris merupakan salah seorang keturunan Nabi Muhammad SAW., yaitu cucu dari Hasan, putra Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, dia mempunyai hubungan dengan garis imam-imam Syi'ah. 

Dia juga ikut ambil bagian dalam perlawanan keturunan Ali di Hijaz terhadap Abbasiyah pada tahun 169/786, dan terpaksa pergi ke Mesir, kemudian ke Afrika Utara, di mana prestise keturunan Ali membuat para tokoh Barbar Zenata di Maroko Utara menerimanya sebagai pemimpin mereka. 

Berkat dukungan yang sangat kuat dari suku Barbar inilah, Dinasti Idrisiyah lahir dan namanya dinisbahkan dengan mengambil Fez sebagai pusat pemerintahannya. 

Paling tidak, ada dua alasan mengapa Dinasti Idrisiyah muncul dan menjadi dinasti yang kokoh dan kuat, yaitu karena adanya dukungan yang sangat kuat dari bangsa Barbar, dan letak geografis yang'sangat jauh dari pusat pemerintahan Abbasiyah yang berada di Baghdad sehingga sulit untuk, ditaklukkannya.

Pada masa Kekhalifahan Bani Abbasiyah dipimpin oleh Harun Ar-Rasyid, (menggantikan Al-Hadi), Harun Ar-Rasyid merasa posisinya terancam dengan hadirnya Dinasti Idrisiyah tersebut, maka Harun Ar-Rasyid merencanakan untuk mengirimkan pasukannya dengan tujuan memeranginya. 

Namun, faktor geografis yang berjauhan, menyebabkan batalnya pengiriman pasukan. Harun Ar-Rasyid memakai alternatif lain, yaitu dengan mengirim seorang mata-mata bernama Sulaiman bin Jarir yang berpura-pura menentang Daulah Abbasiyah sehingga Sulaiman mampu membunuh Idris dengan meracuninya. Taktik ini disarankan oleh Yahya Barmaki kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid. 

Terbunuhnya Idris tidak berarti kekuasaan Dinasti Idrisiyah menjadi tumbang karena bangsa Barbar telah bersepakat untuk mengikrarkan kerajaan mereka sebagai kerajaan yang merdeka dan independen. 

Dikabarkan pula bahwa Idris meninggalkan seorang hamba yang sedang mengandung anaknya. Dan ketika seorang hamba tersebut melahirkan, kaum Barbar memberikan nama bayi tersebut dengan nama Idris dan mengikrarkannya sumpah setia kepadanya sebagaimana yang pernah diikrarkan  kepada bapaknya. Dan Idris inilah yang melanjutkan jejak bapaknya (Idris bin Abdullah) dan disebut sebagai Idris II.

Idris I dan putranya Idris II telah berhasil mempersatukan suku-suku Barbar, imigran-imigran Arab yang berasal dari Spanyol dan Tripolitania di bawah satu kekuasaan politik, mampu membangun kota Fez sebagai kota pusat perdagangan, kota suci, tempat tinggal Shorfa (orang-orang terhormat keturunan Nabi dari Hasan dan Husain bin Ali bin Abi Thalib), dan pada tahun 1959 di kota ini, telah didirikan sebuah masjid Fathima dan Universitas Qairawan yang terkenal. 

Pada masa kekuasaan Muhammad bin Idris (828-836 M.), Dinasti Idrisiyah telah membagi-bagi wilayahnya kepada delapan orang sauiaranya, walaupun ia sendiri tetap menguasai Fez dan memiliki semacam supremasi moral terhadap wilayah-wilayah lainnya. Setelah ia memerintah selama masa yang cukup tenang, putranya yang bernama Ali menggantikannya sebagai raja. 

Pada masa Ali bin Muhammad (836-849 M.), terjadi konflik antarkemarga dengan kasus yang klasik, yaitu terjadi penggulingan kekuasaan yang pada akhirnya kekirasaan Ali pindah ke tangan saudaranya sendiri, yaitu Yahya bin Muhammad. 

Pada masa Yahya bin Muhammad ini, kota Fez banyak dikunjungi imigran dari Andalusia dan daerah Afrika lainnya. Kota ini berkembang begitu pesat, baik dari segi pertumbuhan penduduk maupun pembangunan gedung-gedung megah. 

Di antara gedung yang dibangun pada masa itu ialah masjid Qairawan dan masjid Andalusia. Menurut versi lain bahwa di kota itu didirikan pula sebuah masjid yang diberi nama masjid Fathima yang merupakan benih dari masjid dan Universitas Qairawan yang terkenal pada tahun 859 M. Tepat pada tahun 863 M., Yahya bin Muhammad meninggal dan kekuasaannya berpindah ke tangan putranya, yaitu Yahya II.

Pada masa pemerintahan Yahya II ini terjadi kemerosotan yang disebabkan oleh ketidakmahiran Yahya II dalam m ngatur pemerintahannya, sehingga terjadilah pembagian wilayah kekuasaan. Keluarga Umar bin Idris tetap memerintah wilayahnya, sedangkan Dawud mendapat wilayah yang lebih luas ke arah timur kota Fez. 

Keluarga Kasim menerima sebagian dari sebelah barat kota Fez bersama-sama dengan pemerintah wilayah suku Luwata dan Kutama. Husain (paman Yahya II), menerima bagian wilayah selatan kota Fez sampai ke pegunungan Atlas. 

Di samping ketidakmampuan mengatur pemerintahannya, Yahya juga pernah terlibat perbuatan yang tidak bermoral terhadap kaum wanita. Sebagai akibatnya, ia harus melarikan diri karena diusir oleh penduduk Fez dan mencari perlindungan di Andalusia sampai akhir hayatnya pada tahun 866 M. 

Dalam suasana yang mengecewakan rakyat, seorang penduduk Fez bernama Abdurrahman bin Abi Sahl Al-Judami mencoba menarik keuntungan dengan jalan mengambil alih kekuasaan. Namun, istri Yahya (anak perempuan dari saudara sepupunya), Ali bin Umar berhasil menguasai wilayah Kawariyyir (Qairawan) dan memulihkan ketenteraman dengan bantuan ayahnya. 

Menurut cerita lain bahwa setelah Yahya II diusir oleh penduduk kota Fez, Ali bin Umar (paman dari ayah tiri Yahya) diangkatuntuk menduduki tahta yang tak lama kemudian harus dilepaskan lagi akibat satu pemberontakan. 

Pada masa Yahya III, pemerintahan yang semrawut ditertibkan kembali sehingga menjadi tenteram dan aman. Namun, setelah Yahya III memerintah dalam waktu yang cukup lama, ia terpaksa harus menyerahkan kekuasaan kepada teman kerabatnya yang diberi nama Yahya IV. 

Yahya IV ini berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kerabat-kerabat yang lainnya, dan sejak itu Dinasti Idrisiyah terlibat dalam persaingan antara dua kekuataan besar, yaitu Bani Umayah dari Spanyol dan Dinasti Bani Fatimiah dari Mesir dalam memperebutkan supremasi dari Afrika Utara. 

Sebagaimana diketahui bahwa kedua dinasti tersebut mempunyai aliran yang berbeda, yang satu beraliran Sunni (Bani Umayah), sementara yang satunya lagi (Bani Fatimiyah) beraliran Syi'ah. Kedua kekuatan tersebut, secara hati-hati menghindari bentrokan, sehingga Fez dan wilayah-wilayah Idrisiyah pada waktu itu menjadi daerah pertikaian mereka.

Setelah masa Yahya IV, saat kota Fez dan wilayah-wilayah Idrisiyah menjadi pertikaian, seorang cucu Idris II, yang bernama Al-Hajjam berhasil menguasai Fez dan daerah sekitarnya. Akan tetapi, ia kemudian mendapatkan pengkhianatan dari seorang pemimpin setempat sehingga kekuasaannya hilang dan hidupnya berakhir pada tahun 926 M. , sedangkan anak-anak dan saudara-saudaranya mengundurkan diri ke daerah sebelah utara (suku Barbar Gumara). 

Di sana, keluarga Idris dari kelompok Bani Muhammad mendirikan benteng di atas bukit yang diberi nama Hajar An-Nashr. Di benteng tersebut, mereka bertahan sampai lima puluh tahun sambil mengamat-amati kubu pertahanan Daulah Umawiyah dan Daulah Fatimiah. 

Ada juga satu riwayat yang menerangkan bahwa jatuhnya Dinasti Idrisiyah disebabkan oleh Khalifah Muhammad Al-Muntashir yang membagi-bagikan kekuasaannya kepada saudara-saudaranya yang cukup banyak, sehingga mengakibatkan pecahnya Idrisiyah secara politis. Perpecahan tersebut merupakan faktor yang membahayakan keberadaan Dinasti Idrisiyah karena dalam waktu bersamaan, datang pula serangan dari Dinasti Fatimiah.

Pada masa kepemimpinan Yahya III, Dinasti Idrisiyah ditaklukkan oleh Fatimiyah dan Yahya terusir dari kerajaan hingga wafatnya di Mahdiyah. Dengan berakhirnya Yahya, berakhir pula riwayat Dinasti Idrisiyah.

B. Dinasti Aghlabiyah (800-909 M)

Dinasti Idrisiyah merupakan dinasti pertama pada masa pemerintahan Abbasiyah yang terpisah dari dunia Islam. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Khalifah Harun Ar-Rasyid merasa terancam dengan hadirnya Dinasti Idrisiyah, kemudian ia mengirimkan Sulaiman bin Jarir untuk menjadi mata-mata dan berpura-pura menentang Daulah Abbasiyah. 

Bersamaan dengan hal itu, Khalifah Harun Ar-Rasyid juga menyerahkan kawasan Tunisia kepada Ibrahim bin Aghlab dengan segala hak-hak otonomnya dengan tujuan untuk menahan bila Idrisiyah melakukan ekspansi ke negeri Mesir dan Syam. 

Sebagai ganti setianya, Ibrahim bin Aghlab menyerahkan pajak tahunan sebesar 40.000 dinar ke Baghdad. Karena letak geografis antara wilayah Afrika Utara dan pusat pemerintahan di Baghdad sangat jauh, daerah tersebut tidak mendapatkan kontrol yang efektif dari pemerintahan pusat. Akhirnya, dengan daerah Tunisia dan Aljazair sebagai wilayah kekuasaannya, berdirilah Dinasti Aghlabiyah (800-909 M.) 

Dinasti Aghlabiyah ini didirikan di Aljazariyah dan Sisilia oleh Ibrahim bin Aghlab, seorang yang dikenal mahir di bidang administrasi. Dengan kemampuan ilmu administrasinya, ia mampu mengatur roda pemerintahannya dengan baik. Secara periodik, Dinasti Aghlabiyah ini dikuasai oleh beberapa penguasanya, yaitu: 

  • Ibrahim bin Aghlab 800-811 M. 
  • Abdullah I 811-816 M. 
  • Ziyadatullah bin Ibrahim 816-837 M. 
  • Abu Iqal bin Ibrahim 838-841 M. 
  • Abu Al-Abbas Muhammad 841-856 M.
  • Abu Ibrahim Ahmad 856-8634 M. 
  • Ziyadamnah II bin Ahmad 863-864 M. 
  • Abu Al-Ghranik Muhammad II bin Ahmad 864-874 M. 
  • Ibrahim II bin Ahmad 874-902 M. 
  • Abu Al-Abbas Abdullah II 902-903 M. 
  • Abu Mudhar Ziyadatullah III 903-909 M. 

Dinasti Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam sejarah konflik berkepanjangan antara Asia dan Eropa. Di bawah pimpinan Ziyadatullah I, suatu armada bajak laut dikerahkan untuk menggoyang pesisir Italia, Perancis, Cosica, dan Sardina. Kemudian, pada tahun 827 M., Ziyadatullah mengirim sebuah ekspedisi untuk merebut Sisilia dari Bizantium dan berhasil dikuasai pada tahun 902 M. 

Sisilia yang berada di .pulau laut tengah tersebut, dijadikan pangkalan untuk penyerangan daratandaratan Eropa yang Kristen. Kontribusi terpenting dalam ekspedisi tersebut adalah menyebarnya peradaban Islam hingga ke Eropa. Bahkan, Renaisans di Italia terjadi karena transmisi ilmu pengetahuan melalui pulau ini.

Dinasti ini juga terkenal dengan prestasinya di bidang arsitektur, terutama dalam pembangunan masjid. Pada masa Ziyadatullah yang kemudian disempurnakan oleh Ibrahim II, berdiri dengan megahnya masjid yang besar, yaitu masjid Qairawan. Menara masjidnya yang merupakan warisandari bentuk bangunan Umayah merupakan bangunan tertua di Afrika. 

Oleh karena itulah, Qairawan menjadi kota suci keempat setelah Mekah, Madinah, dan Yerussalem. Masjid tersebut disebut sebagai masjid terindah dalam Islam karena ditata sedemikian indah. Selain itu, dibanguu pula sebuah masjid di Tunisia, pada masa kekuasaan Ahmad, serta dibuat pula suatu peralatan pertanian dan irigasi untuk daerah Ifrikiyah yang kurang subur. 

Pada akhir abad ke-9, posisi Dinasti Aghlabiyah di lfrikiyah mengalami kemunduran, dengan masuknya propaganda Syi'ah yang dilancarkan oleh Abdullah Al-Syi'ah atas isyarat Ubaidilah Al-Mahdi telah menanamkan pengaruh yang kuat di kalangan orang-orang Barbar suku Ketama.

Kesenjangan sosial antarpenguasa Aghlab di satu pihak dan orang-orang Barbar di pihak lain, telah menambah kuatnya pengaruh itu dan pada akhirnya membuahkan kekuatan militer. 

Pada tahun 909, kekuatan militer tersebut berhasil menggulingkan kekuasaan Aghlabid yang terakhir, Ziyadatullah III sehingga Ziyadatullah diusir ke Mesir setelah gagal mendapatkan bantuan dari pemerintahan pusat di Baghdad. 

Ada juga yang berpendapat bahwa Ziyadatullah kalah karena tidak mengadakan perlawanan apapun sebelum Dinasti Fatimiah mengadakan invasi. Dan sejak itu pula, Ifrikiyah dikuasai oleh orang-orang Syi’ah yang pada masa selanjutnya membentuk Dinasti Fatimiah. 

Salah satu faktor mundurnya Aghlabiyah ialah hilangnya hakikat kedaulatan dan ikatan-ikatan solidaritas sosial semakin luntur. Kedaulatan pada hakikatnya hanya dimiliki oleh mereka yang sanggup menguasai rakyat, sanggup memungut iuran negara, mengirimkan angkatan bersenjata, melindungi perbatasan dan tak seorang penguasa pun berada di atasnya.

Dengan semakin berkurangnya pengaruh Aghlabiyah terhadap masyarakat, dikarenakan adanya kesenjangan sosial, berakhirlah riwayat Dinasti Aghlabiyah. 

C. Dinasti Thuluniyah (868-901)

Dinasti ini merupakan dinasti yang kecil pertama di Mesir pada pemerintahan Abbasiyah, yang memperoleh hak otonom dari Baghdad. Dinasti ini didirikan oleh Ahmad Ibn Thulun, yaitu seorang budak dari Asia Tengah yang dikirim oleh panglima Thahir bin Al-Husain ke Baghdad untuk dipersembahkan kepada Khalifah Al-Makmun dan diangkat menjadi kepala pegawai Istana. 

Ahmad Ibn Thulun ini dikenal sebagai sosok yang dikenal kegagahan dan keberaniannya, dia juga seorang yang dermawan, Hafidz, ahli di bidang sastra, syariat, dan militer. 

Pada mulanya, Ahmad Ibn Thulun datang ke Mesir sebagai wakil gubernur Abbasiyah di sana, lalu menjadi gubernur yang wilayah kekuasaannya sampai ke Palestina dan Suriah. Pada masa Khalifah Al-Mu'taz, Ahmad Ibn Thulun ditunjuk sebagai wali di Mesir dan Libya atas bantuan ayah tirinya yang menjabat sebagai panglima Turki di belahan barat. 

Masa ini merupakan masa disintegrasi dan distabilitas politik pemerintahan Abbasiyah. Situasi tersebut dimanfaatkan oleh Ahmad bin Thulun dengan memproklamasikan indepedensi wilayahnya dan membentuk Dinasti Thuliniyah. 

Meskipun demikian, Thuluniyah masih tetap memperlihatkan loyalitasnya pada Baghdad melalui penyebutan nama khalifah dalam khotbah Jumat dan penulisan nama khalifah pada mata uang, serta pembayaran pajak sejumlah. 300.000 dinar. 

Keberadaan Dinasti Thuluniyah di Mesir semakin bertambah besar dan kuat, apalagi setelah adanya ikatan kuat melalui perkawinan antara Ahmad Ibn Thulun dengan saudara Yarjukh, sebagai jaminan atas kedudukan yang diperoleh Thuluniyah. 

Ahmad Ibn Thulun mulai mengadakan ekspansi ke wilayah Hijaz di Semenanjung Arabia hingga Palestina dan Siria, yaitu pada tahun 878 M., serta wilayah Sisilia di Asia Kecil pada tahun 879 M.

Posisi Ahmad Ibn Thulun yang secara politis banyak menguntungkan bagi penguatan kekuasaannya tersebut, Al-Muwaffaq (salah seorang saudaranya Khalifah Al-Mu'tamid pada saat itu), merasa iri hati dan ia merencanakan untuk membuat strategi dalam memengaruhi khalifah agar menyerang Ahmad sehingga tidak terhindarkan lagi terjadinya benturan fisik antara Khalifah Al-Mu'tamid dengan Ahmad Ibn Thulun. 

Namun, karena mempunyai dukungan dan pasukan yang tangguh dan terlatih, kedudukan Ahmad Ibn Thulun masih tetap kokoh dan kuat. Beberapa saat setelah peristiwa peperangan tersebut, Ahmad Ibn Thulun menderita sakit, dan lama-kelamaan sakitnya bertambah parah, akhirnya ia meninggal pada tahun 270 Hijriah dalam usia 50 tahun dan kekuasaan pun pindah ke tangan putranya yang tertua bernama Al-Khumarwaihi. 

Ketika kekuasaan berada di tangan Al-Khumarwaihi, yaitu pada tahun 884-895 M., Dinasti Thuluniyah mencapai kejayaannya. Pada masa ini pula, Khalifah Al-Mu'tamid terpaksa harus menyerahkan wilayah Mesir, Siria sampai gunung Tauruts dan wilayah Aljazair (Mesopotamia Utara), kecuali Mosul kepada Al-Khumarwaihi. 

Pada saat itu pula berbagai prestasi Dinasti Thuluniyah telah banyak dicapai. Dinasti Thuluniyah mampu mengukir dan memperkaya peradaban Islam yang semasa Dinasti Umayah mengalami kemunduran. 

Sebagai Contoh kemajuan prestasi dinasti tersebut ialah dalam bidang seni arsitektur, telah berdiri sebuah masjid Ahmad Ibn Thulun yang megah, pembangunan rumah sakit yang memakan biaya cukup besar sampai 60.000 dinar, dan bangunan Istana Al-Khumarwaihi dengan balairung emasnya. 

Kemewahan dan keistimewaan masjid Ahmad Ibn Thulun terletak pada menaranya yang melintang dan melilit ke atas. Setiap hari Jumat, di masjid tersebut selalu disediakan dokter khusus untuk mengobati pasien secara cuma-cuma tanpa melihat agama dan alirannya (bebas). 

Adapun keistimewaan Istana Al-Khumarwaihi terletak pada seluruh dinding balaimngnya yang dilapisi emas dan dihiasi dengan relief dirinya. Istana tersebut dibangun di tengah-tengah kebun yang tumbuh-tumbuhannya sangat indah, juga terdapat kebun binatang.

Kemajuan prestasi di bidang yang lainnya ialah di bidang militer. Thuluniyah mempunyai 100.000 prajurit yang cakap dan terlatih dari orang Turki dan budak belian dari bangsa Negro. Thuluniyah membangun kubukubu pertahanan dan sebuah benteng yang kokoh di atas pulau Ar-Raudah. Pada masa itu juga, banyak dibangun irigasi sebagai sarana pertanian yang terletak di lembah Sungai Nil. 

Selama beberapa tahun menjelang berakhirnya masa kekuasaan AlKhumarwaihi. pada dinasti ini mulai kelihatan adanya gejala-gejala memburuk, yaitu pada tahun 896 M., Al-Khumarwaihi meninggal dan tahta kerajaan secara berurutan diserahkan kepada Abu Al-'Asakir Jaisy Ibn Khumarwaihi (895-896 M.), kemudian Harun bin Khumarwaihi dan Saiban lbn Ahmad Ibn Thulun. 

Pada masa kekuasaan terakhir (Syaiban), muncul dan berkembang sekte-sekte keagamaan Qaramitah yang berpusat di Gurun Siria. Melihat keadaan seperti itu, Syaibah tampaknya tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan sekte-sekte tersebut, dan bersamaan dengan itu pula Khalifah Abbasiyah mengirimkan pasukan untuk menaklukkan Dinasti Thuluniyah serta membawa keluarga dinasti yang masih hidup ke Baghdad Setelah ditaklukkan, Dinasti Thuluniyah jatuh dan hancur.

D. Dinasti Ikhsidiyah (935-969)

Dinasti Ikhsidiyah ini didirikan oleh Muhammad Ibn Tughi yang diberi gelar Al-Ikhsyid (pangeran)” pada tahun 935 M. Muhammad Ibn Tughi diangkat menjadi seorang gubernur di Mesir oleh Abbasiyah pada saat Ar-Radi atas jasanya mempertahankan dan memulihkan keadaan wilayah Nil dari serangan kaum Fatimiah yang berpusat di Afrika Utara. 

Dinasti Ikhsidiyah mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menyokong dan memperkuat wilayah Mesir. Pada masa itu, Mesir mempunyai kedudukan yang sangat kuat karena ditopang dengan kemiliteran Ikhsidiyah yang tangguh dengan pasukan pengawal sejumlah 40. 000 orang dan 800 orang pengawal pribadinya. 

Pada masa Dinasti Ikhsidiyah ini pula terjadi peningkatan dalam dunia keilmuan dan gairah intelektual, seperti mengadakan diskusi-diskusi keagamaan yang dipusatkan di masjid-masjid dan rumah para menteri dan ulama. 

Kegiatan itulah yang sangat berperan dalam pendewasaan pendidikan masyarakat ketika itu, dan juga dibangun sebuah pasar buku yang besar sebagai pusat dan tempat berdiskusi yang dikenal dengan nama Syuq Al-Waraqin. 

Selama dua tahun setelah berkuasa di Mesir, Dinasti lkhsidiyah mengadakan ekspansi besar-besaran dengan menundukkan Siria dan Palestina ke dalam otonomi wilayahnya. Pada tahun berikutnya, Ikhsidiyah menaklukkan wilayah Mekah dan Madinah. 

Dengan demikian, kekuasaan lkhsidiyah bertambah besar dan pesat. Bahkan, menurut Bosworth, Kafur (965-967 M.) pemimpin keempat setelah Ibn Tughi, Abu Al-Qasim Ibn Al-lkhsyid (954-960 M.) dan Ali Ibn Al-Ikhsyid (960-965 M.) memiliki kekuasaan yang tidak terbatas.

Pada masa pemerintahan Kafur yang termashyur sebagai pelindung liberal kesusastraan dan seni, beberapa serangan yang dilancarkan di Fatimiah di sepanjang pantai Afrika Utara dapat diatasi. Akan tetapi, sepeninggal Kafur pada tahun 968 M., Ikhsidiyah menjadi dinasti yang sangat lemah. 

Pada masa itu, Abu Al-Fawarisaris Ahmad Ibn Ali (967-972 M.) yang menerima warisan tahta kekuasaan setelah Kafur, tampaknya tidak bertahan lama, dikarenakan kepemimpinannya yang sangat lemah, sehingga serangan yang terus-menerus dilancarkan oleh Fatimiah terhadap pemerintahannya, membuat dinasti ini tidak berdaya dan tidak mampu mempertahankan kekuasaannya di Mesir. Pada akhirnya, Ikhsidiyah dapat ditaklukkan pula oleh Fatimiah sehingga jatuhnya kekuasaan itu 

Ada beberapa faktor kehancuran Dinasti Ikhsidiyah, yaitu selain karena serangan terus-menerus yang dilancarkan Fatimiah, pada masa sebelum penaklukan oleh Fatimiah, telah terjadi pula penyerangan Qarrnatian ke Siria pada tahun 963 M. Selain itu juga, terjadi penyekapan jemaah haji Mesir serta serbuan orang-orang Nubia yang berhasil merampas daerah-daerah wilayah selatan.

E. Dinasti Hamdaniyah (972-1152)

Dinasti ini didirikan oleh Hamdan Ibn Hamdun, seorang Amir dari suku Taghlib. Putranya Al-Husain adalah panglima pemerintahan Abbasiyah dan Abu Al-Haija Abdullah diangkat menjadi Gubernur Maosul oleh Khalifah Al-Muktah pada tahun 905 M. 

Pada masa hidupnya, Abu Hamdan Ibn Hamdun pemah ditangkap oleh Khalifah Abbasiyah karena beraliansi dengan kaum Khawarij untuk menentang kekuasaan Bani Abbas. Akan tetapi, atas jasa putranya, Husain Ibn Hamdun diampuni oleh Khalifah Abbasiyah. 

Wilayah kekuasaan dinasti ini terbagi dua bagian. yaitu wilayah kekuasaan di Mousul dan wilayah kekuasaan di Halb, Wilayah kekuasaan di Halb, terkenal sebagai pelindung kesusastraan Arab dan ilmu pengetahuan. 

Pada masa itupula, muncul tokoh-tokoh cendekiawan besar, seperti Abi Al-Fath dan Usman Ibn Jinny yang menggeluti di bidang ilmu Nahwu, Abu Thayyib Al-Mutannabi, Abu Firas Husain Ibn Nashr Ad-Daulah, Abu A’la Al-Ma'ari, dan Syaif Ad-Daulah sendiri yang mendalami ilmu sastra, serta lahir pula filosof besar, yaitu Al-Farabi. 

Setelah meninggalnya Haija, tahta kerajaan beralih pada seorang putranya, yaitu Hasan Ibn Abu Haija yang diberi gelar oleh khalifah sebagai Nashir Ati-Daulah dan Ali Ibn Abu Haija yang bergelar Syaif Ad-Daulahf Syaif Ad-Daulah inilah yang berhasil menguasai daerah Halb dan Hims dari kekuasaan Dinasti Ikhsidiyah Yang kemudian menjadi pendiri Dinasti Hamdaniyah di Halb. 

Mengenai jatuhnya dinasti ini, terdapat beberapa faktor :

Pertama, meskipun dinasti ini berkuasa di daerah yang cukup subur dan makmur serta memiliki pusat perdagangan yang strategis, sikap kebaduiannya yang tidak bertanggung jawab dan sikapnya yang destruktif tetap ia jalankan. Dengan sikap seperti itu, Suriah, dan Aljazirah merasa menderita karena kerusakan yang ditimbulkan oleh peperangan. Hal inilah yang menjadikan kurangnya simpati masyarakat dan wibawanya jatuh. 

Kedua, bangkitnya kembali Dinasti Bizantium di bawah kekuasaan Macedonia yang bersamaan dengan berdirinya Dinasti Hamdaniyah di Suriah menyebabkan Dinasti Hamdaniyah tidak bisa menghindari dari invasi wilayah kekuasaannya dari serangan Bizantium yang energik. Invasi yang dilakukan oleh Bizantium terhadap Suriah mengakibatkan Allefo dan Himsh terlepas dari wilayah kekuasaannya, hingga Dinasti Hamdaniyah menjadi lumpuh. 

Ketiga, kebijakan ekspansionis Fatimiah ke Suriah bagian selatan juga melumpuhkan kekuasaan dinasti ini, sampaisampai ekspansionis ini mengakibatkan terbunuhnya Said Ad-Daulah yang tengah memegang tampuk kekuasaan Dinasti Hamdaniyah. Akhirnya, dinasti ini pula takluk pada Dinasti Fatimiah. 

Setelah mencermati uraian yang cukup panjang mengenai dinasti-dinasti kecil di barat Baghdad, kiranya dapat diambil beberapa catatan berikut :

Pertama, paling tidak, terdapat lima latar sosial politik munculnya dinasti-dinasti kecil di bagian barat Baghdad, yaitu: 

l. karena kebijakan penguasa Bani Abbasiyah yang lebih menitikberatkan kemajuan peradaban dibanding dengan mengadakan ekspansi dan politisasi, sehingga memberikan banyak peluang terhadap wilayahwilayah atau provinsi-provinsi tertentu yang jauh dari pusat kekuasaan untuk melepaskan dan memerdekakan diri dari pemerintahan Abbasiyah; 

2. karena peta kekuasaan Abbasiyah yang tidak diakui oleh Spanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir, bahkan dalam kenyataannya, banyak daerah yang tidak disukai oleh khalifah, sehingga peta k :kuasaan tersebut membuat daerah-daerah yang jauh itu mendirikan dinastidinasti kecil; 

3. masalah fanatisme atau ras kebangsaan (Syu’ubiyat) yang membuat mereka melepaskan diri dari kekuasaan Abbasiyah sampai memperluas kekuasaannya; 

4. adanya pemberian hak otonomnya, sehingga tidak terkontrol karena yang memberi hak berada jauh dari pemerintahan pusat; dan 

S. terlalu luasnya kekuasaan Abbasiyah. 

Kedua, bahwa proses pelepasan daerah-daerah kecil itu memakai salah satu dari dua cara, yaitu menunjuk seseorang yang diangkat menjadi gubernur oleh khalifah untuk menjadi pemimpin kekuasaan kecil dan seorang pemimpin lokal itu dituntut untuk memimpin suatu pemberontakan sehingga mendapatkan kemerdekaan penuh. 
Ketiga, bahwa munculnya dinasti-dinasti kecil ini, meskipun banyak mengancam terhadap kedudukan pemerintahan Abbasiyah, juga banyak memberikan konstribusi terhadap pengembangan khazanah ilmu pengetahuan, kebudayaan, sehingga perluasan wilayah, juga memberikan kotrbusi terhadap pemerintahan pusat untuk mengantisipasi serangan dari pihak luar.