Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dasawarsa penindasan dan pemerasan

Dasawarsa penindasan dan pemerasan 

Politik penindasan dan pemerasan kembali dilakukan oleh Pemerintah Belanda dengan ditempatkannya Gubernur Jenderal D. Fock yang sangat reaksioner (1921 - 1926). Sementara itu kondisi ekonomi tidak mendukung. Krisis gula sejak tahun 1921 dan krisis ekonomi tahun 1921, terjadi akibat adanya Perang Dunia I.

Dalam menjalankan tugasnya, D. Fock melaksanakan dua hal yang mencolok. Pertama, menjalankan penghematan secara besar-besaran. Akibatnya sangat terasa berkurangnya anggaran belanja untuk kesejahteraan rakyat seperti pelayanan rumah sakit atau poliklinik, dan biaya penyelenggaraan pendidikan yang sebelumnya memang tidak dapat dikatakan mencukupi.

Kedua, dilakukan tekanan pajak yang sangat memberatkan kehidupan rakyat. Antara tahun 1919 - 1921 pada masa pemerintahan Van Limburg Stirum pajak yang dimasukkan berjumlah 24 juta setahun, pada masa pemerintahan D. Fock meningkat menjadi 28 juta tahun 1922, 32 juta tahun 1923, dan berkembang menjadi 34 juta tahun 1925. Secara umum kenaikan pajak di Jawa dan Madura menjadi 40 persen.

Pada masa-masa tersebut Kebangkitan Nasional Indonesia telah berumur lebih dari sepuluh tahun, semangat dan kesadarannya makin tinggi, sehingga menimbulkan jiwa radikal di kalangan kaum pergerakan. Partai-partai politik yang kuat makin meningkat tekadnya untuk menjalankan atas nonasosiasi atau nonkooperasi, tidak mau kerja sama dengan Belanda dalam wujudnya tidak mau mengirimkan wakilnya dalam Volksraad.

Masa sangat mudah dibina akibat kondisi penghematan dan perpajakan yang dijalankan Belanda. Sifat radikal nyata dari adanya pemogokan dan pemberontakan. Pemogokan dilakukan antara lain oleh Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB) di bawah pimpinan Suryopranoto (digelari Raja Pemogokan) dan Haji Agus Salim (1922).

Kemudian, kaum buruh kereta api yang bergabung dalam Staats Spoor Bond (SS Bond) dan Vereeniging van Spoor en Tramweg Persooneel (VSTP) di bawah pimpinan Semaun dan kawan-kawannya golongan kiri pada tahun 1923. Tindakan yang dilakukan oleh Fock ialah menangkap Semaun dan kawan-kawannya dan mengusirnya keluar negeri. Pada umumnya mereka memilih tinggal di Rusia yang waktu itu sudah menjadi negara komunis (Uni Soviet).

Suatu pemberontakan yang dirasakan berat bagi Belanda ialah yang dipimpin oleh kaum komunis muda yang tidak diusir ke luar negeri. Pemberontakan terjadi di Banten, Jakarta, Bandung, dan Sumatera Barat (1926 - 1927). Pemerintah Belanda menindasnya yang menimbulkan sejumlah korban jiwa, sedangkan ribuan lainnya ditangkap dan diasingkan di Digul Hulu atau Tanah Merah (Irian Jaya). Dalam catatan ada 4 orang dihukum mati, 4500 dipenjara, dan 1.300 orang dibuang ke Digul.

Dibawah Gubernur Jenderal De Graef (1926 - 1931) sifat reaksioner dari pendahulunya masih diteruskan. Selain menindak terhadap golongan kiri yang berontak, juga kemudian dilakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia seperti Ir. Soekarno (1929).

Gambar Gubernur Jenderal De Graef

Gubernur Jenderal De Graef

Situasi ekonomi yang buruk akibat adanya The Great Depression yang berawal di Amerika Serikat secara tidak langsung mempengaruhi ekonomi di Indonesia. Zaman Malaise yang di kalangan rakyat dikenal sebagai Zaman Meleset mengakibatkan rakyat sangat menderita. Banyak kaum buruh khususnya yang bekerja di perkebunan diberhentikan sehingga terpaksa kembali ke desanya dan menimbulkan pengangguran tersembunyi.

Sebagian pegawai negeri dikurangi jam kerjanya yang berakibat dikurangi juga gajinya. Sementara itu pajak tetap saja dipungut demi kehidupan yang baik bagi bangsa Belanda. Sehingga makin terasa kemiskinan, dan kelaparan yang melanda rakyat kecil.

Tersebar pendapat, bahwa dalam tahun tiga puluhan akan terjadi peperangan di kawasan Pasifik. Bila hal itu terjadi, Indonesia yang terletak di tepi kawasan Pasifik tidak mungkin tinggal diam. Hal itulah yang menyebabkan Belanda makin banyak mencurigai gerakan bangsa Indonesia, antara lain dengan penangkapan terhadap Ir. Soekarno tahun 1929.

Pemerintahan Gubernur Jenderal De Jonge (1931 - 1936) makin terasa sifatnya yang reaksioner. Polisi Dinas Rahasia Belanda yang khusus melacak soal-soal politik (Politieke Inlichtingen Dienst, PID) meningkatkan kegiatannya. Larangan mengadakan rapat dikeluarkan, karena rapat-rapat umum dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.

Pegawai negeri pun dilarang masuk partai politik. De Jonge berpendapat bahwa soal Kebangkitan Nasional Indonesia harus diselesaikan oleh polisi. Tindakan reaksioner De Jonge dilakukan dengan penangkapan dan pengasingan tokoh-tokoh nasionalis Indonesia yang nonasosiatif atau nonkooperatif dengan Belanda.

Dengan artikel karet yang dapat ditarik-tarik untuk menjebak kaum pergerakan, dilakukan penangkapan terhadap Ir. Soekarno dan mengasingkannya ke Kota Ende di Flores (1934). Menyusul penangkapan terhadap Drs. Moh. Hatta dari PNI Baru bersama Sutan Syahris, Maskun, Burhanudin, Murwoto, dan Bondan yang kemudian diasingkan ke Digul Hulu (1934).

Hanya partai-partai yang mau melakukan asas kooperasi dengan Belanda dibiarkan hidup terus, misalnya Partai Indonesia Raya (PARINDRA). Suatu perlawanan dengan cara kekerasan terjadi dalam Kapal Tujuh (De Zeven Provincien).

Perlawanan tersebut dilakukan oleh awak kapal perang yang sedang dalam pelayaran dari Olele (Sabang) ke Surabaya pada tahun 1933. Pemerintah Belanda bertindak keras, sehingga menyebabkan banyak terjadi korban.

Baca juga di bawah ini :

Post a Comment for "Dasawarsa penindasan dan pemerasan"