Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Landasan Idiil dan Konstitusional Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif

Landasan Idiil dan Konstitusional Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif 

Sejak Moh. Hatta menyampaikan pidatonya berjudul Mendayung di Antara Dua Karang di depan sidang BPKNIP pada September 1948, Indonesia menganut politik luar negeri bebas aktif, yang dipahami sebagai sikap dasar Indonesia yang menolak masuk dalam salah satu blok negara-negara superpower, menentang pembangunan pangkalan militer asing di dalam negeri, serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara besar. Indonesia tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya meredakan ketegangan di dunia internasional. Indonesia ikut berperan menciptakan perdamaian dunia.

1. Landasan Idiil dan Konstitusional Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif

Landasan idiil dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dijadikan sebagai pedoman dan pijakan dalam melaksanakan politik luar negeri Indonesia. Kelima sila dalam Pancasila berisi pedoman dasar bagi pelaksanaan kehidupan manusia.

Menurut Moh. Hatta, Pancasila merupakan salah satu faktor objektif yang berpengaruh atas politik luar negeri Indonesia. Hal tersebut karena Pancasila sebagai falsafah negara mengikat seluruh bangsa Indonesia, sehingga golongan atau partai politik mana pun yang berkuasa tidak boleh menjalankan suatu politik negara yang menyimpang dari Pancasila. Adapun berkuasa konstitusional pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alenia pertama dan alenia keempat.



Tujuan politik luar negeri Indonesia secara terperinci sebagai berikut :

  • Menjaga kedaulatan negara dan mempertahankan kemerdekaan bangsa.
  • Ikut serta menciptakan perdamaian dunia internasional sebab hanya dalam keadaan damai kita dapat memenuhi kesejahteraan rakyat.
  • Menggalang persaudaraan antarbangsa sebagai realisasi dari semangat Pancasila.

Adapun prinsip-prinsip dasar yang dijadikan pedoman pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif adalah sebagai berikut :

  • Negara Indonesia menjalankan politik damai, bangsa Indonesia bersama bangsa lain ingin menegakkan perdamaian dunia.
  • Negara Indonesia ingin bersahabat dengan negara-negara lain atas dasar saling menghargai dan tidak akan mencampuri urusan dalam negeri negara lain.
  • Negara Indonesia menjunjung tinggi sendi-sendi hukum internasional.
  • Indonesia membantu pelaksanaan keadilan sosial internasional dengan berpedoman pada Piagam PBB.

Agar prinsip bebas aktif dapat dioperasionalisasikan dalam politik luar negeri Indonesia, maka setiap periode pemerintahan menetapkan landasan operasional politik luar negeri Indonesia yang senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan nasional.

Sejak awal kemerdekaan sampai masa Orde Lama, landasan operasional dari politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif sebagian besar dinyatakan melalui maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno. Setelah kemerdekaan dikeluarkan Maklumat Politik Pemerintah Tanggal 1 November 1945 yang isinya adalah sebagai berikut :

  1. Politik damai dan hidup berdampingan secara damai.
  2. Tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain.
  3. Politik bertetangga baik dan kerja sama dengan semua negara di bidang ekonomi, politik, dan bidang lainnya.
  4. Selalu mengacu pada Piagam PBB dalam melakukan hubungan dengan negara lain.

Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) landasan operasional politik luar negeri Indonesia adalah berdasarkan UUD 1945 yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alenia pertama, pasal 11 dan pasal 13 ayat 1 dan 2 UUD 1945, amanat presiden yang berjudul ''Penemuan Kembali Revolusi Kita'' pada tanggal 17 Agustus 1959 atau dikenal sebagai ''Manifesto Politik Republik Indonesia''.

Pada masa Orde Baru landasan operasional politik luar negeri Indonesia kemudian semakin dipertegas dengan beberapa peraturan formal, di antaranya adalah Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 Tanggal 5 Juli 1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia. 

Ketetapan tersebut menyatakan bahwa sifat politik luar negeri Indonesia adalah sebagai berikut :
  • Bebas aktif, antiimperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk manifestasinya dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
  • Mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderitaan rakyat.

Selanjutnya, landasan operasional kebijakan politik luar negeri Republik Indonesia dipertegas lagi dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara tanggal 22 Maret 1973.

Landasan operasional politik luar negeri Indonesia pasca-Orde Baru atau dikenal periode reformasi (dimulai dari pemerintahan B.J. Habibie sampai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono) dapat dilihat melalui Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 Tanggal 19 Oktober 1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Rangka Mewujudkan Tujuan Nasional Periode 1999-2004, GBHN ini menekankan pada faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya krisis ekonomi dan krisis nasional pada tahun 1997 yang kemudian dapat mengamcam integrasi NKRI, di antaranya adanya ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang demokratis dan berkeadilan.

Oleh karena itu, GBHN juga menekankan perlunya upaya reformasi di berbagai bidang khususnya memberantas segala bentuk penyelewengan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta kejahatan ekonomi dan penyalahgunaan kekuasaan.

2. Lahirnya Politik Luar Negeri Bebas Aktif

Sifat politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif bermula dari konsepsi Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta dalam pidatonya yang berjudul Mendayung di Antara Dua Karang. Munculnya sifat politik luar negeri Indonesia didasari oleh kondisi Perang Dingin dalam konstelasi politik global. Secara keseluruhan, politik luar negeri Indonesia tidak hanya bersifat bebas aktif saja, tetapi politik luar negeri Indonesia juga selalu mengikuti arah perkembangan konstelasi global.

Berikut rumusan sifat politik luar negeri Indonesia :

a. Bebas Aktif

Sifat bebas aktif dilandasi oleh alinea keempat dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia turut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sifat bebas aktif ini mengegaskan bahwa Indonesia tidak menoleransi adanya intervensi di dalam urusan sebuah negara.

b. Antikolonialisme

Dengan sifat antikolonialisme Indonesia menentang secara tegas adanya bentuk penguasaan atau penjajahan oleh satu negara terhadap negara lainnya.

c. Orientasi pada Kepentingan Nasional

Politik luar negeri Indonesia ditujukan untuk pencapaian kepentingan nasional.

d. Demokratis

Demokratis artinya bahwa segala keputusan konvensi yang dilakukan oleh Indonesia dengan negara lain harus mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat melalui DPR.

Landasan idiil luar negeri Indonesia adalah Pancasila, sedangkan landasan konstitusionalnya adalah Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 2 September 1948 secara jelas menyatakan pandangannya tentang politik luar negeri Indonesia di depan sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP). 

Rumusan-rumusan politik luar negeri Indonesia adalah sebagai berikut :

a. Drs. Moh. Hatta dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, mempertegas pernyataan politik luar negeri Republik Indonesia. 

Dalam buku tersebut dirumuskan tujuan politik luar negeri Indonesia antara lain sebagai berikut.

  1. Mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan negara.
  2. Memperoleh barang-barang dari luar untuk memperbesar kemakmuran rakyat.
  3. Meningkatkan perdamaian internasional karena hanya dalam keadaan damai Indonesia dapat membangun.
  4. Meningkatkanpersaudaraan segala bangsa sebagai cita-cita yang tersimpul dalam Pancasila, dasar, dan falsafah negara Indonesia.

b. Dalam GBHN tahun 1978 merumuskan hal senada dengan apa yang dirumuskan oleh Drs. Moh. Hatta.

c. Saptakrida Kabinet Pembangunan III dengan ketujuh sasarannya menyatakan bahwa semakin berkembangnya pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif itu bertujuan mengabdikan kepada kepentingan nasional dalam rangka memperkuat ketahanan nasional.

3. Politik Luar Negeri Indonesia Masa Demokrasi Parlementer


Pasca kemerdekaan sampai tahun 1950-an prioritas politik luar negeri dan diplomasi Indonesia ditujukan untuk menentang segala macam bentuk penjajahan di atas dunia, termasuk juga untuk memperoleh pengakuan internasional atas proses dekolonisasi yang belum selesai di Indonesia, dan menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia melalui politik bebas aktifnya. Sejak pertengahan tahun 1950-an, Indonesia telah memprakarsai dan mengambil sejumlah kebijakan luar negeri yang sangat penting dan monumental, seperti Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955.

4. Politik Luar Negeri Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin


Politik luar negeri Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin bersifat high profile yang diwarnai sikap antiimperialisme dan kolonialisme yang tegas dan cenderung bersifat konfrontatif. Pada masa Demokrasi Terpimpin, politik luar negeri juga ditandai dengan usaha keras Presiden Soekarno membuat Indonesia semakin dikenal di dunia internasional melalui beragam konferensi internasional yang diadakan maupun diikuti Indonesia.

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, arah politik luar negeri Indonesia tidak mengarah pada dua kubu, baik Blok Barat maupun Blok Timur, serta tidak pula ke dalam kubu Nonblok. Presiden Soekarno mengembangkan konsep bahwa pembagian blok di dalam konstelasi global pada saat itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu old emerging forces (Oldefo) dan new emerging forces (Nefo).

Oledefo adalah kekuatan negara-negara imperialisme dan kolonialis Barat, sedangkan Nefo adalah kelompok negara-negara komunis dengan beberapa negara baru di kawasan Asia dan Afrika, termasuk Indonesia.

Pola diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia dalam mengenalkan Nefo dan Oldefo dilakukan oleh Presiden Soekarno di berbagai forum internasional, seperti PBB. Salah satu elemen yang membangun konsepsi Nefo dan Oldefo adalah pidato Presiden Soekarno dalam from PBB pada tahun 1961 yang berjudul Membangun Dunia Kembali. 

Dari pidato inilah kemudian Dewan Pertimbangan Agung melalui Keputusan Nomor 2/Kpts/I/1961 tertanggal 19 Januari 1961 menyatakan bahwa Garis-Garis Dasar Politik Luar Ngeri Republik Indonesia berdasarkan pada UUD 1945, dengan sifat antiimperialisme dan antikolonialisme. 

Dalam kebijakan tersebut ditakankan pula bahwa tujuan politik luar negeri Indonesia adalah mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia penuh, mengabdi pada perjuangan bagi kemerdekaan nasional dari seluruh bangsa di dunia, serta mengabdi pada perjuangan untuk membela perdamaian dunia.

Oleh karena Indonesia termasuk dalam kelompok Nefo, maka cenderung menjaga jarak dengan negara-negara Blok Barat dan menjalin hubungan dengan Blok Timur. Politik luar negeri Nefo-Oldefo, kemudian berkembang semakin radikal mejadi politik mercusuar dan politik poros.

Melalui politik mercusuar, Indonesia mengadakan proyek-proyek besar yang menguras biaya besar. Maksud proyek tersebut adalah mengangkat Indonesia sebagai negara terkemuka (menjadi mercusuar) di kalangan Nefo. Proyek tersebut antara lain pembangunan kompleks olahraga Senayan dan penyelenggaraan Games of the New Emerging Forces (Ganefo) atau pesta olahraga untuk negara-negara Nefo.

Melalui politik poros Indonesia mengadakan hubungan istimewa dengan negara Kamboja, Vietnam Utara, Cina, dan Korea Utara. Hubungan tersebut disebut poros Jakarta-Pnom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang.

5. Politik Luar Negeri Indonesia pada Massa Orde Baru


Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, politik luar negeri Indonesia mengalami penyempurnaan seiring dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS Nomor XII/MPRS/1966 yang berisi tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia. Dalam ketetapan tersebut ditegaskan bahwa pelaksanaan politik luar negeri Indonesia diarahkan untuk pencapaian pembangunan nasional, kemakmuran rakyat, serta penegasan kebenaran dan keadilan.

Dalam rangka menata kembali politik luar negeri yang bebas aktif, Kabinet Ampera mengambil langkah-langkah sebagai berikut :
  • Mengakhiri konfronsi dengan Malaysia.
  • Indonesia masuk kembali mejadi anggota PBB agar tidak terkunci dari pergaulan masyarakat internasional.
  • Menjalin persahabatan dan kerja sama dengan negara-negara tetangga yaitu dengan membentuk ASEAN.

Hal tersebut dilakukan agar Indonesia mendapatkan kembali kepercayaan dari negara Barat dan membangun kembali ekonomi Indonesia melalui investasi asing dan bantuan asing. Tindakan ini juga dilakukan dalam rangka menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia telah meninggalkan kebijakan luar negerinya yang agresif.

Landasan politik luar negeri Republik Indonesia pada masa Orde Baru adalah sebagai berikut ini :

  • Ketetapan MPRS Nomor XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia.
  • Ketetapan MPRS Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan.
  • Ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1968 tentang Tugas Pokok Kabinet Pembangunan.
  • Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.

Pada tahun 1971, Malaysia mengajukan sebuah konsep tentang kawasan Asia Tenggara yang damai, bebas, dan netral atau lebih dikenal dengan sebutan zone of peace, feedom, and neutrality (ZOPFAN). Setelah itu, pada tahun 1983 Indonesia memperkenalkan konsep Asia Tenggara sebagai kawasan bebas senjata nuklir atau Sountheast Asia Nuclear Weapone Free Zone (SEANWFZ). Konsep tersebut merupakan cerminan dari peran aktif Indonesia dalam menjaga stabilitas di kawasan Asia Tenggara.

6. Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi


Pada awal reformasi, orientasi politik luar negeri masih sangat dipengaruhi oleh kondisi domestik akibat krisis multidimensional dan transisi pemerintahan. Perhatian utama politik luar negeri Indonesia diarahkan pada upaya pemulihan kembali kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia serta memulihkan perekonomian nasional. Saat itu politik luar negeri Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan politik domestik daripada politik internasional.

Pada awal masa pemerintahan B.J. Habibie, disibukkan dengan usaha memperbaiki citra Indonesia di internasional yang sempat terpuruk sebagai dampak krisis ekonomi di akhir era Orde Baru dan kerusuhan pascajajak pendapat di Timor Timur. Dengan usaha kerasnya, Presiden B.J. Habibie berhasil menarik simpati dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi.

Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, hubungan RI dan negara-negara Barat mengalami sedikit masalah setelah lepasnya Timor Timur dari NKRI. Presiden Abdurrahman Wahid memiliki cita-cita mengembalikan citra Indonesia. Untuk itulah Presiden Abdurrahman Wahid banyak melakukan kunjungan kenegara ke luar negeri. Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif, selama masa pemerintahannya yang singkat Presiden Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam setiap pertemuannya dengan negara yang dikunjungi.

Pada awal pemerintahan Presiden Megawati suasana politik dan keamanan dalam negeri menjadi agak lebih kondusif. Situasi ekonomi Indonesia mulai membaik yang ditandai dengan nilai tukar rupiah yang stabil. Belajar dari pemerintahan sebelumnya, Presiden Megawati lebih memperhatikan dan mempertimbangkan peran DPR dalam menentukan kebijakan luar negeri dan diplomasi seperti diamanatkan dalam UUD 1945.

Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ciri politik luar negeri Indonesia antara lain sebagai berikut ini :

  1. Terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara lain.
  2. Terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia terhadap perubahan-perubahan domestik dan perubahan-perubahan yang terjadi di luar negeri.
  3. Bersifat pragmatis kreatif dan oportunis, artinya Indonesia mencoba menjalin hubungan dengan siapa saja (baik negara, organisasi internasional, maupun perusahaan multinasional) yang bersedia membantu Indonesia dan menguntungkan pihak Indonesia.
  4. Konsep TRUST, yaitu membangun kepercayaan terhadap dunia internasional. Prinsip-prinsip dalam konsep TRUST adalah unity, harmony, security, leadership, prosperty. Prinsip-prinsip itulah yang menjadi sasaran politik luar negeri Indonesia di tahun 2008 dan selanjutnya.

Baca juga selanjutnya di bawah ini :

Post a Comment for "Landasan Idiil dan Konstitusional Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif"