Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Masa Koloniallisme Dampak pada Bidang Sosial, Budaya dan Pendidikan

1. Bidang Sosial

a. Pembagian Status (Kedudukan) Sosial Masyarakat
Pada masa kolonial Belanda, pembagian status sosial ditetapkan dalam peraturan Hukum Ketatanegaraan Hindia Belanda (Indische Staatsregeling) tahun 1927. Menurut Hukum Ketatanegaraan Hindia Belanda, penggolongan penduduk Indonesia sebagai berikut :
1). Golongan Eropa dan yang dipersamakan, yaitu sebagai berikut :
  • Bangsa Belanda dan keturunannya.
  • Bangsa-bangsa Eropa yang lain, seperti Portugis, Prancis, dan Inggris.
  • Orang-orang bangsa lain (bukan Eropa) yang telah dipersamakan dengan Eropa karena kekayaan, keturunan bangsawan, dan pendidikan.
2). Golongan timur asing, yaitu golongan yang terdiri dari golongan Cina, Arab, India, Pakistan, dan yang lainnya. Golongan ini berada pada lapisan tengah.
3). Golongan pribumi, penduduk asli (bumiputra) yang berada pada lapisan bawah.

b. Adanya Pelapisan Sosial
Dalam masyarakat pribumi dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan status sosialnya (lapisan bawah, lapisan menengah, dan lapisan atas).
  • Lapisan bawah, terdiri dari rakyat jelata dan merupakan penduduk terbesar dan hidup melarat.
  • Lapisan menengah, terdiri dari para pedagang kecil dan menengah, petani-petani kaya, serta pegawai.
  • Lapisan atas, terdiri dari keturunan-keturunan bangsawan atau kerabat raja yang memerintah suatu daerah. Umumnya mereka terbagi lagi dalam tingkatan dan gelar sesuai dengan tingkat kedekatan hubungan darah mereka dengan raja. Biasanya golongan ini disebut elite tradisional dan elite daerah.

2. Bidang Budaya

Kehidupan budaya bangsa Indonesia sejak kedatangan bangsa Barat banyak mengalami perubahan. Dalam bidang budaya di Indonesia terjadi westerminasi (cenderung meniru budaya kebarat-baratan). Corak kehidupan bangsa Barat telah memengaruhi lingkungan kehidupan tradisional masyarakat Indonesia. Cara bergaul, gaya hidup, cara berpakaian, serta pendidikan bangsa Barat mulai dikenal di kalangan raja dan bangsawan. Selain itu kehidupan bangsa Barat juga menyebabkan kekhawatiran para penguasa karena bisa berdampak merusak nilai-nilai kehidupan tradisional.

a. Pakaian

Pakaian masyarakat Indonesia sebelum Belanda datang ke Indonesia masih didominasi oleh pakaian-pakaian daerah setempat dan budaya Islam. Setelah bangsa Belanda dengan VOC-nya datang ke Indonesia, pakaian Belanda merupakan penanda yang jelas tentang kebudayaan dan agama para tuan tanah asing. Topi, celana, dan sepatu berfungsi untuk membedakan orang-orang Eropa dengan orang Indonesia.

Hal tersebut ditentukan oleh ordonansi yang dikeluarkan oleh VOC pada tahun 1658. Ordonansi tersebut melarang orang Jawa di Batavia untuk berbaur dengan ''bangsa-bangsa'' Indonesia lainnya dan memakai kostum mereka. Oleh karena itulah, orang pribumi diwajibkan untuk setia pada pakaian tradisional dan tutup kepala. Orang Indonesia yang diperbolehkan memakai pakaian gaya Eropa haya raja, pangeran, para bupati, dan penganut Kristiani.

Dalam perkembangan selanjutnya pada abad ke-20 pelarangan tersebut secara perlahan mulai hilang. Namun, tidak berarti tanpa proses perjuangan dari bangsa Indonesia. Salah satu anggota Sarekat Islam dari Solo, Mas Marco Kartodikromo melalui surat kabar Dunia Bergerak menyuarakan protesnya terhadap larangan berpakaian Eropa dan bersikap kebarat-baratan. Diskriminasi pakaian hilang setelah maraknya para pelajar Indonesia memakai pakaian jas dengan celana panjang putih serta berdasi.

b. Bahasa

Bahasa sehari-hari yang umum pada masa penjajahan Belanda adalah perpaduan bahasa Belanda dan Melayu. Penggunaan dua bahasa itulah awal penting masuknya bahasa Belanda dalam kosakata bahasa kita. Pada awal abad ke-20 proses penyerapan bahasa Belanda oleh bahasa Indonesia semakin intensif.

Intensitas penggunaan bahasa Belanda tersebut seiring dengan perkembangan teknologi Barat. Pada masa itu, bahasa Belanda merupakan bahasa modern untuk menentukan kelas sosial. Hanya pribumi terpelajar yang bisa berbahasa Belanda seperti keluarga bupati dan bangsawan lokal Jawa. Menurut Russell Jones, dalam bukunya yang berjudul Loan Words in Indonesian and Malay (2008), bahasa Indonesia dan bahasa Melayu memiliki sekitar 4.000 kata serapan dari bahasa Belanda.

Selain bahasa Belanda, Bahasa yang populer di tengah-tengah masyarakat kota modern terutama di Pulau Jawa dan Kepulauan Maluku adalah bahasa Portugis. Oleh karena itu tidak mengherankan bila banyak kosakata bahasa Portugis yang diserap ke dalam bahasa Indonesia seperti biola (viola), meja (mesa), dan pigura (figura).

c. Kesenian

Masuknya bangsa Barat ke Indonesia juga membawa pengaruh dalam perkembangan seni arsitektur dan seni musik. Karya seni yang paling mencolok dari hasil penjajahan kolonial Belanda adalah arsitektur bangunan-bangunan . Bangunan tersebut meliputi bangunan rumah tinggal, gedung pemerintahan, perkantoran, benteng, monumen, dan bangunan keagamaan.

Bangunan tersebut dibuat oleh arsitek Belanda yang bekerja pada arsitek yang terkenal yaitu biro arsitek Hulswit en Fermont te Weltevreden Ed. Hasil karya biro tersebut adalah kantor pusat Javasche Bank di Jakarta dan rumah presiden direktur Javasche Bank yang kini menjadi istana wakil presiden.

Dalam seni musik, para pendatang Eropa memperkenalkan berbagai alat musik, seperti biola, selo, gitar, seruling, dan ukulele. Dari alat tersebut mereka memperkenalkan sistem solmisasi dalam berbagai karya lagu. Jenis musik yang dibawa masuk dan berkembang di Indonesia adalah keroncong. Musik keroncong berasal dari Portugis pada abad ke-16 disebut fado (pernah populer di lingkungan perkotaan Portugis).

3. Bidang Pendidikan

Tujuan pembentukan sistem pendidikan Belanda bagi orang Indonesia sebelum politik etis adalah sekedar untuk menyediakan tenaga ahli yang murah untuk mengerjakan administrasi kolonial. Kebutuhan tenaga terdidik dimaksudkan untuk mengantisipasi meluasnya wilayah kekuasaan Belanda. Setelah diberlakukan politik etis, perhatikan pada pendidikan semakin tegas.

Adanya politik etis memberikan pengaruh positif bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Belanda mendirikan sekolah-sekolah bagi orang Belanda dan pribumi di berbagai daerah. Penerapan politik etis menyebabkan munculnya kaum intelektual di Indonesia.

Adanya politik etis 9irigasi, edukasi, dan transmigrasi) membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era ini muncul simbol baru yaitu ''kemajuan''.

Berbagai kehidupan mulai mengalami perubahan. Mulai diperhatikan pembangunan infrastruktur yaitu dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura. Dalam bidang pertanian, pemerintah kolonial memberikan perhatian pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi.

Untuk mendukung simbul kemajuan, maka dalam era politik etis dikembangkan program pendidikan. Pendidikan tersebut tidak hanya untuk orang Belanda, tetapi juga untuk kaum pribumi dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Dalam bidang pendidikan meskipun dampaknya sangat kecil kepada kaum pribumi, tetapi membawa dampak pada tumbuhnya sekolah-sekolah.

Pada tahun 1900 di seluruh Hindia Belanda tercatat sebanyak 169 Eurepese Lagree School (ELS). Dari ELS dapat melanjutkan ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) ke Batavia atau Hoogeree Burgelijk School (HBS).

Keberadaan sekolah guru sangat diperlukan untuk memperluas program pendidikan. Sekolah guru atau Kweekkschool sudah dibuka di Solo pada tahun 1852. Khusus untuk kaum pribumi disediakan Sekolah Kelas Satu yang muridnya berasal dari anak-anak golongan atas yang nanti akan menjadi pegawai.

Adapun untuk rakyat pada umumnya disediakan Sekolah Kelas Dua 9Sekolah Ongko Loro). Bagi para pemuda aktivitas banyak yang sekolah di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang berpusat di Batavia. STOVIA sering disebut dengan sekolah Dokter Jawa. Dari STOVIA lahir beberapa tokoh pergerakan kebangsaan.

Meskipun penduduk pribumi yang bersekolah sedikit, keberadaan sekolah telah menumbuhkan kesadaran di kalangan pribumi akan pentingnya pendidikan. Hal tersebut mempercepat proses modernisasi dan munculnya kaum terpelajar yang akan membawa pada kesadaran nasionalisme.

Dengan munculnya kaum terpelajar mendorong munculnya surat kabar, seperti Pewarta Priyayi yang dikelola oleh R.M. Cokrohadikusumo. Selain  Pewarta Priyayi juga ada surat kabar De Preanger Bode (1885) di Bandung, Deli Courant (1884) di Sumatra Timur, Makassarsche Counrant (1902) di Sulawesi, Bromartani (1855) di Surakarta, dan Bintang Hindia (1902) yang dikelola oleh Abdul Rivai.

Dengan adanya surat kabar tersebut membawa pencerahan di kalangan pribumi. Dari berbagai informasi yang ada di surat kabar tersebut, lambat laun kesadaran akan pentingnya persamaan, kemerdekaan terus menyebar ke kalangan terpelajar di seluruh wilayah Hindia Belanda.

Dengan adanya informasi yang terus berkembang itulah kaum terpelajar terus melakukan dialog dan berdebat mengenai masa depan tanah kelahiran sehingga kesadaran pentingnya kemerdekaan terus berkembang yang puncaknya adalah adanya kesadaran untuk menjadi satu tanah air, satu bangsa dan satu bangsa.

Baca juga selanjutnya di bawah ini :

Post a Comment for "Masa Koloniallisme Dampak pada Bidang Sosial, Budaya dan Pendidikan"