Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BAB 3 Peradaban Agama Islam Pada Masa Arab Pra-Islam

A. Silsilah Bangsa Arab Pra-Islam

Bangsa Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah. mereka termasuk ras atau rumpun bangsa Caucasoid, dalam subras Mediterranean yang anggotanya meliputi wilayah sekitar Laut Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arabia, dan Irania. 

Bangsa Arab hidup berpindah-pindah, nomad, karena tanahnya terdiri atas gurun pasir yang kering dan sangat sedikit turun hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat lain mengikuti tumbuhnya stepa atau padang rumput yang tumbuh secara sporadis di tanah Arab di sekitar oasis atau genangan air setelah turun hujan. 

BAB 3 Peradaban Agama Islam Pada Masa Arab Pra-Islam

Padang rumput diperlukan oleh bangsa Arab yang disebut juga bangsa Badawi, Badawah, Badui, untuk menggembalakan ternak, mereka berupa domba, unta, dan kuda, sebagai binatang unggulannya. 

Mereka mendiami wilayah Jazirah Arabia yang dahulu merupakan sambungan dari wilayah gurun yang membentang dari barat Sahara di Afrika hingga ke timur melintasi Asia. Iran Tengah. dan Gurun Gobi di Cina. Wilayah itu sangat kering dan panas karena uap air laut yang ada di sekitarnya (Laut Merah, Lautan Hindia, dan Laut Arab) tidak memenuhi kebutuhan untuk mendinginkan daratan luas yang berbatu. 

Penduduk Arab tinggal di kemah-kemah dan hidup berburu untuk mencan nafkah, bukan bertani dan berdagang yang tidak diyakini sebagai kehormatan bagi mereka. memang negeri itu susah ditanami dan diolah. Sekalipun demikian. wilayah ini subur dalam menghasilkan bahan perminyakan.

Dalam analisis Philip K. Hitty, Semenanjung Arab dan orang-orang Arab sudah dikenal baik oleh orang Yunani dan Romawi. Sebab, negeri tersebut berada di jalur perjalanan mereka menuju India dan Cina. Negeri ini dikenal sebagai penghasil berbagai komoditas yang sangat bernilai di pasaran barat. 

Penduduknya adalah para pedagang perantara di lautlaut selatan, seperti halnya kerabat mereka, orang-orang Phoenisia sebelumnya merupakan orang-orang Mediterania. Para penulis klasik membagi negeri itu menjadi Arab Felix, Arab Petra, dan Arab Gurun, didasarkan atas pembagian wilayah itu ke dalam tiga kekuatan politik pada abad pertama Masehi, yaitu kawasan yang bebas, kawasan yang tunduk pada penguasa Romawi, dan kawasan yang secara nominal berada dalam kendali Persia. 

Arab Gurun meliputi gurun pasir Suriah-Mesopotania (Badiyah). Wilayah Arab Petra (gunung batu) berpusat di dataran Sinai dan Kerajaan Nabasia, dengan ibukota Petra. Wilayah Arab Felix mencakup bagian lainnya di Semenanjung Arab, yang kondisinya tidak banyak diketahui. 

Pandangan yang membatasi wilayah itu hanya hingga Yaman, daerah yang paling dikenal oleh orang-orang Eropa, merupakan pandangan keliru yang muncul pada abad pertengahan. Kata Yaman sendiri, yang berarti bahagia, mungkin merupakan usaha untuk mengalihkan arti kata Yaman dalam bahasa Arab (arah kanan) menjadi yumn yang berani kebahagiaan. 

Daerah itu disebut Yaman karena berada di sebelah kanan. sebelah selatan Hijaz. berseberangan dengan Syam atau Suriah, yang berada di sebelah kiri atau utara. Marcian (sekitar 400 M.) dari Heraclea menggunakan istilah Saraceni. Sebelum Marcian, Ptolemius, yang terkenal pada paruh pertama abad kedua, juga pernah menggunakan kata Saracen. 

Ammianus Marcellinus, seorang penduduk asli Antiokia yang menulis karyanya pada paruh terakhir abad keempat Masehi, menyamakan Saracen dengan orang-orang Arab Skenit. Ungkapan orang-orang Arab pertama kali digunakan dalam literatur Yunani oleh Aeschylus (525-456 S.M.), yang merujuk pada para perwira tinggi Arab dalam barisan angkatan perang Xerxes. 

Herodotus (sekitar 484-425 S.M.) juga menggunakannya untuk merujuk pada orang-orang Arab dalam angkatan perang Xerxes, yang berasal dari Mesir Timur. Bagi para penulis klasik, mulai Eratosthenes dari Yunani (meninggal sekitar 196 S.M.) -sumber Strabohingga Pliny dari Romawi (meninggal sekitar 79 M.), Semenanjung Arab adalah sebuah negeri yang sangat makmur dan mewah. 

Arab merupakan negeri tempat tumbuhnya tanaman penghasil wewangian dan rempah-rempah lainnya; penduduknya mencintai dan menikmati kebebasan. Memang, ciri bangsa Arab yang paling memikat para penulis Barat adalah ciri yang terakhir (terutama minyak, pen). 

Watak crang-orang Arab yang independen telah menjadi bahan pujian dan kekaguman para penulis Eropa sejak masa lalu hingga masa Gibbon saat ini”. Demikian, asal-usul bangsa Arab yang memiliki ciri karakteristik yang unik dan istimewa. 

Begitu pula, dalam tulisan Ali Mufrodi bahwa dalam membicarakan wilayah geografis yang didiami bangsa Arab sebelum Islam, orang membatasi pembicaraan hanya pada Jazirah Arab, padahal bangsa Arab juga mendiami daerah-daerah di sekitar Jazirah. 

Jazirah Arab memang merupakan kediaman mayoritas bangsa Arab kala itu. Jazirah Arab terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu bagian tengah dan bagian pesisir. Di sana, tidak ada sungai yang mengalir tetap, yang ada hanya lembahlembah berair di musim hujan. 

Sebagian besar daerah Jazirah adalah padang pasir Sahara yang terletak di tengah dan memiliki keadaan dan sifat yang berbeda-beda, karena itu, ia bisa dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

  • Sahara Langit. memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke barat. disebut juga Sahara Nufud. Oase dan mata air sangat jarang, tiupa angin seringkali menimbulkan kabut debu yang mengakibatkan daerah ini sukar ditempuh. 
  • Sahara Selatan, yang membentang menyambung Sahara Langit ke arah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran keras, tandus, dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan Ar-Rub ' Al-Khali (bagian yang sepi). 
  • Sahara Harrat, suatu daerah yang terdiri atas tanah Hat yang berbatu hitam bagaikan terbakar. Gugusan batu-batu hitam itu menyebar di keluasan Sahara ini, seluruhnya mencapai 29 buah. 

Penduduk Sahara minoritas terdiri atas suku-suku Badui yang mempunyai gaya hidup pedesaan dan nomadik, berpindah dari satu daerah ke daerah lain guna mencari air dan padang rumput untuk binatang gembalaan mereka, yaitu kambing dan unta. Adapun daerah pesisir, bila dibandingkan dengan Sahara sangat kecil, bagaikan selembar pita yang mengelilingi Jazirah. 

Penduduk sudah hidup menetap dengan mata pencaharian bertani dan berniaga. Oleh karena itu, mereka sempat membina berbagai macam budaya, bahkan kerajaan. Bila dilihat dari asal-usul keturunan, penduduk Jazirah Arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu Qahthaniyun (keturunan Qahthan) dan 'Adnaniyun (keturunan Ismail ibn lbrahim). 

Pada mulanya, wilayah utara diduduki golongan 'Adnaniyun dan wilayah selatan didiami golongan Qahthanr'yun. Akan tetapi, lama kelamaan kedua golongan itu membaur karena perpindahan-perpindahan dari utara ke selatan atau sebaliknya. 

Lebih lanjut. Ahmad Hashari” menjelaskan bahwa penduduk Arab Kuno adalah penduduk fakir miskin yang hidup di pinggiran desa terpencil; mereka senang berperang, membunuh, dan kehidupannya bergantung pada bercocok tanam dan turunnya hujan, mereka berpegang pada aturan qabilah atau suku dalam kehidupan sosial. 

Sementara penduduk Arab Kota (madani) adalah orang-orang yang melakukan perdagangan dan sibuk dengan bepergian, dan mereka juga berpegang teguh pada aturan qabilah atau suku. Masyarakat, baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui. 

Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (clan). Beberapa kelompok kabilah membentuk suku (trite) dan dipimpin oleh seorang syekh. 

Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan, sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Mereka suka berperang. Oleh karena itu, peperangan antarsuku sering terjadi. Sikap ini tampaknya telah menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri orang Arab. 

Dalam masyarakat yang suka berperang tersebut, nilai wanita menjadi sangat rendah. Situasi seperti ini terus berlangsung sampai datangnya agama lslam. Dunia Arab ketika itu merupakan kancah peperangan terus-menerus. 

Pada sisi yang lain, meskipun masyarakat Badui mempunyai pemimpin, mereka hanya tunduk kepada syekh atau amir (ketua kabilah) itu dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta rampasan, dan pertempuran tertentu. Di luar itu, syekh atau amir tidak kuasa mengatur anggota kabilahnya.

Akibat peperangan yang terus-menerus, kebudayaan mereka tidak berkembang. Oleh karena itu, bahan-bahan sejarah Arab pra Islam sangat langka didapatkan di dunia Arab dan dalam bahasa Arab. Ahmad Syalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya dapat diketahui dari masa kira kira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam. 

Pengetahuan itu diperoleh melalui syair-syair yang beredar di kalangan para perawi syair. Dengan begitulah, sejarah dan sifat masyarakat Badui Arab dapat diketahui, antara lain bersemangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar menghadapi kekerasan alam, dan juga dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan. 

Dengan kondisi alami yang seperti tidak pernah berubah itu. masyarakat Badui pada dasarnya tetap berada dalam fitrahnya. Kemurniannya terjaga, jauh lebih murni daripada bangsa-bangsa lain. Dasar-dasar kehidupan mereka mungkin dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa yang masih berada dalam taraf permulaan perkembangan budaya. 

Bedanya dengan bangsa lain, hampir seluruh penduduk Badui adalah penyair”. Lain halnya dengan penduduk negeri yang telah berbudaya dan mendiami pesisir Jazirah Arab, sejarah mereka dapat diketahui lebih jelas. Mereka selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang mengitarinya. 

Mereka mampu membuat alat-alat dari besi, bahkan mendirikan kerajaan-kerajaan. Sampai kehadiran Nabi Muhammad SAW., kota-kota mereka masih merupakan kota-kota perniagaan dan memang Jazirah Arab ketika itu merupakan daerah yang terletak pada jalur perdagangan yang menghubungkan antara Syam dan Samudra India. 

Sebagaimana masyarakat Badui, penduduk negeri ini juga mahir menggubah syair. Biasanya, syair-syair itu dibacakan di pasar-pasar, mungkin semacam pergelaran pembacaan syair, seperti di pasar 'ukaz'. Bahasa mereka kaya dengan ungkapan, tata bahasa. dan kiasan. 

Melihat bahasa dan hubungan dagang bangsa Arab; Labour; berkesimpulan, tidak mungkin bangsa Arab tidak pernah memiliki peradaban yang tinggi, apalagi hubungan dagang itu berlangsung selama 2000 tahun. ia yakin, bangsa Arab ikut memberi saham dalam peradaban dunia, sebelum mereka bangkit kenibah' pada masa Islam. 

Golongan Qahthaniyin, misainya pemda niendirikan Kerajaan Saba' dan Kerajaan Himyar di Yaman, bagian selatan Jazirah Arab. Kerajaan Saba' inilah yang membangun bendungan Ma'arib, sebuah bendungan raksasa yang menjadi sumber air untuk seluruh wilayah kerajaan. 

Pada masa kejayaannya, kemajuan Kerajaan Saba' di bidang kebudayaan dan peradaban, dapat dibandingkan dengan kota-kota dunia lain saat itu. Bekas-bekas kerajaan ini sekarang masih terbenam dalam timbunan tanah. Pada masa pemerintahan Saba', bangsa Arab menjadi penghubung perdagangan antara Eropa dan dunia Timur Jauh. 

Setelah kerajaan mengalami kemunduran, muncul Kerajaan Himyar menggantikannya. Kerajaan baru ini terkenal dengan kekuatan armada niaga yang menjelajah mengarungi India, Cina, Somalia, dan Sumaterake pelabuhan-pelabuhan Yaman. Perniagaan ketika itu dapat dikatakan dimonopoli Himyar. 

Setelah bendungan Ma’arib runtuh, masa gemilang Kerajaan Himyar sedikit demi sedikit memudar. Banyak bangunan roboh dibawa air dan sebagian besar penduduk mengungsi ke bagian utara Jazirah. Meskipun demikian, karena daerahnya berada pada jalur perdagangan yang strategis dan tanahnya subur, daerah ini tetap menjadi incaran kerajaan besar Romawi dan Persia yang selalu bersaing untuk menguasainya. 

Di sebelah utara Jazirah juga pernah berdiri kerajaan-kerajaan, tetapi kerajaan-kerajaan tersebut lebih merupakan kerajaan protektorat. Ini terjadi karena khafilah-khatilah Romawi dan Persia selalu mendapat gangguan dari suku-suku Arab yang memeras dan merampoknya. 

Untuk melindungi khafilah-khafilah itu, atas inisiatif kerajaan besar tersebut, didirikanlah Kerajaan Hirah di bawah perlindungan Persia dan Kerajaan Ghassan di bawah perlindungan Romawi. Kedua kerajaan ini berkemng dalam waktu yang hampir bersamaan, yaitu kira-kira abad ketiga sampai abad kedatangan Islam. 

Raja-raja yang berkuasa umumnya berasal dari keturunan Arab Yaman. Bagian lain dari daerah Arab yang sama sekali tidak pernah dijajah oleh bangsa lain, baik karena sulit dijangkau, tandus, dan miskin adalah Hijaz. Kota terpenting di daerah ini adalah Mekah, kota suci tempat Kabah berdiri. Kabah pada masa itu bukan saja disucikan dan dikunjungi oleh penganut-penganut agama asli Mekah, tetapi juga oleh orang-Orang Yahudi yang bermukim di sekitarnya.

Untuk mengamankan para peziarah yang datang ke kota itu, didirikanlah suatu pemerintahan yang pada mulanya berada di tangan dua suku yang berkuasa, yaitu Jurhum sebagai pemegang kekuasaan politik dan Ismail (keturunan Nabi Ibrahim), sebagai pemegang kekuasaan atas Kabah. 

Kekuasaan politik kemudian berpindah ke suku Khuza'ah dan akhirnya ke suku Quraisy di bawah pimpinan Qushai. Suku terakhir inilah yang kemudian mengatur urusan-urusan politik dan urusan-urusan yang berhubungan dengan Kabah. Semenjak itu, suku Quraisy menjadi suku yang mendominasi masyarakat Arab. 

Ada sepuluh jabatan tinggi yang dibagi-bagikan kepada kabilah-kabilah asal suku Quraisy, yaitu :

1. Hijabah (penjaga kunci-kunci Kabah); 

2. Siqayah (pengawas mata air zam-zam untuk dipergunakan oleh para peziarah); 

3. Diyat (kekuasaan hakim sipil dan kriminal); 

4. Sifarah (kuasa usaha negara atau duta); 

5. Liwa' (jabatan ketentaraan); 

6. Rifadah (pengurus pajak untuk orang miskin); 

7. Nadwah (jabatan ketua dewan); 

8. Khaimmah (pengurus balai musyawarah); 

9. Khazinah (jabatan administrasi keuangan); dan 

10. Azlam (penjaga panah peramal untuk mengetahui pendapat dewa-dewa). 

Pada saat itu, sudah menjadi kebiasaan bahwa anggota yang tertua mempunyai pengaruh paling besar dan memakai gelar rais. Setelah Kerajaan Himyar jatuh, jalur-jalur perdagangan didominasi oleh Kerajaan Romawi dan Persia. Pusat perdagangan bangsa Arab serentak kemudian beralih ke daerah Hijaz. Mekah pun menjadi masyhur dan disegani. 

Begitu pula, suku Quraisy. Kondisi ini membawa dampak positif bagi mereka, yaitu perdagangan menjadi semakin maju. Akan tetapi, kemajuan Mekah tidaklah sebanding dengan kemajuan yang pernah dicapai kerajaan-kerajaan Arab sebelumnya. Meskipun demikian, dengan Mekah menjadi pusat peradaban, bangsa Arab bagaikan memulai babak baru dalam hal kebudayaan dan peradaban.

B. Peradaban Arab Pra-Islam

Peradaban Arab adalah akibat pengaruh dari budaya bangsa-bangsa di sekitarnya yang lebih dahulu maju daripada kebudayaan dan peradaban Arab. 

Pengaruh tersebut masuk ke Jazirah Arab melalui beberapa jalur; yang terpenting di antaranya adalah: 

1) melalui hubungan dagang dengan bangsa lain; 

2) melalui kerajaan-kerajaan protektorat, Hirah. dan Guzman, dan 

3) masuknya misi Yahudi dan Kristen. 

Melalui jalur perdagangan, bangsa Arab berhubungan dengan bangsabangsa Siria, Persia, Habsyi, Mesir (Qibthi), dan Romawi yang semuanya telah mendapat pengaruh dari kebudayaan Hellenisme. Melalui kerajaankerajaan protektorat, banyak berdiri koloni-koloni tawanan perang Romawi dan Persia di Ghassan dan Hirah. 

Penganut agama Yahudi juga banyak mendirikan koloni di Jazirah Arab, yang terpenting di antaranya adalah Yatsrib. Penduduk koloni ini terdiri atas orang-orang Yahudi dan orangorang Arab yang menganut agama Yahudi. 

Mayoritas penganut agama Yahudi tersebut pandai bercocok tanam dan membuat alat-alat dari besi, seperti perhiasan dan persenjataan. Sama dengan penganut agama Yahudi, orang-orang Kristen juga mendapat pengaruh dari kebudayaan Hellenisme dan pemikiran Yunani. 

Aliran Kristen yang masuk ke Jazirah Arab ialah aliran Nestorian di Hirah dan aliran Jacob-Barady di Ghassan. Daerah Kristen yang terpenting adalah Najran, sebuah daerah yang subur. Penganut agama Kristen tersebut berhubungan dengan Habasyah (Etiopia), negara yang melindungi agama ini. 

Penganut aliran Nestorianlah yang bertindak sebagai penghubung antara kebudayaan Yunani dan kebudayaan Arab pada masa awal kebangkitan Islam. Walaupun agama Yahudi dan Kristen sudah masuk ke Jazirah Arab, bangsa Arab kebanyakan masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya pada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. 

Setiap kabilah mempunyai berhala sendiri. Berhala-berhala tersebut dipusatkan di Kabah, tetapi di tempat-tempat lain juga banyak terdapat berhala. Berhala-berhala yang terpenting adalah Hubal, yang dianggap sebagai dewa terbesar, terletak di Kabah; Lana, dewa tertua terletak di Thaif; Uzza, bertempat di Hijaz, kedudukannya berada di bawah Hubal dan Manat yang bertempat di Yatsrib. 

Berhala-berhala itu mereka jadikan tempat menanyakan dan mengetahui nasib baik dan buruk. Demikianlah, keadaan bangsa dan Jazirah Arab menjeiwg kebangkitan Islam. Orang-orang Arab adalah orang yang bangga, tetapi sensitif. Kebanggaan itu disebabkan bahwa bangsa Arab memiliki sastra yang terkenal; kejayaan sejarah Arab, dan mahkota bumi pada masa klasik dan bahasa Arab sebagai bahasa ibu terbaik di antara bahasa-bahasa lain di dunia.

Beberapa sifat lain bangsa Arab pra-Islam adalah sebagai berikut :

1, secara fisik, mereka lebih sempurna dibanding orang-orang Eropa dalam berbagai organ tubuh; 

2. kurang bagus dalam pengorganisasian kekuatan dan lemah dalam penyatuan aksi; 

3. faktor keturunan, kearifan, dan keberanian lebih kuat dan berpengaruh; 

4. mempunyai struktur kesukuan yang diatur oleh kepala suku atau clan; 

5. tidak memiliki hukum yang reguler, kekuatan pribadi, dan pendapat suku lebih kuat dan diperhatikan; 

6. posisi wanita tidak lebih baik dari binatang, wanita dianggap barang barang dan hewan ternak yang tidak mempunyai hak. Setelah menikah, suami sebagai raja dan penguasa. 

Dalam bidang hukum, Mushthafa Sa'id Al-Khinn sebagaimana dikutip oleh Jaih Mubarok menyebutkan bahwa bangsa Arab pra-Islam menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai bentuknya. 

Dalam perkawinan, mereka mengenal beberapa macam perkawinan, di antaranya: 

1. Istibdha, yaitu seorang suami meminta kepada istrinya untuk berjimak dengan laki-laki yang dipandang mulia atau memiliki kelebihan tertentu, seperti keberanian dan kecerdasan. Selama istri bergaul dengan lakilaki tersebut, suami menahan diri dengan tidak berjimak dengan istrinya sebelum terbukti bahwa istrinya hamil. Tujuan perkawinan semacam ini adalah agar istri melahirkan anak yang memiliki sifat yang dimiliki oleh laki-laki yang menyetubuhinya yang tidak dimiliki oleh suaminya. Salah satu contohnya adalah seorang suami merelakan istrinya berjimak dengan raja sampai terbukti hamil agar memperoleh anak yang berasal dari bangsawan.


2. Poliandri, yaitu beberapa laki-laki berjimak dengan seorang perempuan. Setelah perempuan itu hamil dan melahirkan anak, perempuan tersebut memanggil semua laki-laki yang pernah ntcnyetubuhinya untuk berkumpul di rumahnya, Setelah semuanya hadir, perempuan tersebut memberitahukan bahwa ia telah dikarunia anak hasil hubungan dengan mereka; kemudian perempuan tersebut menunjuk salah seorang dari semua laki-laki yang pernah menyetubuhinya untuk menjadi bapak dari anak yang dilahirkannya; laki-laki yang ditunjuk tidak boleh menolak.

3. Maqthu', yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapaknya meninggal dunia. Jika seorang anak ingin mengawini ibu tirinya, dia melemparkan kain kepada ibu tirinya sebagai tanda bahwa ia menginginkannya; sementara ibu tirinya tidak mempunyai kewenangan untuk menolak. Jika anak laki-laki tersebut masih kecil, ibu tiri diharuskan menunggu sampai anak itu dewasa. Setelah dewasa, anak tersebut berhak memilih untuk menjadikannya sebagai istri atau melepaskannya; 

4. Badal, yaitu tukar-menukar istri tanpa bercerai terlebih dahulu dengan tujuan untuk memuaskan hubungan seks dan terhindar dari bosan; 

5. Shighar, yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara perempuannya kepada seorang laki-laki tanpa mahar (Mushthafa Sa'id AlKhinn, 1984: 18-9).

Selain beberapa tipe perkawinan di atas, Fyzee yang mengutip pendapat Abdur Rahim dalam buku Kasf Al-Ghumma, menjelaskan beberapa perkawinan lain yang terjadi pada bangsa Arab sebelum datangnya Islam, sebagai berikut : 

1. Bentuk perkawinan yang diberi sanksi oleh Islam, yakni seseorang meminta kepada orang lain untuk menikahi saudara perempitan atau budak dengan bayaran tertentu (mirip kawin kontrak); 

2. Prostitusi, biasanya dilakukan kepada para pendatang atau tamu di tenda-tenda dengan cara mengibarkan bendera sebagai tanda memanggil. Jika wanitanya hamil, ia akan memilih antara laki-laki yang mengencaninya sebagai bapak dari anaknya yang dikandung. 

3. Mut'ah adalah praktik yang umum dilakukan oleh bangsa Arab sebelum Islam meskipun pada awalnya, Nabi Muhammad SAW. membiarkannya, tetapi Selanjutnya melarangnya. Hanya kelompok syiah itsna 'ashari' yang mengizinkan perkawinan tersebut. 

Baca juga di bawah ini

Anderson menambahkan pula bahwa di Arab pada zaman pra-Islam. tampaknya telah ada berbagai macam corak perkawinan, boleh jadi mulai dari perkawinan patrilineal dan patrilokal sampai pada perkawinan matrilineal dan matrilokal, termasuk juga apa yang dikenal sebagai perkawinan sementara waktu untuk bersenang-senang (mut'ah).

Dalam kasus yang lain, Anderson menguraikan bahwa bangsa Arab sebelum Islam, sebagaimana orang Badui di Arab sekarang, terorganisasikan berdasarkan kesukuan dan bersifat patriakhal. Di luar suku, tidak ada jaminan keamanan, selain hukum pertumpahan darah yang tidak tertulis. 

Berdasarkan hukum ini, seseorang harus dibela oleh sanak keluarganya dari pihak laki-laki, bila dia dibunuh oleh salah seorang anggota suku lain; sedangkan sanak keluarga dari pihak laki-laki si pembunuh, jika mereka tidak menghendaki pertumpahan darah lebih lanjut, harus menyediakan tebusan darah berupa sejumlah uang imbalan untuk diberikan kepada “ahli waris si korban. 

Oleh karena itu, wajarlah bila keturunan terdekat dari pihak laki-laki secara hukum berhak mewarisi harta milik seseorang pada saat dia meninggal; sedangkan para wanita, sanak keluarga jauh dan anak-anak yang belum dewasa tidak memiliki hak seperti itu. Namun demikian, tampaknya pembuatan perjanjian wasiat pun biasa dilakukan, setidak-tidaknya di Mekah. 

Uraian singkat di atas menunjukkan bahwa kondisi sosial Arab meskipun cenderung primitif, memiliki nilai peradaban yang tinggi. Bahkan, meminjam istilah Goldziher, meskipun bangsa Arab cenderung barbarisme, bukan jahiliyah (bodoh, dungu, dan awam).