Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BAB 13 Islam di Asia Tenggara 692 (1292 M)

A. Islam Di Indonesia Sebelum Kemerdekan

1. Teori Kedatangan Islam di Indonesia


Kennet W. Morgan menerangkan bahwa berita yang telah di dapat dipercaya tentang agama Islam di Indonesia yang mula-mula sekali terdapat dalam berita Marcopolo. Dalam perjalanannya kembali ke Venezia pada tahun 692 (1292 M)., Marcopolo, setelah bekerja pada Kubilai Khan di Tiongkok, singgah di Perlak, sebuah kota di pantai utara Sumatra. Menurut Marcopolo, penduduk Perlak ketika itu diislamkan oleh pedagang yang dia sebut kaum Saracen.

Wilayah-wilayah pangeran di sekitar Perlak didiami oleh penyembah berhala yang belum beradab. Di Samara, Marcopolo menanti angin yang baik selama lima bulan. Di situ, ia dan anggota rombongannya harus menyelamatkan diri dari serangan orang-orang biadab di daerah itu dengan mendirikan benteng yang dibuatnya dari pancang-pancang.

Kota Samara menurut pemberian Marcopolo dan tempat yang tak jauh dari situ, yang dia sebut Basma, kemudian dikenal dengan nama Samudera dan Pasai, dua buah kota yang dipisahkan oleh sungai Pasai, yang tidak jauh letaknya di sebelah utara Perlak (F.A. Hoesein Djajadiningrat, dkk., 1963: 119).

BAB 13 Islam di Asia Tenggara 692 (1292 M)
Islam di Asia Tenggara

Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia mulai abad ke-7 dan telah dianut sebagian besar orang Indonesia, baik sebagai agama maupun sebagai hukum. Hal ini terjadi semenjak dahulu.

Setelah masuknya agama Islam, selalu ada pegawai khusus yang mempunyai keahlian dalam hukum Islam, yang kadang-kadang menangani juga umsan mu’malah, iddah, hadhanah, waris, dari lainnnya, oleh pegawai yang berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia. Secara ideologis dan politis, hukum Islam sudah ada di Indonesia sejak abad ke-8 Masehi.

Dalam kesimpulan Andi Faisal Bakti, Islamisasi di Indonesia telah ada semenjak abad ke-13, 16, dan 17.

Berikut ini kutipannya (terjemah bebas) : 

“… Pasai, negara Islam telah berdiri pada abad Ice-13. Perkembangan yang signifikan terjadi pada akhir abad Ice-16 atau awal abad ke-l7, dengan berdirinya beberapa negara Islam, seperti Aceh, Banten, Mataram, Gowa-Tallo, Ternate, dan Tidore. Penggunaan “sultan" (sultan Arab) adalah simbol nyata Islam yang dipakai oleh beberapa raja, seperti Sultan Iskandar Muda; Sultan Iskandar Thani Aceh; Sultan Ageng Tirtayasa Banten; Sultan Hasanuddin Gowa-Tallo; Sultan Agung Mataram; dan Sultan Baabullah-Ternate. Pada periode ini juga muncul beberapa ulama Islam, seperti Hamzah Fansuri, Syams Ad-Din As-Sumatrani, Abd Ar-Rauf As-Sinkili yang menyebarkan Islam dari Aceh, Syekh Abu Yusuf dari Makasar ke Banten, dan Wali Songo di Jawa. Dari mereka inilah, Islam lokal dibuka ...”.

Mengenai kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan perdebatan yang panjang di antara ahli sejarah, mengenai tiga masalah pokok, yakni tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.

Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab tiga masalah pokok ini belum tuntas. Tidak hanya kurangnya data yang dapat mendukung teori tertentu, tetapi juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada.

Terdapat kecenderungan kuat adanya suatu teori yang hanya menekankan aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok, tetapi mengabaikan aspek-aspek lainnya. Oleh karena itu, kebanyakan teori yang ada dalam segi-segi tertentu gagal menjelaskan kedatangan Islam, konversi agama yang terjadi, dan proses Islamisasi yang terlibat di dalamnya.

Kedatangan Islam di wilayah Nusantara tidaklah bersamaan. Demikian pula, kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang didatangi mempunyai situasi politik dan sosial budaya yang berlainan. Pada masa kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya sekitar abad ke-7 M. dan ke-8 M., selat Malaka mulai dilalui pedagang-pedagang muslim dalam pelayarannya ke negeri-negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur.

Berdasarkan berita Cina pada masa penguasa T'ang, pada masa itu diduga keras masyarakat muslim telah ada, baik di Kanfu (Kanton) maupun di daerah Sumatra sendiri. Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara negara-negara di Asia bagian barat dan timur mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Bani Umayah di bagian barat maupun kerajaan Cina pada masa Tang di Asia Timur serta kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara.

Kepulauan Nusantara juga telah dianggap penting bagi perdagangan antarbangsa sejak zaman purba, karena pulau-pulaunya terletak di sepanjang laut (pantai) yang menghubungkan Cina dan kekuasaan kekaisaran Romawi.

Kapal-kapal dari berbagai negeri singgah di wilayah Nusantara untuk memuat barang-barang dagangan, seperti rempahrempah, damar, dan. kayu berharga. Dalam hal ini pula, Taufik Abdullah menjelaskan bahwa wilayah barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual di sana menarik perhatian para pedagang dan menjadi lintasan penting antara Cina dan India.

Oleh karena itu, pedagangpedagang muslim asal Arab telah sampai di kepulauan Nusantara pada abad ke-2 S.M. Hanya mereka menyebutnya sebagai pulau-pulau Cina atau Al-Hind, sehingga tidak mengherankan bila pada tahun 675 M. telah terdapat perkampungan Arab Islam di pantai barat Sumatra.

Dengan ini pula, para pedagang muslim dari Persia dan India sampai di kepulauan Indonesia sejak abad ke-7 M. (l H.). Islam telah menyebar dari Timur Tengah menuju Asia Tengah dan dari Afganistan menuju India maka Islam menyebar dari berbagai wilayah India dan Arabia ke Semenanjung dan kepulauan Indonesia pada akhir abad ketiga belas, empat belas, dan lima belas.

Para pedagang asing yang berkunjung ke kepulauan Indonesia membawa gagasan atau adat-istiadatnya kepada bangsa Indonesia. Kebudayaan India termasuk kepercayaan pada kesaktian raja-raja berpengaruh kual dan menjadi kepercayaan paling penting sebelum awal Masehi.

Falsafah India Klasik tentang Raja Adikuasa memberi inspirasi kepada penguasa Indonesia yang berambisi, yang pada saat itu sebenarnya setingkat kepala suku agama Hindu dan Budha yang datang daii India diyakini oleh para penguasa Indonesia hingga rakyatnya.

Hinduisme ini kadang-kadang dapat menggantikan atau bercampur dengan kepercayaan animisme yang semula dianut oleh para nenek moyang bangsa Indonesia. Demikian juga, para mubaligh dan pedagang muslim dari Arab yang datang ke wilayah Nusantara memperkenalkan Islam secara damai.

2. Sejarah Awal Masuknya Islam ke Indonesia

Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara negara-negara di Asia bagian barat dan timur mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Bani Umayah di bagian barat maupun kerajaan Cina zaman Dinasti T'ang di Asia Timur serta kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara.

Upaya kerajaan Sriwijaya dalam memperluas kekuasaannya ke Semenanjung Malaka sampai Kedah dapat dihubungkan dengan bukti-bukti prasasti 775, berita-berita Cina dan Arab abad ke-8 sampai ke-10 M. Hal ini erat hubungannya dengan usaha penguasaan Selat Malaka yang merupakan kunci bagi pelayaran dan perdagangan internasional.

Pada tahun 173 H., sebuah kapal layar dengan pimpinan “Makhada Khalifah” dari Teluk Kambay Gujarat berlabuh di Bandar Perlak dengan membawa kira-kira 100 orang anggota dakwah yang terdiri atas orangorang Arab, Persia, dan Hindia.

Mereka menyamar sebagai awak kapal dagang dan khalifah menyamar sebagai kaptennya, Makhada Khalifah adalah seorang yang bijak dalam dakwahnya sehingga dalam waktu kurang dari setengah abad, Meurah (raja) dan seluruh rakyat Kemeurahan Perlak yang beragama Hindu-Budha dengan sukarela masuk agama Islam.

Selama proses pengislaman yang relatif singkat, para anggota dakwah telah banyak yang menikah dengan wanita Perlak. Di antaranya adalah seorang anggota dari Arab suku Quraisy menikah dengan putri Istana Kemeurahan Perlak yang melahirkan putra Indo-Arab pertama dengan nama Sayid Abdul Aziz.

Pada tanggal 1 Muharram 225 H./840 M.. kerajaan Islam Periuk diproklamasikan dengan raja pertamanya adalah putra indo-Arab tersebut dengan gelar Sultan Alaiddin Maulana Aziz Syah. Pada waktu yang sama, nama ibukota kerajaan diubah dari Tiandor Perlak menjadi Bandar Khalifah, sebagai kenangan indah kepada khalifah yang sangat berjasa dalam membudayakan Islam kepada bangsa-bangsa Asia Tenggara yang dimulainya dari Perlak. Dengan demikian, kerajaan Islam yang pertama berdiri pada awal abad ke-3 H./9 M., berlokasi di Perlak.

Selanjutnya, Islam masuk ke pulau Jawa diperkirakan pada abad ke-11 M., dengan dikirimkannya makam Fatimah binti Maemun di lereng Gresik yang berangkat pada tahun 475 H./1032 M. Data sejarah lainnya menyebutkan bahwa Islam masuk ke pulau Jawa pada abad ke-12/13 M., ke Maluku sekitar abad ke-14 M., ke Kalimantan awal abad ke-l5 M., ke Sulawesi abad ke-16 M.

Penduduk atau penguasa kepulauan tersebut sudah masuk Islam sebelum kolonial Belanda menguasai Indonesia. Wan Husein Azmi mengemukakan dalam makalahnya.

Ada tiga teori tentang kedatangan Islam ke wilayah Melayu, yaitu:

  • Teori Arab, yaitu datangnya Islam ke Melayu secara langsung dari Arab, karena muslim wilayah Melayu berpegang pada madzhab Syafi 1 yang lahir di Semenanjung tanah Arab. Teori ini disokong oleh Sir John Crawford. 
  • Teori India, yakni bahwa Islam datang dari India. Teori ini lahir selepas tahun 1883 M., dibawa oleh C. Snouch Hurgronye. Pendukung teori ini, di antaranya adalah Dr. Gonda, Van Ronkel, Marrison. R.A. Kern, dan C.A.O. Van Nieuwinhuize. 
  • Teori Cina, yakni bahwa Islam datang ke wilayah Nusantara dari Cina. Teori ini dikemukakan oleh Emanuel Godinho de Eradie, seorang scientist Spanyol. 

Meskipun demikian, dapat kita akui bahwa jalan yang dibawa para saudagar Arab, masuk ke wilayah Nusantara ini adalah sama. Ada yang melalui jalan laut dari Aden menelusuri pantai India Barat dan Selatan, atau jalan darat dari Khurasan kemudian melalui hutan menyeberangi laut Cina Selatan masuk' ke wilayah Nusantara melalui pesisir pantai timur semenanjung tanah Melayu.

Oleh sebab itu, dapatlah kita berpendapat bahwa dakwah Islamiyah datang ke wilayah Nusantara melalui lautan India dan juga laut Cina Selatan secara langsung dari negeri Arab dan oleh orang-orang Arab.

Dalam kesimpulan akhir seminar di Aceh yang disusun oleh Prof. A. Hasymi, disebutkan, :

l. Seminar menegaskan kembali kesimpulan seminar sejarah Islam yang berlangsung di Medan pada tahun 1963 yang dikukuhkan lagi dalam seminar sejarah Islam di Banda Aceh tahun 1978, yaitu bahwa agama Islam telah masuk ke Nusantara pada abad ke-1 H., langsung dari tanah Arab. Selanjutnya, seminar berpendapat bahwa daerah yang mula-mula masuk dan menerima Islam di Nusantara adalah Aceh.

2. Masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara merupakan proses yang memakan waktu panjang, sehingga antara masuknya Islam dan tumbuhnya kerajaan Islam merupakan dua hal yang perlu dibedakm Berdasarkan dokumen “lzdharvl Haqq” dan “Lazkirat Thabakai Jam'u Salatin”, kerajaan Islam Perlak didirikan pada tahun 225 H, (abad ke-9 M.). Tentang kerajaan Islam Perlak tersebut terdapat juga dalam catatan-catatan Marcopolo. Terhadap sumber-sumber tersebm dipandang perlu untuk diperkuat dengan penelitian-penelitian arkeologi.

Periodesasi masuknya pendakwah Islam ke Indonesia, menurut Muhammad Samsu, dapat dibagi ke dalam tiga gelombang, yaitu: 

1. Gelombang pertama, yaitu diperkirakan pada akhir abad ke-1 H./7 M. Rombongan ini berasal dari Bashrah, kota pelabuhan di Irak: yaitu ketika kaum Syi'ah dikejar-kejar oleh Bani Umayah yang berkuasa saat itu. Mereka adalah kelompok yang dipimpin Makhada Khalifah.

2. Gelombang kedua, yaitu diperkirakan pada abad ke-6 H./ 13 M., di bawah Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini yang anak-cucunya, lebih dari 17 orang tiba di Gresik, Pulau Jawa. Pendakwah lainnya, seperti Maulana Malik Ibrahim, Maulana Malik Ishak, Raden Rahmat atau Sunan Ampel, dan sebagainya.

3. Gelombang ketiga, yaitu diperkirakan pada abad ke'-9 H./16 M., yang dipimpin ulama Arab dan Tarim, Hadramaut. Mereka berjumlah lebih dari 45 orang dan datang berkelompok berkisar 2, 3, atau 5 orang. Mereka mengajar dan menetap di Aceh, Riau, Sadang, Kalimantan Barat dan Selatan, Sulawesi Tengah dan Utara, Ternate, Bali, Sumba. Timor, dan lain-lain.

Kedatangan Islam dan penyebarannya di kepulauan Indonesia adalah dengan cara damai melalui beberapa cara. Menurut Uka Tjandrasasmita ada enam cara, yaitu saluran dagang, perkawinan, ajaran tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.

3. Agama dan Kekuatan Politik pada Masa Pra-Sejarah

Sebelum Islam datang, di Indonesia telah berkuasa kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha. Di antaranya, ada kerajaan Bahari terbesar yang menguasai dan mengendalikan pulau-pulau di Nusantara, yaitu kerajaan Sriwijaya di sekitar Palembang, Sumatra Selatan, dan Singasari, selanjutnya yaitu Majapahit.

Pada abad ke-7. Islam belum menyebar luas secara merata ke seluruh penjuru Nusantara, karena pengaruh agama Budha masih memegang peranan di Kerajaan Sriwijaya, terutama dalam kehidupan sosial, politik. perekonomian, dan kebudayaan.

Pada awal abad ke-13 M., kerajaan ini memasuki masa kemunduran. Dalam kondisi seperti ini, pedagang-pedagang muslim memanfaatkan poliliknya dengan mendukung daerah daerah yang muncul dan menyatakan diri sebagai kerajaan yang bercorak Islam.

Mereka tidak hanya membangun perkampungan pedagang yang bersifat ekonomis, tetapi juga membentuk struktur pemerintahan yang dikehendaki. Misalnya kerajaan Samudera Pasai abad. ke-l3 muncul karena dukungan komunitas muslim, juga tidak terlepas dari melemahnya kondisi politik kerajaan Sriwijaya yang kurang mampu mengendalikan dan menguasai daerahnya.

Sementara itu, di kerajaan Majapahit setelah Patih Gajah Mada meninggal dunia (1364 M.) dan Hayam Wuruk (1389 M. ). situasi politik Majapahit goncang dan terjadi perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana.

Bersamaan dengan melemahnya Majapahit, Islam di Jawa mendapatkan posisi yang menguntungkan sehingga di bawah bimbingan spiritual Sunan Kudus, Demak akhirnya berhasil menggantikan Majapahit sebagai keraton pusat.

Uraian di atas menunjukkan bahwa cikal-bakal kekuasaan Islam sudah dirintis sejak abad ke-7 M., tetapi semuanya tenggelam dalam hegemoni maritim Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan kerajaan Hindu Jawa, seperti kerajaan Medang, Kediri, Singasari, dan Majapahit di Jawa Timur. Kemudian, Islam menempati struktur pemerintahan ketika komunitas muslim sudah kuat yang bersamaan dengan suramnya kondisi politik kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha.

Islam sebagai agama yang memberikan corak kultur bangsa Indonesia dan sebagai kekuatan politik yang menguasai struktur pemerintahan sebelum datangnya Belanda dapat dilihat dari munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini, antara lain di Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.

a. Islam di Sumatra 

Ada tiga kerajaan Islam terkenal di Sumatra yang telah memosisikan Islam sebagai agama dan sebagai kekuatan politik yang mewarnai corak sosial budayanya, yaitu Perlak, Pasai, dan Aceh.

Perlak merupakan kerajaan Islam pertama di Sumatra Utara yang berkuasa pada tahun 225-692 H./840-1292 M., dengan raja pertamanya Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah (225-249 H./840-864 M.). Hal ini sesuai dengan berita Marcopolo (Pengembara Itali yang tiba di Sumatra pada tahun 1292) yang menyatakan bahwa pada masa itu (abad ke-8 M.).

Sumatra terbagi dalam delapan buah kerajaan yang semuanya menyembah berhala, kecuali sebuah saja, yaitu Perlak yang berpegang pada Islam. Hal ini karena ia selalu didatangi pedagang-pedagang Saracen (muslimin) yang menjadikan penduduk bandar ini memeluk undang-undang Muhammad (undang-undang Islam).

Pada mulanya, Islam berkembang di Perlak dipengaruhi oleh aliran Syi'ah yang bertebaran dari Parsi ketika terjadi revolusi Syi'ah pada tahun 744-747 M., dengan pemimpinnya, Abdullah Ibnu Muawiyah. Kemudian, pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (285-300 H./888-913 M.) mulai masuk paham Islam Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang tidak disukai oleh syi'ah. Oleh karena itu, terjadilah konflik perang saudara antara dua golongan tersebut.

Namun, akhirnya dicapai perdamaian dan pembagian kerajaan Perlak pada dua bagian, yaitu :

1) Perlak Pesisir, bagian golongan Syi'ah dengan Sultan dari golongan mereka, yaitu Sultan Alauddin Syed Maulana Shah (365-377 H.I976-988 M.);

2) Perlak Pedalaman, bagi golongan Ahlu Sunnah Wal Jamaah dengan sultan mereka sendiri, yaitu Sultan Alaiddin Malik Ibrahim (363402 II./986-IOI2 M.). Namun, akhirnya Perlak dapat disatukan kembali oleh sultan ini.

Sistem pemerintahan yang diterapkan oleh kerajaan Islam Perlak pada dasarnya mengikuti sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh Daulah Abbasiyah (750-1258 M.), yaitu kepala pemerintahan/kepala badan eksekutif dipegang oleh sultan dengan dibantu oleh beberapa wazir, yaitu Wazir As-Siyasah (bidang politik); Wazir Al-Harb (bidang keamanan/ pertahanan); Wazir Al-Maktabah (bidang administrasi negara); Wazir AIIqtishad (bidang ekonomi/keuangan); dan Wazir Al-Hukkam (bidang kehakiman).

Selain itu, sebagai penasihat pemerintah yang bertugas mendampingi sultan dan para wazirnya, dibentuk sebuah lembaga yang disebut Majelis Fatwa di bawah pimpinan seorang ulama yang berpangkat Mufti.

Penjelasan ini menunjukkan bahwa Islam, baik sebagai kekuatan sosial agama maupun sebagai kekuatan sosial-politik, pertama-tama memperlihatkan dirinya di Nusantara ini adalah di ”negeri Perlak. Dari negeri inilah. pertama kali Islam memancar ke pelosok tanah air Indonesia.

Kerajaan Islam Perlak terus hidup merdeka sampai dipersatukannya dengan Kerajaan Samudera Pasai pada zaman pemerintahan Sultan Muhammad Malik Ad-Dzahir Ibn Al-Malik Ash-Shaleh (688-1254 H./1289-1326 M.).

Dengan demikian, kerajaan Islam Perlak pada abad ke-13 sudah berada dalam kategori kerajaan Islam Samudera Pasai yang dirintis oleh Malik Ash-Shaleh/Meurah Silo (659-688 H./l261-1289 M.). Samudera Pasai merupakan kerajaan yang menjadikan dasar negaranya Islam Ahlu Sunnah Wal Jama'ah.

Negeri ini makmur dan kaya, di dalamnya telah terdapat sistem pemerintahan yang teratur, seperti terdapatnya angkatan tentara laut dan darat. Raja pertamanya adalah Meurah Malik Ash-Shaleh. Sepeninggalnya, kerajaan dipimpin oleh putra sulungnya, yaitu Sultan Malik Adh-Dhahir (Tahir).

Pada masa Adh-Dhahir, negeri ini telah dikunjungi Ibnu Batutah, yang menyebutkan bahwa Islam sudah hampir seabad lamanya disiarkan di Samudera Pasai. Diperintah oleh raja yang saleh, rendah hati, 'tingginya semangat keagamaan rakyat dan rajanya, mengikuti madzhab Syafi'i.

Negeri ini merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpulnya ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniawian.

Disebutkan pula bahwa Istana Raja Samudra disusun dan diatur secara India, di antara pembesamya ada pula orang Persia, patihnya bergelar amir.

Kerajaan Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1524 M.. pada tahun 1521, kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis yang menduduki selama tiga tahun. Kemudian, pada tahun 1524 M., dianeksasi oleh raja Aceh, Ali Mughayatsyah. Selanjutnya, kerajaan Samudera Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.

Sultan Ali Mughayatsyah (1514-1530) telah banyak berjasa dalam betbagai aspek keislaman. Dalam bidang politik, sultan berupaya menghadang penjajah Portugis Kristiani dengan memprakarsai negara Islam bersatu, yaitu menyatukan tenaga politik Islam di dalam sebuah negara yang kuat dan berdaulat yang diberi nama “Aceh Besar” (1514).

Dalam bidang pemerintahan, baginda raja telah meletakkan Islam sebagai asas kenegaraan, bahkan beliau melarang orang-orang bukan Islam untuk memangku jabatan kenegaraan atau menemskan jabatannya. Dalam bidang dakwah, dibangun pusat Islam yang megah, dihimpun para ulama dari juru dakwah, serta menyuruh jihad memerangi penyembah berhala dan syirik.

Pada masa Sultan Alauddin Ri'ayat Syah (abad ke-l6), Aceh dikenal sebagai negara Islam yang perkasa dan menjadi pusat penyebaran Islam yang besar di Nusantara. Dalam bidang hukum, syariat Islam ditegakkan, bahkan raja telah menghukum mati anaknya karena kezaliman dan jinayat (pidana). Dari Pasai dan Aceh, Islam memancar ke seluruh pelosok Nusantara yang terjangkau oleh para juru dakwahnya.

b. Islam di Jawa 

Ahli-ahli sejarah tampaknya sependapat bahwa penyebar Islam di Jawa adalah para Wali Songo. Mereka tidak hanya berkuasa dalam lapangan keagamaan, tetapi juga dalam hal pemerintahan dan politik. Bahkan, seringkali seorang raja seakan-akan baru sah sebagai raja kalau ia sudah diakui dan diberkahi oleh Wali Songo.

Islam telah tersebar di pulau Jawa, paling tidak sejak Malik Ibrahim dan Maulana Ishak yang bergelar Syaikh Awal Al-Islam diutus sebagai juru dakwah oleh Raja Samudera, Sultan Zainal Abidin Bahiyah Syah (1349-1406) ke Gresik.

Dalam percaturan politik, Islam mulai memosrstkan diri ketika melemahnya kekuasaan Majapahit yang memberi peluang kepada penguasa Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Di bawah pimpinan Sunan Ampel, Wali Songo bersepakat untuk mengangkat Raden Patah sebagai raja pertama kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa.

Dalam menjalankan pemerintahannya, Raden Patah dibantu oleh para ulama dan Wali Songo, terutama dalam masalah-masalah keagamaan. Kerajaan ini berlangsung kira-kira abad ke-15 dan abad ke-l6. Di samping itu, berdiri pula kerajaan Islam Demak, Mataram, Cirebon, dan Banten.

Dalam mendirikan negara Islam tersebut, peranan Wali Songo sangat besar. Misalnya Sunan Gunung Djati mendirikan kerajaan Islam Cirebon dan Banten. Sunan Giri di Kerajaan Mataram yang pengaruhnya sampai ke Makasar, Ambon, dan Ternate.

Di samping kekuatan politik Islam yang memberi konstribusi besar terhadap perkembangannya, Islam juga hidup di masyarakat dapat memberi dorongan kepada penguasa non-muslim untuk memeluknya.

J.C. Van Leur menyebutkan bahwa motivasi bupati pantai utara Jawa memeluk Islam bertujuan untuk mempertahankan kedudukannya. Dengan kata lain, para bupati telah menjadikan agama Islam sebagai instrumen politik untuk memperkuat kedudukannya.

Keterangan ini memberikan gambaran kepada kita bahwa agama Islam di Jawa pada masa kerajaan Islam telah menjadi agama rakyat. Para penguasa/bupati pesisir memeluknya karena tanpa ada konversi agama tampaknya kedudukan mereka tidak dapat dipertahankan.

c. Islam di Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi 

Pada awal abad ke-16, Islam masuk ke Kalimantan Selatan, yaitu di kerajaan Daha (Banjar) yang beragama Hindu. Berkat bantuan Sultan Demak, Trenggono (1521-1546), Raja Daha dan rakyatnya masuk Islam sehingga berdirilah kerajaan Islam Banjar, dengan raja pertamanya pangeran Samudera yang diberi gelar pangeran Suryanullah atau Suriansah.

Setelah raja pertama naik tahta, daerah-daerah sekitarnya mengakui kekuasaannya, yakni daerah Sambas, Batangla, Sukaciana, dan Sambangan. Selanjutnya, di Kalimantan Timur (Kutai) pada tahun 1575, yaitu Tunggang Parangan mengislamkan raja Mahkota.

Sejak baginda raja masuk Islam, terjadilah proses Islamisasi di Kutai dan sekitarnya. Penebaran lebih jauh ke daerah-daerah pedalaman dilakukan terutama oleh putranya, dan pengganti-penggantinya meneruskan perang ke daerah-daerah.

Pada abad ke-10 dan ke-11 di Maluku sudah ramai perniagaan rempah-rempah, terutama cengkeh dan pala yang dilakukan oleh para pedagang Arab dan Persia. Tentunya, pada saat itu telah terjadi sentuhan pedagang muslim dengan rakyat Maluku yang membentuk komunitas Islam.

Dengan derasnya gelombang pedagang muslim dan atas ajakan Datuk Maulana Husain, di Ternate, Raja Gafi Bata menerima Islam dan namanya berganti menjadi Sultan Zaenal Abidin (1465-1486). Di Tidore, datang seorang pendakwah dari tanah Arab yang bernama Syekh Mansur dan atas ajakannya, Raja Tidore yang bernama Kolana masuk Islam dan berganti nama menjadi Sultan Jamaluddin.

Di Ambon, Islam datang dari Jawa Timur (Gresik) yang berpusat di kota pelabuhan Hitu pada tahun 1500 M. Di saat Islamisasi berlangsung, Portugis melancarkan Kristenisasi di Ternate pada tahun 1522 M Namun, usahanya tidak banyak berhasil. Pada masa Sultan Baabullah (1570-1583), benteng pertahanan Portugis di Ambon ditaklukkan.

Di Sulawesi, Raja Gowa-Tallo, I Mangarangi Daeng Maurobia, atas ajakan Datuk Rianang masuk Islam pada tahun 1605 dengan gelar Sultan Alauddin di Talo Raja I Malingkoan Daeng Nyonri Kareng Katangka pada tahun yang sama masuk Islam dengan gelar Sultan Abdullah Awal Islam. Setelah itu, Islam tersebar ke Luwu, Waio (1610); Suppengdan Bone (1611).

Berkenaan dengan proses pembentukan negara atau kerajaan Islam tersebut di atas, menurut Taufik Abdullah, setidak-tidaknya ada tiga pola pembentukkan budaya yang tampak dari proses tersebut, yaitu:

1. Pola Samudera Pasai; lahirnya Samudera Pasai berlangsung melalui perubahan dari negara yang segmenter ke negara yang terpusat. Kerajaan ini bukan hanya berhadapan dengan golongan-golongan yang belum ditundukkan dan diislamkan dari wilayah pedalaman, tetapi juga harus menyelesaikan pertentangan politik serta pertentangan keluarga yang berkepanjangan.

Dalam proses perkembangannya menjadi negara terpusat Samudera Pasai juga menjadi pusat pengajaran agama. Reputasinya sebagai pusat agama terus berlanjut walaupun kemudian kedudukan ekonomi dan politiknya menyusut. Dengan pola ini, Samudera Pasai memiliki “kebebasan budaya” untuk memformulasikan struktur dan sistem kekuasaan yang mencerminkan tentang dirinya.

2. Pola Sulawesi Selatan; pola Islamisasi melalui keraton atau pusat kekuasaan. Proses Islamisasi berlangsung dalam'suatu struktur negara yang telah memiliki basis legitimasi genealogis. Konversi agama menunjukkan kemampuan raja. Penguasa terhindar dari penghinaan rakyatnya dalam masalah kenegaraan.

Pola ini digunakan di Sulawesi Selatan, Maluku, dan Banjarmasin. Islamisasi di daerah ini tidak memberi landasan bagi pembentukan negara. islam tidak mengubah desa menjadi suatu bentuk baru dari organisasi kekuasaan. Konversi agama dijalankan, tetapi pusat kekuasaan telah ada lebih dahulu.

3. Pola Jawa; di Jawa, islam mendapatkan suatu sistem politik dan struktur kekuasaan yang telah lama mapan. Ketika kekuasaan raja melemah, para saudagar kaya di berbagai kadipaten di wilayah pesisir mendapat peluang besar untuk menjauhkan diri dari kekuasaan raja. Mereka tidak hanya masuk Islam, tetapi juga memasuki pusat-pusat politik yang independen.

Setelah keraton besar goyah. keraton-keraton kecil bersaing menggantikan kedudukannya. Ketika abad ke-14 komunitas muslim sudah besar, bersamaan dengan melemahnya Majapahit, Demak tampil menggantikan kedudukannya. Dengan posisi baru ini, Demak tidak saja menjadi pemegang hegemoni politik, tetapi juga menjadi “jembatan penyeberangan" Islam yang paling penting di Jawa.

Tidak seperti pola Samudera Pasai, Islam mendorong pembentukan negara yang supradesa, juga tidak seperti Gowa-Talo, keraton yang diislamkan, di Jawa, Islam tampil sebagai penantang, untuk kemudian mengambil alih kekuasaan yang ada. Jadi, yang tampil adalah suatu dilema kultural dari orang baru di dalam bangunan politik yang lama.

B. Islam di Indonesia Pasca-Kemerdekaan

1. Pendahulu

Lahirnya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 9 April 1945 memiliki arti penting dalam lintasan sejarah panjang bangsa Indonesia. Hal tersebut karena untuk pertama kali dalam sejarah, para pemimpin Indonesia berkumpul dalam suatu wadah membicarakan persiapan kemerdekaan bangsa beserta “perlengkapannya”, seperti dasar negara, kabinet, dan parlemen.

BPUPKI yang terdiri atas 68 orang anggota terdiri atas komposisi 8 orang dari Jepang dan 15 orang dari golongan Islam. (Yang dimaksud golongan Islam di sini adalah golongan yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dalam sidang BPUPKI. Ini bukan berarti mereka tidak nasionalis). Selebihnya, dari golongan nasional seluler dan priyayi Jawa (yang dimaksud golongan nasional sekuler bukan berarti ateis atau anti agama).

Dalam perjalanan politisnya, badan yang dimotori oleh DR. Rajiman Widyodiningrat dapat mengesampingkan delapan anggotanya yang dari Jepang sehingga mereka tidak terlibat dalam pembicaraan. Dengan demi

kian, dua golongan saling berhadapan, yaitu golongan Islam dan nasional sekuler, sementara golongan priyayi berpihak pada nasional sekuler. Di pihak Islam, para pendukung reformis dan tradisionalis bersatu menghadapi golongan nasional sekuler.

Dalam melaksanakan tugasnya, BPUPKI pada tanggal 7 Agustus 1945 mengubah namanya menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang mengadakan dua kali sidang resmi dan satu kali sidang tidak resmi, yang seluruhnya berlangsung di Jakarta.

Sidang-sidang resmi itu diadakan untuk membahas masalah dasar negara. kewarganegaraan, sem Rancangan Undang-Undang Dasar, sedangkan sidang kedua yang berlangsung antara tanggal 10-17 Juli 1945 membahas bentuk negara, wilayah negara, kewarganegaraan, RUUD, ekonomi dan keuangan, pembelaan, pendidikan, dan pengajaran.

Ketika membahas dasar negara itulah terjadi perdebatan ideologis yang sengit antara golongan Islam dan nasional sekuler. Sebenarnya, gagasan-gagasan para tokoh Islam menjadikan Islam sebagai dasar negara tidak dilengkapi oleh argumentasi empris mengenai “negara Islam” yang dicita-citakan.

Dipandang dari sudut ini, sebenarnya yang dicita-citakan oleh tokoh Islam dalam BPUPKI dan PPKI bukan realisasi konsep negara Islam, tetapi lebih tepat pada adanya jaminan terhadap pelaksanaan syariat ajaran-ajaran Islam yang pada akhirnya melahirkan Jakarta Charter atau Piagam Jakarta yang menunjukkan bahwa identitas orang Islam perlu dijamin secara konstitusional. Berangkat dari peristiwa Jakarta Charter tersebut, dapat dimengerti bahwa Indonesia bukan sebuah negara teokrasi, tetapi juga bukan negara sekuler.

2. Islam dalam Masa Revolusi

Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, muncul persoalan, yakni dimentahkannya kembali gentlementasi agreement yang telah susah payah dikemas dalam Piagam Jakarta. Kedudukan golongan Islam tidak bertambah kuat setelah Bung Karno dan Bung Hatta disahkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam KNIP yang dibentuk kemudian, dari 137 anggotanya, hanya 20 orang yang berasal dari golongan Islam”, sedangkan dari 15 anggota BPKNIP yang dibentuk bulan Oktober 1945, hanya 2 orang wakil Islam. Setelah mengalami perombakan pada bulan September, 17 anggota golongan Islam hanya mendapat jatah 3 orang.

Secara kuantitas, perwakilan ini tidak adil. Penduduk Indonesia yang mayoritas Islam dalam kabinet presidentil hanya memperoleh jatah kursi Menteri Pekerjaan Umum (Abikusno Cokrosujoso) dan Menteri Negara (K. H. Wahid Hasyim).

“Kekalahan” golongan Islam dengan dihapuskannya Piagam Jakarta membuat mereka bersatu dan merasa “senasib". Mereka mulai memikirkan suatu partai politik yang dapat menjadi payung bagi semua organisasi Islam pada saat itu. Ini berarti pula bahwa konflik ideologis tentang dasar negara belum berakhir. Masalah yang kemudian mencuat kembali dalam konstituante hasil Pemilu 1955.

Dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah No. 10 tanggal 3 November 1945 tentang dibolehkannya membentuk partai-partai politik. parpol-parpol bermunculan, walaupun pada tubuh pemerintah sendiri saat itu sebenarnya ada keinginan untuk menciptakan monolitich nasional party.

Dilihat dari segi ideologis, partai-partai politik dapat dibedakan atas tiga jenis, yakni :

1. Ideologi Islam, yang diwakili oleh Masyumi (lahir 7 November 1945), PSII (keluar dari Masyumi tahun 1947), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan NU (keluar dari Masyumi pada tahun 1952).

2. Ideologi Nasional Sekuler, diwakili oleh PNI.

3. Ideologi Marxis-Sosialis, diwakili oleh Partai Sosialis ( 10 November 1945), PKI (7 November 1945). Partai Buruh Indonesia (8 November 1945), Partai Rakyat Sosialis (20 November 1945), dan partai-partai lainnya yang dapat dikategorikan ke dalam mainstream ideologis di atas.

Pada saat menjamurnya parpol kurun waktu November sampai Desember 1945, umat Islam begitu kompak menyatukan langkah dengan ditandainya Kongres Umat Islam Indonesia pada tanggal 7-8 November 1945 di Yogyakarta.

Semangat yang menjiwai kongres itu bukan saja semangat persatuan, tetapi juga semangat kesatuan kongres dilaksankan pada saat seluruh bangsa tengah menghadapi tentara sekutu dan tentara Belanda yang membonceng sekutu dan berniat kembali menjajah bangsa Indonesia dengan tegas dan penuh keyakinan menggunakan seruan jihad fisabilillah untuk mempertahankan kemerdekaan.

Saat itu sangat populer pepatah “Isy Kariman Aw mut Stahidan” dan para ulama mengeluarkan fatwa-fatwa fardu 'ain untuk mempertahankan kemerdekaan. Implikasinya, kongres tersebut menghasilkan barisan sabilillah dan hizbullah.

Dengan demikian, jelas sekali menurut Mohammad Natsir bahwa umat Islam sangat proaktif dalam menulis sejarah. Hasil terpenting dari kongres tersebut adalah terbentuknya satu wadah perjuangan politik umat Islam Indonesia, yakni partai politik Islam Masyumi.

Sebagai partai politik terbesar pada saat itu, Masyumi bukan tidak menyadari terjadinya ketidakadilan dalam pembagian kekuasaan pada masa permulaan revolusi, baik pada kabinet maupun pada KNIP, tetapi lebih dikarenakan pertimbangan bahwa persatuan dan kesatuan bangsa pada tahap yang sangat menentukan jauh lebih penting daripada sekadar kepentingan partai, Masyumi tidak mendesakkan keinginannya untuk dilakukan perubahan yang lebih proporsional dalam kabinet maupun KNIP.

Tampilnya Syahrir di pentas politik nasional ternyata belum juga dapat memperlihatkan spektrum yang lebih luas oleh Presiden Soekarno. Syahrir yang sangat terobsesi oleh sikap anti kolaboratomya menganggap kabinet pertama didominasi oleh kaum kolaborator, menuntut agar pemerintah Republik Indonesia benar-benar membersihkan diri dari apa yang disebutnya sebagai kolaborator politik.

Secara sistematis, gagasan tersebut diterapkan oleh Syahrir dan kelompoknya, mula-mula ia mendesak dilakukan restrukturisasi KNIP melalui petisi 50 negara KNIP. Dengan diterimanya petisi 50 oleh presiden, meskipun kabinet didominasi oleh Kolaborator Jepang, karena KNIP diberikan fungsi legislatif, KNIP dapat mengontrol jalannya pemerintahan.

Meskipun demikian, Syahrir dan kelompoknya masih belum puas. Mereka mengajukan tuntutan lain, yakni mendesak agar dilakukan perubahan mendasar dalam sistem pemerintahan Republik. Kabinet tidak lagi bertanggung jawab kepada presiden, melainkan harus kepada KNIP. Dengan demikian, sistem pemerintahan bukan lagi presidentil, melainkan parlementer.

Usulan Syahrir yang terkesan reformis, ternyata sangat lain di mata Masyumi karena gambar-gambarnya Syahrir itu kontradiksi dengan kenyataannya, dan bahwa orang-orang Syahrir justru sangat erat bekerja sama dengan Jepang maupun dengan ekspensekor Belanda. Masyumi berpendapat bahwa segala perubahan, baik yang berkenaan dengan UUD maupun resuffel kabinet dapat dilakukan setelah diadakan pemilu Januari tahun berikutnya.

Antara tahun 1945-1949, segala potensi kekuatan sosial politik di Indonesia diabdikan untuk mempertahankan kemerdekaan. Setelah Belanda dengan sekutu datang kembali untuk menjajah Indonesia, perjuangan Masyumi pada masa revolusi hampir total. Mereka menolak segala perundingan dengan Belanda karena dipandang menodai perjuangan.

Sikap Masyumi terhadap gagasan perubahan sistem pemerintahan pada awal kemerdekaan sesungguhnya menunjukkan watak dasar politik tersebut, yaitu sikapnya yang setia pada UUD yang secara yuridis-konstitusional berlaku di negara ini.

Bagi Masyumi, terlepas dari bagaimana proses ditetapkannya sebuah UUD, jika sudah dinyatakan berlaku sebagai konstitusi negara, partai politik Islam tanpa ragu-ragu akan menyatakan sikap untuk tunduk dan patuh pada UUD sehingga ia konsisten pada pendirinya, lebih menyetujui sistem kabinet presidentil daripada kabinet parlementer.

Di balik kekonsistenan sikap Masyumi, ironisnya Soekarno sebagai presiden saat itu membubarkan kabinetnya. Soekarno cenderung dan setuju dengan usulan Syahrir, sekaligus menunjuknya sebagai perdana menteri, sehingga resmilah kabinet Syahrir diumumkan tanggal 14 November 1945.

Dalam keadaaan seperti itu, Masyumi tidak dapat berbuat banyak, kecuali menerima kenyataan tersebut. Karena dalam pandangannya, perubahan sistem kabinet itu lahir berdasarkan antara KNIP dengan presiden, perubahan itu pun dianggap mempunyai kekuatan hukum.

Hasilnya, dari 14 anggota kabinet parlementer, hanya satu orang yang dapat dianggap mewakili kalangan politisi muslim, yaitu H. Rasyidi (menteri negara). jumlah itu bertambah ketika pada 3 Januari 1946, Natsir diangkat menjadi menteri penerangan. Akan tetapi, baik H. Rasyidi maupun M. Natsir diangkat menjadi menteri dalam kapasitasnya sebagai pribadi, bukan sebagai wakil dari Masyumi.

Peranan Masyumi dalam naik turunnya kabinet dalam masa revolusi sangat beragam. Dalam kabinet Syahrir antara 1945-1947 Masyumi bertindak sebagai oposisi“), sampai terbentuknya kabinet Amir Syarifuddin I.

Namun, saat itu persatuan umat Islam mulai retak karena dengan lihai, Amir Syarifuddin berhasil membujuk unsur PSII untuk berkoalisi dengan kabinetnya. Ia berkeyakinan bahwa tanpa memasukkan unsur parpol Islam, kabinemya tidak legitimed.

Dalam kabinet Amir Syarifuddin II, Masyumi bersedia ikut serta dengan maksud memengaruhi P.M. Amir Syarifuddin dalam perundinganperundingannya dengan pihak Belanda. Namun, usaha ini gagal dengan disepakatinya Perjanjian Renville. Setelah timbul perpecahan internal, P.M. Amir Syarifuddin menyerahkan mandatnya kepada presiden.

Berikutnya terbentuk kabinet Mohammad Hatta yang merupakan “Ekstra kabinet” dan paling lama memerintah dalam masa revolusi tersebut. Empat hal krusial yang harus ditangani oleh kabinet ini adalah terjadinya gerakan Dar Al-Islam, konsekuensi Perjanjian Renville, peranan Syahrir sampai penyerahan kedaulatan Belanda melalui KMB, dan penanganan pemberontakan PKI di Madiun 1948.

Tekad Masyumi untuk bersatu-padu menentang segala bentuk penyelewengan pemerintah, ternyata tersandung di tengah jalan dengan keluarnya PSII tahun 1947, dan lebih fatal lagi ketika NU menyatakan keluar tahun 1952, sehingga Masyumi menjadi gagal.

3. Eksistensi Islam dalam Demokrasi Parlementer

Berakhirnya masa revolusi 29 Desember 1949 yang ditandai dengan penyebaran kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar tanggal 23 Agustus dan 2 November 1949 di Den Haag menunjukkan bahwa pentas sejarah politik Indonesia memasuki era baru dengan diterapkannya sistem Demokrasi Parlementer dan Konstitusi UUD RIS 1949 yang kemudian diganti dengan UUDS 1950.

Selama tahun 1950-1955, parlementer sangat aktif. Tidak ada satu pun kabinet yang dijatuhkan oleh parlemen dan DPR tidak diganti sampai terbentuknya parlemen baru hasil dari pemilu 1955.

Antara kurun waktu tersebut, peranan parpol Islam mengalami pasang smut, seiring dengan jatuh-bangunnya pimpinan parlemen. Secara kronologis dapat disebutkan sebagai berikut: Kabinet Hatta 1950, Masyumi memperoleh jatah 4 kursi, sedangkan PSII dan Perti tidak masuk.

Kabinet Natsir 1950-1951 tercatat 4 orang dari Masyumi dan 2 dari PSII. Dalam kabinet Sukiman 1951-1952, Masyumi berkoalisi dengan PNI, masing-masing memperoleh 5 kursi. Dalam kabinet Wilopo 1952-1953, Masyumi mendapat 4 kursi termasuk Menteri Agama Fakih Utsman dari Muhammadiyah.

Dalam kabinet Ali Sostroamijoyo I 1953-1955, untuk pertama kalinya NU duduk dalam jajaran kabinet yang memperoleh 3 kursi, sedangkan PSII memperoleh 2 kursi. Kabinet Burhanudin Harahap 1955-1956 kembali terjalin kerja sama antara parpol Islam, yaitu Masyumi, NU, dan PSII. Kabinet ini mempunyai tugas khusus untuk menyelenggarakan pemilu 1955.

Pemilu 1955 terbukti sebagai suatu peristiwa yang paling menentukan dalam sejarah Indonesia. Kampanye politik pada saat itu justru meningkatkan pergolakan untuk berebut kekuasaan sebab masing-masing partai berusaha memperoleh dukungan dari para pejabat pada saat itu, sepertinya semua kalangan proaktif dalam pemilu, dari kyai, petani, tokoh kampung sampai perkumpulan buruh/pekerja.

Kebanyakan mereka menggalang pengikut dari kampung-kampung yang dipimpin oleh mantan aristokrat, tuan tanah, dan dukun mistik. Partai-partai Islam menggalang pengikutnya dari kalangan tradisional dan reformis pada kampung yang berbeda.

Dengan demikian, komunitas kampus secara politik ditransformasikan menjadi aliran terorganisasi. Pemilu 1955 mengonsolidasikan bentuk baru ideologi Indonesia dan organisasi sosial, bahkan mengembangkan sebuah kelanjutan yang nyata dari masa lalu Indonesia.

Hasil Pemilu 1955 adalah terbentuk Kabinet Ali Sostroamijoyo II 1956-1957 yang merupakan koalisi PNI, Masyumi, dan NU. Kabinet ini jatuh karena ingin ikut serta dalam kekuasaan pemerintahan, padahal secara konstitusional, hal ini tidak dibenarkan. Kepala negara hanya simbol dan tidak memiliki kekuasaan eksekutif.

Sebab lainnya karena Masyumi dan Perti menarik diri dari kabinet karena tidak puas dengan kebijakan dalam mengatasi krisis di daerah-daerah, karena saat itu muncul perlawananan-perlawanan di daerah terhadap pemerintahan pusat.

Kekuasaan negara diambil alih oleh Presiden Soekarno dan pasukan militer sehingga aspirasi umat Islam untuk mewarnai negara dengan islam mengalami kekalahan. Pada tahun 1957, sistem parlementer diubah menjadi “Demokrasi Terpimpin” termasuk di dalamnya rancangan pembentukan kabinet yang terdiri atas dewan komunitas dan nasionalis.

Selanjutnya, terjadi perubahan drastis, menyusul macetnya pembicaraan dalam majelis konstituante sampai-dengan tanggal 2 Juni 1950, presiden bersama militer mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 dan membubarkan konstituante.

Runtuhnya Demokrasi Parlementer dipicu oleh banyak hal, di antaranya: 

1. Militer tidak menyukai sistem tersebut karena membuat posisinya berada di pinggiran. Analisis ini terutama berangkat dari perspektif sipil-militer.

2. Demokrasi Parlementer tidak memperoleh dukungan di Indonesia. Presiden Soekarno terlempar dan hanya menjadi simbol, padahal sebagai pemimpin Solidarity Maker, ia memiliki basis masa yang luas. Hal ini sangat berlawanan dengan politisi sipil lainnya, seperti Syahrir dan Moh. Hatta yang bertipe administratif.

3. Demokrasi Parlementer tidak dapat menampung semua aspirasi yang berkembang dalam masyarakat Indonesia yang majemuk sehingga akhirnya runtuh.

4. Berhubungan dengan budaya politik Indonesia yang bersumber pada “Demokrasi Desa” yang sangat menekankan pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat. Sedangkan Demokrasi Parlementer mengikuti cara barat yang mengenal mating.

4. Islam dan Demokrasi Terpimpin

Terjerembabnya Kabinet Parlementer (pada saat itu kabinet Ali II) mengakibatkan politik di Indonesia masa krisis. Hal itu terjadi bersamaan dengan bergulirnya Demokrasi Terpimpin Bung Karno. Dalam masa krisis ini, perjuangan parpol Islam beralih dari “Politik Praktis” ke “Politik Ideologi.''

Yang dimaksud Demokrasi Terpimpin menurut pemerintah (Bung Karno) adalah demokrasi murni yang berdasarkan suatu ideologi yang memimpin dengan menentukan tujuan serta cara mencapainya”). Dari batasan tersebut dapat dipahami kata “Demokrasi” dan “Terpimpin”, dua kata yang bersifat komplementer.

“Terpimpin” berarti ada seorang pemimpin yang memimpin dalam rangka demokrasi. Dalam praktiknya, kata terpimpin lebih dominan dan dapat menggusur kata demokrasi itu sendiri. Pada saat itu, sempurnalah tiga wewenang negara (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif) berada dalam satu genggaman kekuasaan Soekarno.

Timbulnya pemusatan kekuasaan pada satu tangan mencuatkan konsekuensi yang variatif bagi parpol Islam“) sehingga terjadi kristalisasi NU dan PSII, sedangkan Perti diizinkan tetap eksis, karena pro-Demokrasi Terpimpin yang dijadikan wakil kelompok agama Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis) yang merupakan Jargon Politik Bung Karno dalam rangka menciptakan Persatuan Bangsa.

Karena tarikan Bung Karno sangat tegas dalam menandai batas antara musuh revolusi, Masyumi yang selalu vokal dalam melancarkan kritik tajam tidak dihiraukan. Bahkan, para pemimpin Masyumi khususnya, yang sejak awal diskursus ideologis di Indonesia dipandang sebagai pendukung-pendukung sejati gagasan negara Islam, dipenjarakan karena oposisi mereka terhadap pemerintah yang tak berkesudahan.

Akhirnya, dengan alasan bahwa beberapa pemimpin utamanya, (seperti Mohammad Natsir dan Syafruddin Prawiranegara) ikut terlibat dalam pembrontakan PRRI, Soekanto membubarkan Masyumi pada tahun 1960 23).

Dalam pandangan Bahtiar Effendi, kelompok Islam secara simbolik berhasil dikalahkan. Di balik kekalahan simbolik tersebut, selama masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekanto, artikulasi legalistik/formalistik gagasan dan praktik politik Islam, terutama gagasan Islam sebagai dasar ideologi negara memberi pengaruh negatif terhadap kekuasaan.

Lalu, bagaimana dengan keberadaan NU saat itu? Tampaknya,” motivasi keterlibatan NU di dalam Demokrasi Terpimpin harus dipandang secara internal, bahwa semua keputusan NU “didasarkan atas pertimbangan agama yang kemudian ia mengambil kaidah Ma la Yudraku Kulluhu La Yudraku Ba” Dhuhu. Misalnya NU menerima Manipol Usdeknya Soekarno.

Akibat penerimaan ini, NU seringkali dipandang sebagai partai yang oportunistik. Meskipun demikian, para pemimpinnya membela diri dengan menyatakan bahwa keterlibatan mereka dalam rezim Demokrasi Terpimpin adalah untuk mengimbangi posisi PKI yang semakin dominan.

Pada sisi lain, Masyumi menilai bahwa proaktif dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno merupakan suatu penyimpangan terhadap ajaran Islam. Adapun Liga Muslimin (NU, PSII, dan Perti) menganggapnya sebagai sikap realistis dan pragmatis, bahkan keikutsertaan NU hanya strategi, bukan berarti idealismenya bergeser.

Dalam Demokrasi Terpimpin dilakukan pemangkasan parpol, melalui berbagai Keppres Parpol “dikebiri” sebagai konsekuensinya obsesinya yang merupakan ide pokoknya, yaitu melakukan emaskulasi partai-partai politik. Hal ini karena menurutnya parpol-parpol inilah yang menciptakan pemerintahan yang tidak efektif.

Dalam kenyataannya, Masyumi belum pernah sekalipun bersedia duduk bareng PKI dalam satu kabinet, sampai Masyumi dibubarkan. Kemudian, NU menjadi parpol Islam terbesar, namun di antara parpol-parpol yang ada, hanya PKI yang mampu bersaing dalam kompetisi kekuatan politik nasional, bersama militer, dan Bung Karno.

Sikap akomodatif NU atau dalam bahasa Deliar Noer “Politik Penyesuaian Diri“ dalam bidang politik'praktis berbanding terbalik bila bersinggungan dengan keyakinan agama terlihat dengan tampilnya NU sebagai penentang utama PKi dengan menandinginya dalam semua aspek kehidupan.

Kolaborasi NU-Soekarno terus berlangsung sampai runtuhnya rezim Demokrasi Terpimpin. Rezim baru tersebut segera mengasingkan beberapa kekuatan penting di masyarakat. Soekarno mengasingkan elit intelektual dan elit politik dengan menekan ekspresi kultural.

Lebih jauh. ia mengatakan negeri ini pada kehancuran ekonomi sebagai akibat dari pengeluaran yang sangat besar dan akumulasi utang asing yang membengkak. Rezim baru ini juga memberikan kesempatan besar pada komunis untuk mengonsolidasikan posisi politik mereka.

Kehancuran Demokrasi Terpimpin terjadi setelah kudeta yang gagal melalui Gerakan 30-S/PKI tahun 1965, berpegang pada selembar Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966 (SUPERSEMAR). Jenderal Soeharto pemegang mandat mengambil langkah-langkah untuk menyelamatkan negara terhitung sejak tanggal tersebut hingga dibangunnya orde politik baru yang oleh pendukungnya disebut Orde Baru yang sanggup menggusur Orde Lama.

Soeharto meraih kekuasaan berdasarkan sebuah koalisi para perwira militer Indonesia, organisasi komunitas muslim dan minoritas Katholik-Protestan, dengan dukungan profesional dan birokrat kelas menengah dan kalangan inteligensia berpendidikan barat.

Rezim Soeharto mengambil pola kebijakan, sekuler dengan penekanan terhadap Pancasila sebagai prinsip-prinsip dasar negara dan masyarakat. Dengan demikian, tamatlah riwayat Derokrasi Terpimpin. Selanjutnya, diganti dengan era Reformasi sampai sekarang (2007).

C. Malaka

Islam berkembang di Malaka, sebuah kerajaan yang didirikan oleh Parameswara. Kemudian. ia mengganti namanya menjadi Muhammad Iskandar Syah setelah menikah dengan saudara perempuan raja Pasar. Muhammad Iskandar Syah diganti oleh Muhammad Syah (1424-1444 M.); Muhammad Syah diganti oleh Abu Sa'id (1444-1445 M.); dan Abu Sa'id diganti oleh Sultan Muzhaffar Syah (1445-1459 M),

Pada Zaman Muzhaffar Syah, Islam disebarkan secara langsung oleh raja (sultan) sehingga mengalami perkembangan pesat darumampu me' nguasai perdagangan. Ibukota kerajaan adalah Johor. Pada tahun 151 : M.. Portugis menguasai Malaka, sehingga mengurangi peran Malaka sebagai pusat penyebaran Islam.

Ibukota Malaka dari Johor dipindahkan ke Kepulauan Riau untuk mengakomodasikan kepentingan bangsa Aceh. Aceh kemudian menggantikan peran Malaka sebagai pusat penyebaran Islam dan mempunyai pemerintahan yang kuat.

D. Sarawak, Sulu, dan Mindanau

Sisa sisa kekuasaan Sriwijaya “ditumpas” oleh Majapahit. Sejumlah pangeran dan prajurit melarikan diri ke berbagai wilayah Melayu. Di Pulau lolo, terdapat kerajaan Baguinda. Menurut satu riwayat, seorang Arab yang melakukan perjalanan dari Sumatra dan Kalimantan, menikah dengan anak perempuan raja Baguinda (1450 M.).

Setelah itu, semua sultan Sulu menyatakan diri sebagai keturunan dari sultan pertama. Islam yang berkembang di Sulu dan Filipina Utara dibawa oleh para pedagang dan da'i dari Malaka; sehingga Spanyol melaporkan bahwa sebelum terbentuk kesultanan Islam di Filipina, telah ada perkampungan muslim (1514 M.).

Pada tahun 1511 M., pusat perdagangan Islam (Malaka) jatuh ke tangan Portugis. Anggota keluarga kerajaan melarikan diri ke berbagai daerah untuk mengungsi. Setelah Malaka jatuh, Brunei muncul sebagai pusat perdagangan bagi umat Islam (1520 M.).

Sultan Muhammad yang berkuasa di Brunei didukung'oleh saudaranya di Johor, Ahmad. Sultan yang berkuasa berikutnya adalah Nakoda Ragam dengan gelar Sultan Bolkiah. Pada zamannya, Brunei berkembang dan angkatan perang dibentuk.

Pada tahun 1565 M, Spanyol menaklukkan Filipina dan penganut Katholik. Dalam melakukan perluasan kekuasaan di Filipina, Spanyol mendapat perlawanan dari tiga kasultanan Islam, yaitu Sulu, Maguindanao, dan Bayan. Sejak itu, Islam tidak melakukan gerakan senjata (1973-1976) yang memaksa Manila menandatangani Perjanjian Tripoli yang memberi otonomi penuh bagi Moro.

Pemerintah Filipina tidak bisa mematuhi Perjanjian Tripoli, sehingga pada tahun 1977, terjadi lagi perang antara muslim dengan pemerintah. Nur Misuari mendapat tantangan dari fraksi lain, yaitu Front Pembebasan Islam Moro (MILF) yang konservatif dan kelompok reformis MNLF (MNLF-RG) yang modernis.

Pada zaman Corazon Aquino, Manila gagal meneruskan negosiasi yang berpijak pada Perjanjian Tripoli. Akan tetapi, pemerintah berjanji akan memberikan otonomi terbatas kepada Moro. Meskipun demikian, MNLF telah menarik diri dari negosiasi dan bahkan menyerukan kepada fraksi-fraksi Moro lainnya.

E. Thailand dan Birma (Myanmar)

Islam datang ke Thailand dengan perantaraan pedagang yang berasal dari Arab dan India. Para pedagang yang berasal dari Arab dan India disebut Khek Islam (pedagang muslim) oleh penduduk setempat. Para pedagang tersebut meminta kepada raja Siam untuk mendirikan masjid.

Permohonan mereka dikabulkan oleh raja maka didirikanlah masjid Bangkok Noi (Bangkok Kecil). Islam disebarkan di Siam melalui hubungan dagang dan perkawinan. Asep Ahmad Hidayat yang dikutip Jaih Mubarok menjelaskan bahwa sebelum tahun 1801, wilayah Thailand merupakan wilayah Kesultanan Patani Darussalam (Patani Raya) yang meliputi Patani (Thailand Selatan).

Trengganu, dan Kelantan (Malaysia). Pada tahun 1901. wilayah tersebut dikuasai oleh Kerajaan Thailand. Berdasarkan Perjanjian 1902. Wilayah Kesultanan Patani Darussalam dipecah menjadi dua. yaitu Patani dimasukkan ke dalam wilayah Thailand, sedangkan Trengganu dan Kelautan dimasukkan ke dalam wilayah koloni Inggris. Sekarang, Trengganu dan Kelantan merupakan negara bagian dari Malaysia.

Peristiwa dimasukkannya wilayah Patani secara resmi ke dalam negara Thailand dan dihapuskannya sistem kesultanan, mendapat reaksi keras dari rakyat Patani pada waktu itu. Mereka melakukan perlawanan senjata terhadap Kerajaan Thailand.

Pada tahun 1903, Abdul Kadir (Raja Patani) melakukan gerakan dengan strategi perlawanan umum untuk memancing tindakan-tindakan penindasan sehingga melahirkan pemberontakan umum terhadap pemerintah Thailand; dan meminta campur tangan asing, terutama dari Inggris di Malaka. Namun, usaha pemberontakan itu dapat ditumpas oleh Kerajaan Thailand.

Gerakan-gerakan berikutnya adalah : 

a) perlawanan yang menuntut kemerdekaan penuh dari Thailand di bawah pimpinan Totae (1901);

b) perlawanan terhadap pemerintahan dengan cara memboikot pembayaran pajak yang dipimpin oleh Haji Bula (1911); dan

c) pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Patani terakhir, Sultan Abdul Kadir Muhyidin, yang tinggal di Kelantan Malaysm (1922).

Pada masa pemerintahan Pibul Songkram (1938-1948), muncul tuntutan otonomi bangsa Melayu Patani yang dipimpin oleh Haji Sotong, seorang ulama kharismatik yang penuh bermukim di Mekah.

Haji Sulang menuntut tujuh persoalan yang harus dipenuhi oleh pemerintah, yaitu : 

1) otonomi penuh empat wilayah (Naratiwat, Satun, Patani, dan Jala) di wilayah bagian Thailand Selatan;

2) pengajaran bahasa Melayu bagi anakanak di empat wilayah tersebut;

3) pendapat yang diperoleh dari wilayah tersebut diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat wilayah tersebut;

4) 80% pegawai pemerintah harus orang muslim;

5) tulisan ArabMelayu menjadi bahasa resmi;

6) pembentukan Mahkamah Syariah serta mengadakan mahkamah yang khas untuk mengurus dakwaan yang berdasarkan hukum Islam; dan

7) majelis agama Islam berhak mengeluarkan undang-undang administrasi agama Islam dengan disetujui oleh ketua besar di empat wilayah.

Karena tuntutan tersebut, Melayu Patani semakin ditekan oleh pemerintah Thailand dan bahkan Haji Sulong bersama dua temannya, Wan Usman Ahmad dan Encik Ishak Yusuf, ditangkap dan dibunuh oleh polisi rahasia Thailand pada hari Jumat tanggal 15 Agustus 1954.

Secara umum, Asep Ahmad Hidayat membagi gerakan muslim Thailand menjadi dua, yaitu gerakan non-kooperatif dan gerakan kooperatif. Sepeninggal Haji Sulong, rakyat Melayu Patani tidak lagi menuntut otonomi, tetapi kemerdekaan penuh bagi bangsa Patani.

Haji Sulong telah berhasil membangkitkan rasa nasionalisme di kalangan Melayu Patani. Sekarang, di Thailand terdapat empat organisasi muslim yang menuntut kemerdekaan penuh bagi Patani, yaitu Barisan Nasional Patani (BNPP) atau National Liberation Front of Patani (NLFP), Barisan Revolusi Nuswnal (BRN) atau Liberation Front of Republic Patani (LFRP), Pertumbuhan Pembiasaan Patani (PPPP) atau Patani United Liberation From of Refublic Patani (LFRP). dan Gerakan Mujahidin Patani (GMP).

Kendali seluruh organisasi pergerakan nasionalis Patani ini dipegang oleh kaum intelektual Patani. Landasan perjuangan mereka adalah “Bangsa Melayu, Budaya Melayu. dan Islam”.

Karena perpecahan antarorganisasi pembebasan, aktivuas perjuangan kaum gerilyawan Patani agak berkurang. Bersamaan dengan tm. semenjak tahun 1980-an, pihak pemerintah Thailand memulai program pembangunan sosial-ekonomi di empat wilayah Thailand Selatan dengan tujuan membawa ruang gerak kaum pembebasan Patani dan memperlemah kekuatan mereka.

Untuk kepentingan tersetmt, pihak pemerintah Thailand mangankan rencana kerja sama di bidang ekonomi di empat wilayah Thailand Selatan dengan rencana Segitiga Pertumbuhan lndonesia-MalaysiaThailand. Program pendidikan yang dirancang oleh penerimah Thailand di nmpat wilayah Melayu dianggap berhasil.

Pada tahun 1990, jumlah sekolah umum di wilayah Patani, Naratiwat. Yala, dan Satun, mencapai 1.216 buah: mengalahkan jumlah sekolah swasta Islam milik Melayu Patani yang hanya mencapai 189 buah. Kira-kira 202.972 orang pelajar Islam belajar di sekolah pemerintah dan hanya 22.423 orang pelajar yang menuntut ilmu di sekolah agama.

Bersamaan dengan itu, Fourth Army Region (FAR) mengadakan beberapa kegiatan untuk menghapus konflik separatis dengan cara bujukan. Di antara program tersebut adalah Taironyen (Kebahagiaan Selatan) yang diperkenalkan oleh Jenderal Hard Leonanond dan Kuam-wangmai (Harapan Baru) oleh Jenderal Chaovalit Yongcahaiyudh.

Pada tahun 1981 di provinsi Yala dibentuk agensi Soucthen Border Provinces Administrative Centre (SBPAC) yang berfungsi sebagai pusat penyelarasan untuk menghapuskan gerakan pembebasan Patani.

Bagi pemerintah Thailand, kebijakan politik nomor 66/2523 menunjukkan tanda-tanda keberhasilannya. Sebagai contoh, aktivitas gerilyawan telah menurun dan gerakan separatis diyakini oleh pemerintah tidak lagi didukung oleh kebanyakan penduduk Patani, terutama masyarakat pedesaan.

Apalagi pada tahun 1992, FAR berhasil mengadakan perundingan dua organisasi pergerakan nasional Patani supaya kembali ke pangkuan pemerintah dan bekerja sama untuk membangun negara. Oleh karena itu, pihak pemerintah Thailand berkesimpulan bahwa gerakan pemisahan di empat wilayah Melayu Patani sudah berada dalam kehancuran.

Pada tanggal 31 Agustus 1989, empat organisasi pergerakan pembebasan BIPP, Barisan Revolusi, Nasional-Kongres, GMP, dan PULO mengadakan ikrar bersama untuk segera membentuk organisasi yang dapat memayungi perjuangan kemerdekaan rakyat Patani.

Pada tahun 1991, organisasi induk sudah disetujui, dibentuk, dan diberi nama “Barisan Bersatu Kemerdekaan Patani (BERSATU)” atau United Front: for Patani Independence; yang terpilih sebagai presiden pertama BERSATU adalah Wahyudin dari GMP.

Organisasi baru ini dapat menarik perhatian dan keyakinan masyarakat Patani terhadap urgensi gerakan pembebasan Patani bagi terwujudnya suatu negara Patani Raya yang berdaulat penuh. Unit-unit gerilya pun meningkat di empat wilayah Melayu Patani. Sejak itu, pihak pemerintah Thailand mulai memberi perhatian kepada BERSATU.

Surat tawaran kerja sama bagi penyelesaian masalah Patani pun dilayangkan kepada BERSATU melalui FAR pada tanggal 15 November 1991. Dalam menjawab surat tawaran tersebut, BERSATU tetap berpandangan bahwa kerja sama secara ikhlas untuk menyelesaikan masalah bangsa dan negara tidak mungkin tercapai antara pihak penjajah dengan yang dijajah.

Pada tanggal 4-5 Juli 1995, BERSATU mengadakan sidang yang menghasilkan keputusan mengenai pembentukan Komite Perundingan Rakyat Melayu Patani (KPRMP). Komite ini didukung oleh tujuh barisan organisasi pembebasan Patani: BIPP, BIN-Kongres, GMP, PULO, BRN, Gerakan Ulama Patani (GUP), dan Patani United Liberation Organization 88 (PULO 88); dan dalam persidangan tersebut, Mahdi Daud, Presiden BERSATU, terpilih menjadi pemimpin KPRMP.

Setelah KPRMP terbentuk, aktivitas gerilya Islam di Patani meningkat, apalagi setelah tertembaknya seorang pemimpin gerilya, Ilyas To’ Bala, dan dua orang rekannya dari BRN-Kongres pada awal l997.

Sebagai reaksinya adalah unit-unit gerilya Islam di Patani mengeluarkan kebijakan operasi “Daun Luruh (Baimai Ruang)” yang bertujuan membalas tindakan polisi dan tentara. Thailand secara keseluruhan. Menurut Berita Harian 1997 (Daily News). sebanyak l3 orang tentara Thailand menjadi mangsa operasi “Daun Luruh II” tersebut.

Dari aspek perkembangan organisasi, BERSATU dan KPRMP telah memperluas perpaduan perjuangan dengan cara mewujudkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Melayu Patani (MPRMP) dan Perlembagaan Negara Islam Patani (PNMlP) yang diadakan pada tanggal 14-15 Juni 1997.

MPRMP mempunyai dua fungsi utama, yaitu :

1) sebagai majelis perwakilan yang menentukan garis panduan kebijakan dan mengesahkan anggaran belanja negara Patani dan

2) sebagai majelis pelaksa'na yang melaksanakan semua kebijakan dan arahan mengenai perjuangan pembebasan Patani.

Gerakan kooperatif yang dilakukan oleh muslim Patani dengan berpartisipasi dalam politik nasional dimulai sejak tahun 1976. Akan tetapi, usaha tersebut hingga tahun 1986 kurang berhasil. Kondisi itu menyadarkan para elit politik Melayu Patani untuk mendirikan Partai Politik.

Pada tanggal 3 Mei 1986, bertempat di Majelis Agama Islam Wilayah Patani, disepakati berdirinya Partai Politik Kaum Melayu yang diberi nama Wahdah.

Tujuan Partai Wahdah adalah :

1) membentuk perpaduan masyarakat Islam di seluruh Thailand;

2) menjaga hak dan kepentingan masyarakat Islam di seluruh negeri;

3) membangkitkan masyarakat Islam dalam aspek politik, ekonomi, pendidikan, dan kbmasyarakatan;

4) menanamkan kesadaran politik;

5) memperkenalkan sistem Islam terhadap masyarakat supaya dapat dipahami dan dihayati; dan 6) membangkitkan dan memajukan sistem demokrasi.

Antara tahun 1986-1992, Wahdah telah mendorong kaum muslim Patani untuk menyalurkan aspirasi politiknya melalui jalur parlemen. Usaha yang dilakukan Wahdah cukup berhasil. Hal ini terbukti dalam pemilu 1992, sebanyak 12 orang muslim meraih kursi di parlemen.

Dari 12 orang tersebut terdapat 2 orang muslim yang menduduki jabatan wakil menteri, yaitu Den Tuk Mina sebagai wakil Menteri Dalam Negeri, dan Surin Pitsuawan sebagai wakil Menteri Luar Negeri.

Implikasi dari banyaknya wakil muslim di kursi parlemen adalah semakin berkembang pula institusi Islam di wilayah Thailand Selatan secara bebas. Di antaranya adalah Majelis Agama Islam, Institusi Sosial. (Kebajikan) dan Pendidikan, dan Institusi Dakwah. Institusi ini mendorong perkembangan siar Islam di Thailand.

Pada tahun 1994 terdapat 2.347 masjid; sedangkan jumlah masjid di Thailand secara keseluruhan adalah 2.799 buah. Selain itu, kerja sama pendidikan dan ekonomi dengan organisasi-organisasi Islam internasional mulai dijalankan, di antaranya kerja sama dengan Rabithah Alam Islami, Islamic Development Bank (IDB), International Islamic Relief Organization (IRO), The Muslim World Committe, dan Asia Muslim Committe.

F. Singapura

Data ini diringkas dari Wikipedia: Free. Encyclopedia. Secara historis, sejak ditemukan oleh Sir Thomas Stamford Raffles dari British East India Company pada tahun 1819 hingga kemerdekaannya pada tahun 1965, perkembangan hukum Singapura sangat berhubungan erat dengan majikan kolonial Inggrisnya.

Seringkali, tradisi-tradisi hukum, kebiasaan-kebiasaan, kasus-kasus hukum, dan perundang-undangan menurut hukum Inggris diserap tanpa banyak pertimbangan apakah hal tersebut cocok dengan keadaan setempat Singapura.

Sistem hukum Singapura adalah hamparan permadani yang kaya dengan undang-undang, institusi-institusi, nilai-nilai, sejarah serta budaya. Layaknya sulaman permata Singapura, setiap helai sistem hukum itu dijalin bersama sedemikian sehingga membentuk kaleidoskop yurisprudensi dan diikat dengan identitas nasional yang unik.

Sistem hukum tersebut sudah tentu akan menyebabkan suatu tekanan, seperti tekanan yang dialami karena adanya perubahan-perubahan sosial-ekonomi dan politik-hukum yang timbul seiring dengan meningkatnya globalisasi dan regionalisasi.

Oleh karena itu, Singapura harus bereaksi dengan cepat dan tangkas dalam membuat undang-undang dan institusi-institusi baru, atau menyesuaikan undang-undang dan institusi-institusi yang sudah ada. Dalam hal ini, Singapura telah siap dan bersedia belajar dari perkembangan-perkembangan hukum yang terjadi di luar negeri, jika memiliki kesamaan aspirasi.

Kadang-kadang, cara-cara penyelesaian masalah yang sudah kuno harus diganti dengan ide-ide baru yang telah teruji dengan modifikasi-modifikasi yang tepat agar sesuai dengan keadaan setempat. Dalam proses adaptasi, belajar, dan perubahan berkesinambungan yang kadang-kadang sulit bagaimanapun, peranan sejarah tetap amat berguna sebagai petunjuk (meskipun tidak sempurna) menuju hukum Singapura yang sekarang dan di masa yang akan datang.

Dengan kemerdekaannya, kemudian secara bertahap dan terus meningkat, terjadilah pergerakan-pergerakan menuju perkembangan suatu sistem hukum lokal. Prinsip kuncinya adalah setiap penyerapan suatu praktik hukum atau norma harus sesuai dengan kondisi budaya, sosial, dan ekonomi Singapura.

Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa kesuksesan ekonomi Singapura didorong antara lain, faktor oleh kebijaksanaan kepemimpinan, penggunaan hukum dan sistem hukum dalam membangun masyarakat baru dan memastikan kelangsungan hidup ekonominya, sambil memastikan pula agar sistem hukum Singapura selaras dengan kebutuhan dan permintaan komunitas intemasional.

Sebagai kelanjutannya, terbentuklah suatu sketsa tonggak-tonggak bersejarah perkembangan konstitusional dan hukum Singapura. Awal abad ke-19, Singapura berada di bawah kekuasaan Sultan Johor, yang menetap di kepulauan Riau-Lingga.

Kombinasi tradisi Melayu dan hukum adat (yaitu hukum dan kebiasaan tradisional yang secara lokal berlaku di Indonesia dan Malaysia) telah membentuk dasar bagi sistem hukum awal yang berlaku bagi masyarakat nelayan pada waktu itu yang jumlahnya tidak lebih dari 200 orang.

29 Januari 1819: Pendirian Singapura modern oleh Raffles, yang pada saat itu menjabat Letnan-Gubernur Bengkulu. Raffles sanggup meramal ke depan dan menentukan bahwa Singapura merupakan lokasi yang strategis secara geopolitis.

Hal ini menjadikan Singapura sebagai titik kontrol yang sangat baik bagi Kerajaan Inggris untuk mengawasi gerbang masuk menuju Selat Malaka dan rute pelayaran utama antara Asia Selatan dan Asia Timur Laut. Secara cepat. Singapura telah ber-revolusi menjadi pelabuhan dagang yang penting.

30 Januari 1819: Raffles membuat suatu perjanjian awal dengan Temenggong Abdur Rahman, perwakilan Sultan Johor di Johor dan Singapura. untuk mendirikan suatu pusat perniagaan (trading factory) di Singapura.

6 Februari 1819: Suatu perjanjian formal dibuat antara Sultan Hussein dari Johor bersama Temenggong Abdur Rahman, masing-masing adalah penguasa de jure dan penguasa de facto Singapura waktu itu, untuk meresmikan perjanjian awal yang telah dibuat sebelumnya.

Raffles kemudian menetapkan Singapura sebagai bagian dari yurisdiksi Bengkulu, yang kemudian berada di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal di Calcutta, India.

Kurun waktu tahun 1819-1823, pemerintahan di Singapura berjalan dengan baik, Raffles menetapkan suatu kitab undang-undang yang dikenal dengan sebutan “Singapore Regulations” atau “Peraturan-peraturan Singapura” dan menetapkan suatu sistem hukum yang mendasar, namun bersifat fungsional dengan penerapan hukum yang seragam berlaku bagi Semua penduduk.

Maret 1824: Status Singapura sebagai daerah kekuasaan Inggris ditegaskan dalam Perjanjian Anglo-Belanda (Anglo-Dutch Treaty) dan Perjanjian Penyerahan Kekuasaan (Treaty of Cession). Belanda mencabut semua keberatannya terhadap pendudukan Inggris atas Singapura dan menyerahkan Malaka, sebagai ganti pelepasan penguasaan Inggris atas pabrik-pabrik di Bengkulu dan Sumatra kepada Belanda.

Kemudian, dalam tahun yang sama, perjanjian kedua dibuat dengan Sultan Hussein dan Temenggong Abdur Rahman, berdasarkan keputusan Kesultanan Johor untuk menyerahkan Singapura kepada Inggris sebagai ganti peningkatan pembayaran uang tunai dan pensiun.

27 November 1826: Piagam Keadilan Kedua (The Second Oumer of Justice) disetujui oleh parlemen Inggris atas petisi dari East India Company. Dalam Piagam tersebut ditetapkan pendirian Pengadilan Yudikatur (Court of Judicature) di pulau Milik Pangeran Wales-Penang, Singapura, dan Malaka, baik pengadilan perdata maupun pidana, yang sejajar dengan pengadilan-pengadilan sejenis di Inggris.

Singapura bersama-sama dengan Malaka dan Penang (dua daerah pendudukan Inggris lainnya di Semenanjung Melayu), kemudian menjadi daerah-daerah pendudukan di Selat (Straits Settlemen) pada tahun 1826, di bawah penguasaan India Britanika (British India).

Piagam tersebut tidak “acara eksplisit menyebutkan bahwa hukum inggris harus diterapkan di Singapura, namun diasumsikan bahwa Piagam tersebut telah nteletakkan dasar hukum bagi penerimaan secara umum hukum Inggris di Singapura.

Kasus hukum lokal sejak abad ke-l9, setelah kasus terkenal Willans (1858) di Penang, telah menyerap posisi hukum bahwa hukum inggris (baik common law maupun equity yang berlaku pada tahun 1826 maupun perundangan Inggris pra-1826) telah diperkenalkan kepada Singapura melalui The Second Charter of Justice.

Pada tahun 1833: Dengan adanya reorganisasi daerah-daerah yang dikuasai East India Company oleh Parlemen Inggris pada tahun 1833, Gubernur Jenderal India kemudian diberi wewenang untuk membuat peraturan perundangan yang berlaku bagi daerah-daerah pendudukan di Selat (Straits Settlements).

Pada masa ini, muncul suatu ketidakpuasan pada sistem hukum yang ada. Masyarakat bisnis lokal merasa tidak suka dengan kerangka yudisial yang dinilai tidak adil. dan membuat keadilan diperlakukan secara menyedihkan.

Pada tahun 1855: Atas petisi East India Company, Piagam Keadilan Ketiga (The Third Charter of Justice) disetujui oleh Parlemen Inggris untuk mempermudah penanganan pekerjaan di bidang hukum yang meningkat.

Namun demikian, Piagam Ketiga tidak berhasil memperbaiki keadaan. Dengan dibubarkannya East India Company pada tahun 1858, daerah-daerah pendudukan di Selat (Straits Settlements) dialihkan ke dalam kekuasaan pemerintah India. Namun, banyak suara tidak puas dari Straits Settlements yang diperintah di luar wilayah India, karena hal ini cenderung menimbulkan perasaan direndahkan, jika bukan diabaikan.

1 April 1867: Straits Settlements berubah menjadi Koloni Kerajaan (Crown Colony) di bawah yurisdiksi langsung Kantor Pemerintahan Kolonial (Colonial Office) di London. Pada tahun 1868: Mahkamah Agung untuk Straits Settlements didirikan, setelah dibubarkannya Pengadilan Yudikatur (Court of Judicature).

Pada tahun 1873, terjadi lagi reorganisasi lanjutan, yaitu dengan diberikannya kekuasaan kepada Mahkamah Agung untuk berfungsi sebagai Pengadilan Banding (Court of Appeal). Sebelumnya. upaya-upaya banding diajukan kepada Dewan Kerajaan (King-in-Council).

Pada tahun 1878, sebagai akibat dari perubahan yang terjadi pada sistem yudisial Inggris, pengadilan-pengadilan di Singapura turut direstrukturisasi sedemikian sehingga serupa dengan pengadilan-pengadilan di bawah Pengadilan Tinggi Inggris (English High Court). Pada tahun 1934: Pengadilan Banding Pidana (Court of Criminal Appeal) ditambahkan ke dalam struktur Mahkamah Agung.

Februari 1942 September 1945: Masa penjajahan Jepang atas Singapura. Nama “Singapura” diubah menjadi “Syonan” (Cahaya dari Selatan) dan dioperasikan di bawah pemerintahan militer Jepang. Akhir Perang Dunia II telah mengakibatkan Singapura berada di bawah pemerintahan sementara Pemerintah Militer Inggris (British Military Administration-BMA).

Setelah masa ini, kekuasaan imperial kemudian mendorong penentuan nasib sendiri dan dekolonisasi. Pada tahun 1946: daerah-daerah pendudukan di Selat (Straits Settlements) dibebaskan. Penang dan Malaka menjadi bagian dari Malayan Union pada tahun 1946 dan setelah itu menjadi Persekutuan Tanah Melayu (Federation of Malaya) pada tahun 1948.

Singapura dijadikan Koloni Kerajaan yang memiliki konstitusi sendiri. Kekuasaan sesungguhnya untuk memerintah dan membuat peraturan berada di tangan gubernur dan pejabat-pejabat kolonial dengan sedikit porsi partisipasi dan perwakilan lokal, melalui pemilihan perwakilan terbatas di Dewan Legislatif (Legislative Council). Pemilihan perwakilan yang pertama dilakukan pada tahun 1948.

Pada tahun 1948-1960: Masa darurat. Pemerintah di Singapura dan Malaya (yang pada tahun 1957 menjadi Malaysia) mengawasi dengan ketat Partai Komunis (Communist Party of Malaya), yang telah mendeklarasikan tujuan mereka untuk mengambil alih Malaya dan Singapura dengan cara 'kekerasan. Peraturan-peraturan yang amat keras, (seperti penjara tanpa proses pengadilan) telah ditetapkan sebagai upaya mengendalikan kegiatankegiatan frontal komunis bersatu.

Pada tahun 1953: Suatu Komite Konstitusional (Constitution Commission), yang dipimpin oleh Sir George Rendel (Rendel Comission) didirikan untuk menelaah konstitusi negara koloni dan untuk meningkatkan partisipasi publik dalam hal penatakelolaan sendiri (self-governance).

Pemerintah menerima hampir semua laporan komite termasuk transformasi Dewan Legislatif (Legislative Council) menjadi suatu dewan (chamber) yang terdiri atas para anggota yang dipilih secara langsung.

Bagaimanapun, kekuasaan yang sesungguhnya masih berada di tangan gubernur dan pejabat-pejabat anggota Dewan Menteri (Council of Ministers) dan bukan pada anggota dewan terpilih tadi sehingga pada masa ini, Progressive Parry merupakan partai politik unggul di Singapura yang telah memenang. kan pemilihan anggota Dewan Legislatif (Legislative Council) pada tahun 1948 dan 1951.

Pada tahun 1955: Dalam pemilihan anggota Majelis Legislatif (Legislative Assembly) yang pertama, partai Labour Front -yang dipimpin oleh David Saul Marshallberhasil menggantikan posisi Progressive Parry sebagai partai pemenang pemilihan, dengan memenangkan 10 dari 25 kursi.

People's Action Party (seranjutnya disebut “PAP”), yang didirikan pada tahun yang sama. memenangkan 3 kursi. Marshall kemudian dijadikan Menteri Kepala (Chief Minister) yang kemudian bersikeras untuk mempercepat gerakan menuju pemerintahan sendiri.

Pembicaraan konstitusional mengenai pemerintahan sendiri dimulai pada tahun 1956 di London, dengan misi tanpa pendukung (non-partisan mission) yang terdiri atas perwakilan-perwakilan seluruh partai dalam majelis.

Pada tahun 1956: Marshall mengundurkan diri pada tanggal 6 Juni dari kedudukannya sebagai Menteri Kepala setelah kegagalannya dalam pembicaraan-pembicaraan konstitusional mengenai apakah Komisaris Tinggi Inggris (British High Commissioner) di Singapura memiliki hak suara atas Dewan Pertahanan (Defence Council) yang diusulkan. Lim Yew Hock, wakil Marshall dan Menteri Perburuhan, kemudian menggantikannya menjadi Menteri Kepala (Chief Minister).

Lim memimpin Misi Konstitusional pada bulan Maret 1957, dan berhasil menegosiasikan ketentuan-ketentuan utama Konstitusi Singapura (Singapore Constitution) yang baru.

Pada tahun 1958: Perjanjian Konstitusional (The ConstitutionalAgreement) ditandatangani di London. Parlemen Inggris mengesahkan undang-undang tentang Negara Singapura (The State of Singapore Act) pada tanggal 1 Agustus, yang menandai transisi Singapura dari negara koloni menjadi negara yang mengatur dirinya sendiri pada tahun 1959.

Pada tahun 1959: Partai PAP memenangkan 43 kursi, meraih 53.4% dari total suara, dalam pemilihan 51 perwakilan anggota Majelis Legislatif (Legislative Assembly) yang untuk pertama kalinya dipilih secara penuh.

Pada tanggal 3 Juni, Konstitusi Negara (State Constitution) baru diberlakukan berdasarkan Proklamasi Gubernur Sir William Geode, yang menjadi Kepala Negara Singapura pertama. Adapun Lee Kuan Yew menjadi Perdana Menteri Singapura pertama.

Peristiwa ini menandakan titik kulminasi perjalanan menuju pemerintahan sendiri dan merupakan awal dari perjalanan sulit menuju kemerdekaan melalui penggabungan dengan Malaysia.

Pada tahun 1961: Perdana Menteri Malaya, Tunku Abdur Rahman, mengusulkan kerja sama politik dan ekonomi yang lebih erat di antara Persekutuan Tanah Melayu (Federation of Malaya), Singapura, Sarawak, Borneo Utara, dan Brunei, melalui suatu penggabungan.

Partai PAP lebih memilih penggabungan dengan Persekutuan Tanah Melayu (Federation of Malaya) dengan alasan demi kelangsungan perekonomian dan sebagai cara untuk mencapai kemerdekaan politik dari Inggris. Para pendukung kaum komunis memandang usulan ini sebagai suatu skenario imperialis.

Pada tahun 1962-1963: Dilakukan suatu referendum untuk menentukan ketentuan-ketentuan penggabungan dan rencana penggabungan PAP disetujui. Ketentuan utama penggabungan menetapkan bahwa pemerintah federal di Kuala Lumpur bertanggung jawab untuk bidang pertahanan, urusan luar negeri, dan keamanan dalam negeri. Namun, ditetapkan pula tentang otonomi lokal atas bidang keuangan, pendidikan, dan perburuhan: Singapura juga diharuskan memiliki pemerintahan negara sendiri.

Pada tahun 1963: Penggabungan Malaysia -yang terdiri atas Persekutuan Tanah Melayu (Federation of Malaya), Singapura, Sarawak, dan Borneo Utara (sekarang Sabah)dibentuk. Indonesia dan Filipina menentang penggabungan ini. Presiden Indonesia, Soekarno, meluncurkan kampanye keras konfrontasi melawan Malaysia.

Dengan penggabungan tersebut, sistem pengadilan Singapura menjadi bagian dari sistem pengadilan Malaysia. Mahkamah Agung Singapura diganti dengan Pengadilan Tinggi Malaysia di Singapura. Instansi pengadilan banding terakhir adalah Pengadilan Federal (Federal Court) di Kuala Lumpur.

Pada tahun 1965: Dalam waktu dua tahun sejak penggabungan, kesatuan itu gagal karena berbagai alasan, mulai politik rasial Malaysia sampai pertengkaran pribadi. Kesemuanya ini, ditambah dengan ancaman dan ledakan kekerasan rasial serta ancaman komunis yang sekalipun telah berkurang, telah memicu pemisahan Singapura dari Malaysia pada tanggal 9 Agustus.

Perjanjian tentang Kemerdekaan Singapura (The Independence of Singapore) tanggal 9 Agustus 1965 mendeklarasikan, "… Singapura akan selamanya merupakan negara demokratis yang berdaulat dan merdeka yang didirikan berdasarkan prinsip-prinsip kemerdekaan, keadilan, dan berusaha mencapai kesejahteraan serta kebahagiaan bagi warga negaranya dalam masyarakat yang lebih adil dan setara.“

Pada tahun 1965: Yusof bin Ishak terpilih sebagai Presiden Singapura pertama pada tanggal 22 Desember 1965. Pada tanggal yang sama, Parlemen Singapuramenyelesaikan penyusunan “tata tertib prosedur dan formalitas konstitusional dan hukum" agar selaras dengan status Singapura sebagai negara merdeka, termasuk membereskan anomali Pengadilan Tinggi Singapura yang merupakan bagian dari sistem yudikatif Malaysia.

Komite konstitusional kedua kemudian dibentuk, dipimpin oleh Hakim Kepala Wee Chong Jin, untuk menelaah bagaimana hak-hak golongan minoritas (tentang ras, bahasa, dan agama) dapat secara konstitusional dilindungi.

Dalam laporannya pada tahun 1966, Komite Wee (Wee Commission) merekomendasikan ditetapkannya ketentuan-ketentuan konstitusional mengenai kemerdekaan fundamental, badan yudikatif, badan legislatif, "pemilihan umum, hak-hak minoritas, kedudukan khusus orang Melayu, dan prosedur-prosedur perubahan (dalam hal ini, untuk mengubah ketentuan-ketentuan tersebut diperlukan proses (persetujuan) dua tahap: 2/3 mayoritas suara di parlemen dan diikuti dengan 2/3 mayoritas suara pada referendum nasional).

Satu rekomendasi yang diterima adalah dibentuknya Dewan Negara (State Council), yaitu suatu badan penasihat yang mengusulkan nasihat-nasihat kepada parlemen mengenai suatu peraturan yang sedang diajukan dan dampaknya terhadap golongan minoritas. Badan ini sekarang dikenal dengan nama Dewan Kepresidenan untuk Bidang Hak-hak Minoritas (Presidential Council for Minority Rights).

Pada tahun 1970-an dan 1980-an Singapura merasakan kemudahan secara implisit karena telah mewarisi tradisi, kebiasaan, dan hukum Inggris. Dorongan untuk menciptakan sistem hukum sendiri telah meningkatkan momentum pada akhir tahun 1980-an dan dipercepat dengan pengangkatan Hakim Kepala Yang Pung How pada bulan September 1990 yang masih menjabat hingga saat ini.

Peristiwa ini bersamaan dengan masa penyusunan kembali secara konstitusional dan intensif untuk mengembangkan sistem. pemerintahan dan parlemen sendiri milik Singapura. Ditinggalkannya sistem parlemen yang terinspirasi gaya Westminster telah dibuktikan melalui inovasi-inovasi, yang diupayakan untuk mengatasi keadaan politik yang unik di Singapura.

Pada tahun 1979: Ketentuan-ketentuan konstitusional dibuat untuk membentuk Komisaris Yudisial (Judicial Commissioners) yang berfungsi memfasilitasi penyelesaian perkara di Mahkamah Agung untuk suatu waktu yang terbatas dapat diperbaharui, yaitu antara 6 bulan sampai 3 tahun.

Komisaris Yudisial juga dapat ditunjuk untuk memeriksa dan memutuskan suatu kasus tertentu. Komisaris Yudisial melaksanakan wewenang dan fungsi yang sama dengan Hakim Pengadilan Tinggi (High Coun Justice) dan memiliki imunitas, seperti yang dimiliki Hakim Pengadilan Tinggi, kecuali dalam hal tidak ada jaminan tentang jangka waktu masa jabatan.

Sebelumnya, pada tahun 1971, Konstitusi Singapura telah diubah sedemikian rupa agar mengizinkan pengangkatan hakim-hakim tambahan, sehingga memungkinkan para Hakim Pengadilan Tinggi, yang seharusnya sudah pensiun pada usia 65 tahun, tetap duduk di kursi hakim untuk masa jabatan yang lebih panjang berdasarkan suatu kontrak.

Pada tahun 1993: Penghapusan semua upaya banding ke Dewan Penasihat (Privy Council) (pada 1989, upaya-upaya banding ke Privy Council dilarang keras). Suatu Pengadilan Banding ( Court of Appeal) yang permanen, dipimpin oleh Hakim Kepala (Chief Justice) dan dua Hakim Banding (Justices of Appeal), ditetapkan sebagai pengadilan tertinggi Singapura.

Pada bulan November 1993, Undang-undang tentang Penetapan Hukum Inggris (The Application of English Law Act; Cap 7A, 1.994 Rev. Ed.) diberlakukan dan menentukan sejauh mana hukum Inggris dapat diterapkan di Singapura.

Pada tahun 1994: Suatu Pernyataan Praktik tentang Presiden Yudisial (The Practice Statement on Judicial Precedent) yang pem ing menyatakan bahwa keputusan-keputusan pengadilan Singapura terdahulu, yaitu Dewan Penasihat (Privy Council), demikian juga keputusan-keputusan Pengadilan Banding (Court of Appeal) yang dikeluarkan sebelumnya tidak lagi mengikat Pengadilan Banding Permanen.

The Practice Statement memberikan alasan bahwa “pembangunan hukum kita harus menunjukkan perubahan-perubahan ini (bahwa keadaan politik, sosial, dan ekonomi telah mengalami perubahan sangat besar sejak kemerdekaan Singapura) serta menunjukkan nilai-nilai fundamental masyarakat Singapura.

Kepercayaan diri yang meningkat dalam pertumbuhan kedewasaan. kedudukan sistem hukum Singapura di dunia internasional, serta kekhawatiran bahwa hubungan Inggris yang meningkat dengan Uni Eropa akan mengakibatkan hukum Inggris menjadi tidak cocok lagi dengan perkembangan dan aspirasi dalam negeri (Singapura), telah memberikan dorongan untuk upaya-upaya pembentukan hukum sendiri.

Sebelum diundangkannya undang-undang tentang Penerapan Hukum Inggris (The Application of English Law Act; Cap 7A, 1994 Rev. Ed.).

Piagam Keadilan Kedua (The Second Charter of Justice) menetapkan dasar hukum bagi penerimaan secara umum prinsip-prinsip dan aturanaturan hukum Inggris (Common Law and Equity) dan undang-undang Inggris pra-1826 di Singapura, dengan syarat harus memperhatikan kecocokan dan modifikasi sesuai kebutuhan dalam negeri.

Namun, kesulitannya adalah tidak seorang pun tahu dengan pasti yang manakah dari undang-undang Inggris tersebut yang diterapkan di sini (bahkan undang-undang yang di Inggris telah dicabut).

Permasalahan ini menunjukkan dengan jelas penerimaan hukum Inggris secara spesifik berdasarkan Section 5 (sekarang sudah dicabut) dari undang-undang tentang Hukum Perdata (The Civil Law Act; Cap 43, 1988 Rev. Ed.) yang menetapkan bahwa jika ada suatu pertanyaan atau masalah yang timbul di Singapura mengenai kategori hukum tertentu atau tentang hukum yang menyangkut perdagangan secara umum, hukum yang diterapkan adalah hukum yang sama yang diterapkan di Inggris pada kurun waktu yang sama pula, kecuali jika terdapat ketentuan lain berdasarkan suatu hukum yang berlaku di Singapura sampai dengan dicabut pada tahun 1993.

Hal ini merupakan ketentuan penerimaan yang penting dalam kitab undang-undang Singapura. Pencabutannya juga telah menghapus banyak ketidakpastian dan keadaan tidak memuaskan yang timbul dari suatu negara berdaulat, yang hingga kini sangat bergantung pada hukum dari bekas negara penjajahnya.

Undang-undang tentang Penerapan Hukum Inggris (The Application of the English Law Act) menetapkan bahwa common law Inggris (termasuk prinsip-prinsip dan aturan-aturan tentang keadilan), sepanjang masih menjadi bagian dari hukum Singapura sebelum 12 November 1993, tetap menjadi bagian dari hukum Singapura.

Section 3 dari undang-undang tersebut menetapkan bahwa common law akan tetap berlaku di Singapura sepanjang hal tersebut dapat diterapkan pada keadaan-keadaan di Singapura dan harus dimodifikasi jika keadaan khusus di Singapura mengharuskannya.

Section 4, dibaca bersamaan dengan the First Schedule, menentukan pengundangan peraturan-peraturan Inggris (baik seluruhnya maupun sebagian), dengan modifikasi yang diperlukan, yang diberlakukan atau terus diberlakukan di Singapura.

Section 7 menetapkan berbagai perubahan pada undang-undang dalam negeri, dengan memasukkan peraturan hukum Inggris yang relevan.

Common law adalah sehelai benang penting dari lembar kain politikhukum Singapura. Singapura telah mewarisi tradisi common law Inggris sehingga telah menikmati manfaat-manfaat kestabilan, kepastian. dan internasionalisasi yang inheren dalam sistem inggris (khususnya dalam bidang komersial/perdagangan).

Singapura memiliki akar common law inggris yang sama dengan yang dimiliki negara negara tetangganya (seperti india. Malaysia. Brunei. dan Myanmar), walaupun detail penerapan dan pelaksanaan dari tiap-tiap negara berbeda sesuai dengan kebutuhan dan kebijakan setiap negara.

Pada intinya. sistem hukum common law Singapura dicirikan dari doktrin preseden yudisial (Store Decisis). Berdasarkan doktrin ini, hukum dibangun dan dikembangkan oleh para hakim melalui aplikasi prinsipprinsip hukum pada fakta-fakta dari kasus-kasus tertentu.

Dalam hal ini, para hakim hanya diwajibkan untuk menerapkan ratio decidendi (atau alasan yang memengaruhi diambilnya suatu keputusan) dari pengadilan yang tingkatnya lebih tinggi dalam hierarki yang sama.

Jadi, di Singapura ratio decidendi yang terdapat dalam keputusan-keputusan Pengadilan Banding Singapura (Singapore Court of Appeal) secara ketat mengikat Pengadilan Tinggi Singapura (Singapore High Court), Pengadilan Negeri (District Court), dan Pengadilan Magistrat (Magistrate 's Court).

Di pihak lain, keputusan-keputusan pengadilan Inggris dan negara-negara Persemakmuran lainnya tidak secara ketat mengikat Singapura. Pernyataan-pernyataan yudisial lainnya (obiter dicta) yang dibuat dalam keputusan pengadilan yang lebih tinggi tingkatannya, yang tidak secara langsung memengaruhi hasil akhir suatu kasus. dapat diabaikan oleh pengadilan yang lebih rendah tingkatannya.

Pengadilan yang lebih rendah tingkatannya, dalam beberapa kasus, dapat menghindarkan diri dari keharusan menerapkan ratio decidendi dari keputusan pengadilan yang lebih tinggi yang dikeluarkan sebelumnya, jika: a) pengadilan tersebut dapat membedakan secara material fakta-fakta kasus yang dibawa ke hadapannya dengan fakta-fakta dari keputusan yang sebelumnya pernah diambil oleh pengadilan yang lebih tinggi atau b) keputusan pengadilan yang lebih tinggi tersebut memang dibuat secara per incuriam, (yaitu tanpa menghiraukan doktrin stare dicisis).

Pengaruh besar dari hukum common law Inggris pada perkembangan hukum Singapura secara umum lebih terbukti dari beberapa bidang common law tradisional, seperti perjanjian (Contract), Perbuatan Melawan Hukum (Tort), dan restitusi (Restitution) daripada bidang-bidang lain yang didasarkan pada undang-undang, (seperti Hukum Pidana (Criminal Law),Hukum Perusahaan (Company Law), dan Hukum Pembuktian (Law of Evidence). 

Mengenai bidang-bidang yang didasarkan pada undang-undang ini, negara-negara lain, seperti India dan Australia sangat memengaruhi dari segi pendekatan dan isi dari beberapa undang-undang Singapura tersebur. 

Namun, akhir-akhir ini tendensi pengadilan di Singapura yang sebelumnya selalu mengindahkan keputusan-keputusan Inggris telah secara signifikan beralih pada ditinggalkannya pengadilan-pengadilan Inggris tersebut, (bahkan untuk bidang-bidang tradisional common law). 

Bahkan, saat ini terdapat pengakuan yang lebih besar pada yurisprudensiJokal di dalam perkembangan common law di Singapura. Dua contoh yang terjadi ham-baru ini memberikan gambaran yang cukup jelas tentang hasrat Singapura mengembangkan sistem dan badan hukum sendiri. 

Dalam bidang perbuatan melawan hukum (tons), pengadilanpengadilan Singapura telah secara sadar menyimpang dari exclusionary rule dalam kasus Inggris Murphy vs Pengadilan Negeri Brentford (1991) sehingga memungkinkan pemulihan kerugian secara ekonomi yang timbul dari tindakan kelalaian (negligent acts) atau kegagalan melakukan sesuatu (omissions) berdasarkan kasus Arms vs Merton (1978). 

Dalam kasus yang baru-baru ini terjadi, dalam bidang hukum perjanjian, yaitu kasus Gwee Kin Keong vs Digilandmall.com ptc Ltd (2005) di Pengadilan Banding Singapura (Singapore Court of Appeal), pengadilan tersebut telah memilih untuk tidak mengadopsi pendapat dalam putusan Pengadilan Banding Inggris (the English Court of Appeal) dalam kasus Great Peace Shipping Ud vs Tsavliris Salvage (International) Ltd (2002) mengenai yurisdiksi yang adil (Equity Jurisdiction) dalam hal terjadi kesalahan unilateral, Kebutuhan untuk memiliki sistem hukum sendiri secara lebih jauh telah didorong oleh adanya perkembangan-perkembangan hukum Uni Eropa dan dampaknya bagi sistem Inggris.

Sistem common law di Singapura mengandung perbedaan yang material dengan sistem hukum di beberapa negara Asia lainnya yang telah dipengaruhi oleh tradisi sistem civil law (seperti RRC, Vietnam, dan Thailand) atau negara-negara yang sistem hukumnya merupakan campuran dari sistem civil law dan common law (misalnya Filipina). 

Pertama-tama, sistem civil law tidak terlalu mengandalkan diri pada putusan pengadilan yang telah ada sebelumnya dan tidak tunduk pada doktrin stare decisis. Pengadilan-pengadilan common law, seperti di Singapura pada umumnya mengambil pendekatan yang berlawanan (adversarial approach) di dalam proses litigasi antara para pihak yang bersengketa, sedangkan hakim dari sistem civil law bertendensi untuk mengambil peran yang lebih aktif untuk menemukan bukti dalam memutuskan perkara yang dihadapinya. 

Kemudian, dalam sistem common law, banyak prinsip hukum yang telah dikembangkan oleh para hakim, sedangkan hakim dalam sistem civil law lebih mengandalkan kitab undang-undang yang umum dan lengkap yang mengatur berbagai bidang hukum. 

Akan tetapi, perbedaan antara sistem hukum common law dan civil law sekarang tidak begitu jelas dibandingkan dengan masa lampau. Yurisdiksi common law, misalnya, mulai membuat peraturan-peraturan untuk mengisi kesenjangan yang terjadi di dalam sistem common law. 

Dalam hal ini, Singapura baru-baru ini telah mengundangkan berbagai undang-undang untuk mengatur berbagai bidang hukum tertentu, misalnya Contract Rights of Third Parties Act 2001 (Cap 53B, 2002 Rev. Ed.), Competition Act 2004 (No 46 of 2004), dan Consumer Protection (Fair Trading Act) (Cap 52A, 2004 Rev. Ed.).

Menurut Undang-undang Hukum Perdata Singapura (Singapore Civil Law Act, Cap 43, 1999 Rev. Ed.), pengadilan-pengadilan Singapura diberi wewenang untuk menjalankan common law dan equity secara bersamaan. Dampak praktisnya adalah penggugat dapat mencari upaya-upaya hukum secara common law (ganti rugi/damages) dan secara equity (termasuk Putusan Sela/Injunctions dan Pelaksanaan Janji Tertentu/Specific Pejormance) dalam persidangan yang sama dan di hadapan pengadilan yang sama pula. 

Meskipun telah ada penghapusan pemisahan common lawequity, prinsip equity memegang peran yang bersifat menentukan, dalam perkembangan doktrin-doktrin tertentu dalam hukum perjanjian, termasuk doktrin Undue Influence dan Promissory Estoppel . 

Di samping common law dan equity, Pengadilan Syariah (Syariah Court) juga telah menerapkan atau menjalankan hukum Islam untuk menangani masalah-masalah hukum tertentu mengenai perkawinan, perceraian, pembatalan perkawinan, dan perpisahan yudisial di bawah Undang-undang Administrasi Hukum Islam (the Admintration of Muslim Law Act AMLA, Cap 3, 1999 Rev. Ed.) yang berlaku untuk penduduk muslim atau para pihak yang menikah berdasarkan hukum Islam (walaupun Pengadilan Tinggi/High Court mempunyai yurisdiksi yang setara dengan Pengadilan Syariah/Syariah Court untuk masalah-masalah tertentu yang berhubungan dengan pemeliharaan/maintenance, pengasuhan/ custody, dan pemisahan harta/division of property). 

Untuk bidang waris/ inheritance dan suksesi/surcession. AMLA secara tegas menerima teksteks Islami tertentu sebagai bukti dalam hukum islam. 

Dorongan untuk menuju kemandirian hukum (legal aumchthony) terus berkelanjutan dan inovasi-inovasi hukum pun demikian. dalam upaya yang takkan pernah padam menuju sistem hukum yang efektif dan efisien sesuai dengan keadilan yang berdasarkan prinsip fairness, equity and impartiality. 

Agar sistem hukum Singapura dapat memelihara relevansinya, diperlukan adanya movasi-inovasi hukum. inovasi tersebut didasarkan atas kecocokannya dengan kebutuhan dan kondisi lokal Singapura. 

Dengan perdagangan dan investasi sebagai denyut nadi utama ekonomi Singapura, sistem hukum Singapura harus secara berkelanjutan memberikan perlindungan yang memadai kepada semua pihak dan memberi inspirasi kepercayaan dalam komunitas bisnis internasional.

Pemerintah Singapura mengakui pentingnya hukum dalam memelihara ketertiban politik dan sosial, serta dalam mewujudkan situasi yang kondusif untuk kegiatan-kegiatan ekonomi di Singapura. Mentang. hukum dipandang sebagai suatu nilai ekonomi fundamental, yang harus dibina dan diikat secara hati-hati untuk meningkatkan aspirasi Singapura sebagai pusat bisnis secara total. 

Meskipun terdapat kritik-kritik yang menyatakan bahwa rezim hak-hak asasi manusia serta perlindungan hukum bagi individu-individu tidak seiring dengan rezim hukum untuk kegiatan ekonomi, kesuksesan pemerintah Singapura dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi telah melegitimasi dan menumbuhkan kepercayaan sedemikian rupa, sehingga negara dan masyarakatnya lebih memilih peraturan yang keras, disiplin sosial. dan rendahnya tingkat insiden korupsi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari prinsip tata kelola yang baik (good governance).

Selain itu, keberadaan hukum islam di Singapura tidak bisa terlepas dari peran umat Islam yang ada di negara tersebut. Disebabkan oleh kebutuhan hukum Islam secara formal, umat Islam Singapura berusaha keras untuk mendekati pemerintah Singapura agar mengesahkan suatu undang-undang yang mengatur Hukum Personal dan Keluarga Islam. 

Upaya ini ditempuh melalui perwakilan, baik secara individu maupun melalui organisasi muslim, yang bekerja selama bertahun-tahun dan baru pada tahun 1966 pemerintah mengeluarkan rancangan undangundang parlemen dan menerima UU Administrasi Hukum Islam 1966 (the Administration of Muslim Law Act 1966). 

Sebelum rancangan undangundang tersebut diterima, umat Islam dari berbagai suku dan madzhab diberi kesempatan untuk membuat perwakilan dan diminta untuk menghadap Komite Pemilihan Parlemen untuk mengungkapkan pandangannya terhadap UU tersebut. 

Setelah rancangan tersebut diterima dan UU Administrasi Hukum Islam 1966 diberlakukan, UU tersebut kemudian mengalami beberapa kali amandemen sesuai dengan rekomendasi yang diajukan oleh Dewan Agama Islam yang digariskan oleh UU itu sendiri. 

Setelah itu, juga ditambahkan beberapa ordonansi ke dalamnya. UU Administrasi Hukum Islam (AMLA) merupakan pengundangan Hukum Islam. Namun demikian, administrasi ini bukanlah Hukum Islam itu sendiri. Akta ini memberikan ruang yang fleksibel bagi Dewan Agama Islam, Pengadilan Agama, dan Pencatat Perkawinan Islam dalam menerapkan hukum syariat.

AMLA menggariskan bahwa orang yang ingin menikah harus sudah mencapai umur 16 tahun. Hal ini mengingat bahwa perkawinan merupakan suatu komitmen untuk bertanggung jawab yang membutuhkan kematangan fisik serta mental. 

Meskipun demikian, bila ada permohonan pernikahan oleh orang yang belum mencapai umur 16 tahun, pengadilan agama dalam situasi tertentudapat mengabulkan permintaan tersebut bila memang yang memohon sudah dewasa (bulugh, baligh). (Vide AMLA Bagian 90 (4)). 

Untuk mempermudah proses administrasi, seluruh permohonan pernikahan harus dibuat sebelumnya dan ditulis di atas lembaran yang telah ditentukan. Seluruh data yang terkumpul akan dimasukkan ke dalam komputer untuk dijadikan catatan dan keperluan kantor yang lain. 

Sistem pendaftaran juga merupakan kesempatan untuk menerapkan sistem yang telah dicanangkan, sehingga para pemohon hanya akan dilayani jika mereka mendaftarkan diri pada Registrasi Perkawinan Islam. 

Setiap pasangan yang akan menikah akan diwawancarai terlebih dahulu untuk mengetahui latar belakang serta pengetahuan agama mereka. Bagi mereka yang memiliki sedikit pengetahuan agama disarankan untuk mengikuti kursus agama sebelum upacara pernikahan dilaksanakan. 

Kursus seperti ini dibimbing oleh para konsultan perkawinan yang mengajar di berbagai masjid di Singapura. Para konsultan perkawinan ini telah terlebih dahulu ditatar oleh Lembaga Pencatat Perkawinan Islam, Pengadilan Agama, dan Kementerian Pembangunan Masyarakat. 

Lebih dari itu, pasangan muda yang akan menikah juga disarankan untuk mengikuti kursus dan membicarakan persoalan perkawinan dengan para konsultan yang disediakan oleh berbagai masjid dan organisasi Islam; dengan cara ini diharapkan akan dicapai kehidupan perkawinan yang harmonis bagi pasangan tersebut. Penataran perkawinan seperti ini mulai diadakan sejak tahun 1969 dan jumlah keseluruhan peserta tahun 1984/ 1985 diperkirakan lebih dari 8.000 pasangan calon pengantin. 

AMLA juga mengharuskan suami yang ingin menikah lebih dari satu untuk membuat permohonan khusus yang menyatakan alasan-alasannya serta membuat pernyataan yang menunjukkan kesanggupannya untuk menghidupi dua istri atau lebih (Vide AMLA Bagian 90 (2)). 

Di samping aturan-aturan yang disebutkan di atas, seluruh aturan yang menyangkut perkawinan Islam lainnya tetap sesuai dengan hukum Islam (fiqh). Demikian, perkembangan Islam yang terjadi di Singapura, perlahan tapi pasti, ia meniru pola Malaysia.

G. Brunei

Perkembangan Islam di Brunei tidak bisa terlepas dari Indonesia-yang mayoritas bermadzhab Syafi'i. Hal itu terlihat dari madzhab resmi negara tersebut, yaitu madzhab Syafi'i. Pengaruh yang nyata terhadap negara Brunei adalah perkembangan Islam yang terjadi di Kalimantan sebagai dijelaskan di awal. 

Bagi muslim Brunei, hukum Islam sangat berpengaruh, terutama hukum keluarga yang bersumber pada madzhab Syafi'i (tiga madzhab sunni lainnya setelah disetujui oleh sultan, tradisi kuno, dan tradisi Melayu). Selain itu, secara fakta sejarah, negara Brunei adalah jajahan Inggris yang memberikan pengaruh besar terhadap konstitusi hukum di negara tersebut. 

Hal itu terbukti dari konstitusi negara yang dibuat pada tahun 1959 dipengaruhi oleh Inggris dengan sistem common law, terutama sistem peradilan yang mengadopsi sistem inggris sejak tahun 1955. Pengaruh itu tidak hanya pada konstitusi negara, tetapi pada konstitusi atau undang-undang hukum islam sampai Brunei merdeka secara penuh dari Inggris pada tahun 1984. 

Hal itu terungkap dalam Wikipedia: Free Encyclopedia. bahwa : 

“Selama kurun waktu abad ke-5 dan ke-16, negara Brunei menguasai kepulauan Borneo dan beberapa pulau Kalimantan dan Filipina. Ekspansi Eropa yang datang dari Spanyol dan Belanda, sejak abad ke-16 mencaplok sebagian wilayah Brunei. Pada abad ke-19, Brunei mencari bantuan ke Inggris dalam mempertahankan sebagian wilayah tersebut. Sampai akhirnya, beberapa bagian negara Brunei dikuasai dan diatur oleh Inggris yang diforrnalkan pada tahun 1906. Konstitusi negara ditegakkan pada tahun 1959 yang memberikan izin pengaturan secara internal dan menetapkan lembaga legislatif yang diatur oleh Inggris. Persetujuan berakhir pada tahun 1971 bahwa Brunei bebas dari protokoler Inggris sampai negara tersebut merdeka pada tahun 1984.” 

Meskipun demikian, ketentuan hukum Islam yang mulai diundangkan pada tahun 1912 antara Brunei dan Inggris dengan nama The Mohammedan Laws Enactment 1912, didasarkan pada kedua tradisi negara tersebut dan hukum Islam. Perundangan ini meliputi aspek hukum keluarga dan kriminal dan yurisdiksi hakim. 

Selanjutnya, diikuti dengan The Mohammedan Marriage and Divorce Enactmen 1913 yang mengatur tentang pendaftaran perkawinan dan perceraian melalui hakim pengadilan. Kedua undang-undang tersebut tidak berlaku lagi diganti dengan The Brunei Religious Councils, Kamis Courts and State Custom Enactmen I955 dan beberapa perubahannya sampai sekarang.

H. Perkembangan Islam di Asia Tenggara

Islam yang disebarkan di kawasan Asia Tenggara telah lengkap dengan berbagai aliran kalam, quh, tasawuf, dan tarekat yang dikembangkan oleh ulama sebelumnya. Oleh karena itu, terdapat dua kecenderungan umat Islam ketika itu. 

Pertama, golongan tradisional yang mengikatkan diri pada madzhab atau aliran tertentu dan kedua, golongan modernis yang menganggap bahwa kemunduran Islam karena pelaksanaan ajaran yang sudah tidak murni lagi.

Pembaharuan yang terjadi di dunia Islam yang dipelopori oleh ulama modernis di berbagai negara, yaitu Muhammad Ibn Abd Al-Wahab di Saudi Arabia, Jamaludin Al-Afgani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha di Mesir-berdampak ke Indonesia bersamaan dengan kembalinya Haji Miskin (1802) setelah melakukan ibadah haji dari Mekah. 

Pembaharuan pemahaman agama Islam ditujukan untuk: 

a) menyucikan Islam dari pengaruh bid'ah; 

b) pendidikan yang lebih tinggi bagi umat Islam; 

c) pembaharuan rumusan ajaran Islam menurut alam pikiran modern; dan 

d) pembelaan Islam terhadap pengaruh barat dan Kristen. 

Gerakan pembaharuan di Sumatra Barat dipelopori oleh tiga ulama, yaitu Haji Miskin, Haji Piabang, dan Haji Sumanik. Mereka menyebarkan paham Wahabi; menentang adat. dan hal-hal yang dipandang bid'ah; dan membentuk Hariman nan Salapan. 

Persatuan ini mendapat tantangan dari golongan adat dan para penentangnya meminta bantuan Belanda. Oleh karena itu, timbullah perang Paderi (1821-1837). Gerakan ini meskipun kalah dalam perang melawan Belandadianggap sebagai pemicu lahirnya gerakan pembaharuan berikutnya. 

Syekh Ahmad Khatib Minangkabau memiliki sejumlah murid yang terkenal di Indonesia. Di antara mereka adalah :
  • Syekh Tahir Ialaluddiri. Ia lahir di Bukittinggi (1869); menetap di Malaya setelah kembali dari Mekah (1900);'kembali ke Minangkabau (1923); dan pada tahun 1927, ia ditahan Belanda dan tidak pernah kembali ke daerahnya. Ia mendirikan Sekolah Al-Iqbal Al-lslamiyah di Singapura (1908) dan menerbitkan majalah bulanan, Al-Imam. Dalam majalah ini, sering dikutip pendapat Muhammad Abduh yang diambil dari majalah Al-Manar yang diterbitkan di Mesir. Majalah AlImam dijadikan media untuk menyerang tarekat dan mengeluarkan fatwa dengan bersandar langsung pada Al-Quran dan Al-Hadis. 
  • Syekh Muhammad Djamil Djambek. Lahir di Bukittinggi (1860) dan belajar di Mekah selama 9 tahun; kemudian kembali ke Bukittinggi dan mengajar agama di sana. ia sangat mengkritik tarekat dan ia lebih dikenal sebagai ahli ilmu falak. 1a mendirikan surau Inyik Djambek (pusat kegiatan pembelajaran agama) dan Tsamaratul Ikhwan (organisasi sosial) yang kemudian berubah menjadi penerbit. 
  • Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul). Lahir di Maninjau (1879). Ia sangat menentang tarekat. Di samping itu, ia berkunjung dan berhubungan dengan ulama Malaya (1916) dan Jawa (1917), sehingga berhubungan dengan pemimpin-pemimpin Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Dialah yang memperkenalkan Muhammadiyah di Minangkabau (1925). Pembaharuan yang dilakukan oleh ulama di Minangkabau melahirkan dua kelompok ulama yang masing-masing memiliki organisasi tersendiri: pertama. ulama yang menolak pembaharuan dan bersikeras mempertahankan tradisi, mereka disebut Kaum Tua, organisasi mereka adalah Im'hadul Ulama dan kedua. ulama yang bersikeras melakukan pemurnian Islam dari bid'ah dan adat, mereka disebut Kaum Muda; organisasi mereka adalah Persatuan Guru-guru Agama Islam. 

Pembaharuan di Indonesia ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi Islam. Di antara organisasai tersebut adalah Jamiyatul Khair didirikan di Jakarta pada tahun 1905. Perkumpulan ini lebih banyak bergerak di bidang pendidikan dan mendidik generasi muda untuk meneruskan perjuangan Islam. 

Selain itu, pada tahun 1905, K.H. M. Yasin di Menes Banten Jawa Barat (sejak tahun 2002 menjadi Provinsi Banten), mendirikan Mathla'ul Anwar: organisasi sosial keagamaan yang lebih banyak bergerak di bidang pendidikan. 

Baca juga selanjutnya di bawah ini


BAB 14 Kekuasaan Islam Periode Tengah

Politik mereka disalurkan melalui Syarikat Islam, Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta. Pendirinya adalah K.H. Ahmad Dahlan. Pada tahun 1923 didirikan Persatuan Islam (Persis) di Bandung yang dipimpin oleh A. Hassan, dan Nahdlatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 oleh K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari, dan berbagai organisasi keagamaan lainnya yang tumbuh pada masa reformasi.