Pertempuran jawa barat Ke-I / Penghadangan pertama. (9 Desember 1945 s/d 12 Desember 1945)
Pertempuran Ke-I / Penghadangan pertama. (9 Desember 1945 s/d 12 Desember 1945)
Menjelang bulan Desember 1945, suhu situasi kondisi di Jawa Barat juga semakin memanas. Perjuangan Rakyat Jawa Barat yang semula, lebih banyak dipengaruhi oleh sikap perjuangan diplomasi dari Pemerintah Pusat.
Maka pada saat itu mulai kehilangan kepercayaannya terhadap netralitas pimpinan Tentara Sekutu, yang nampaknya semakin condong untuk membantu pihak Belanda, dalam rangka menegakan kembali kekuasaannya di bumi Indonesia. Sejak Tentara Sekutu menduduki kota Bandung, maka pergerakan lalulintas, baik personil maupun perlengkapan logistik antara Jakarta-Bandung, mereka upayakan dengan segala cara.
Mula-mula untuk memenuhi kebutuhan akan perbekalan dan perlengkapan 60.000 anggota APWI di Bandung. Mereka mencoba mengirimkan barang-barang tersebut dengan mempergunakan kereta api dari Jakarta ke Bandung sebanyak 20 gerbong, yang dikawal oleh serdadu-serdadu Ghurka, melalui jalur utara.
Akan tetapi karena tidak ada koordinasi dengan Pasukan-pasukan TKR yang bertugas di daerah Dawuan, ialah Batayon Priatna dari Resimen - 5 TKR. Pengawal-pengawal perjalanan kereta api yang hanya dilakukan oleh 10 orang serdadu Ghurka dalam tempo sekejap sudah bisa dilumpuhkan, 4 orang tertembak mati, sedangkan 6 orang menyerahkan diri sebagai tawanan. Isi ke 20 gerbong tersebut disita, yang terdiri dari makanan kalengan, seperti nasi goreng, kornet, sardencis, susu, keju, coklat dan sebagainya.
Juga terdapat sejumlah besar pakaian dan selimut. Dengan demikian pada saat itu Resimen-5 TKR memperoleh rezeki nomplok, bahkan rakyat penduduk setempatpun ikut menikmatinya. Namun ternyata insiden ini menjadi berkepanjangan pula. Tentara Sekutu mengajukan “protes keras” kepada Menteri Amir Sjarifoeddin. Minta agar perbekalan dan perlengkapan yang disita tersebut dikembalikan. Selanjutnya juga Menteri Amir Sjrifoeddin memberikan tegoran kepada Komandan Resimen - 5 TKR, ialah Mayor Moefreni untuk mengembalikan barang rampasan tersebut. Namun Mayor Moefreni menolak.
Hanya para tawanan serdadu Ghurka yang bisa dikembalikan, itupun harus ditukar dengan para pejuang yang menjadi tawanan Tentara Sekutu di Jakarta. Akhirnya Mayor Kawilarang diperintahkan Panglima Komandemen 1 TKR, Mayjen Didi Kartasasmita di Purwakarta, untuk melakukan tukar-menukar, 6 orang tawanan serdadu Ghurka, dengan pembebasan 8 orang para pejuang Republik Indonesia yang ditawan oleh Tentara Sekutu di Rumah Penjara Cipinang. Diantaranya ialah Mr. Soepangat dan Chairil Anwar.
Setelah insiden tersebut maka diperoleh kesepakatan antara Pemerintah RI dengan pihak Tentara Sekutu. Bahwasanya setiap pengiriman perlengkapan dan perbekalan bagi Tentara Sekutu di Bandung harus dikawal oleh TKR-RI. Dengan demikian maka sejak tanggal 11 Desember 1945, pengawalan kereta api yang membawa perbekalan dan perlengkapan Tentara Sekutu dari Jakarta ke Bandung dilaksanakan oleh para Taruna dari Akademi Militer Tanggerang.
Selama kurang lebih satu bulan pada waktu itu, telah dilakukan tiga kali pengiriman perbekalan dan perlengkapan Tentara Sekutu dari Jakarta ke Bandung. Perjalanan pertama dikawal oleh 20 orang Taruna Akademi Militer Tanggerang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot. Perjalanan kedua dipimpin oleh Mayor Kemal Idris, Sedangkan perjalanan yang ketiga dipimpin oleh Kapten Islam Salim. Semua pengiriman perbekalan ini berjalan mulus tanpa hambatan apapun.
Akan tetapi kebutuhan Tentara Sekutu untuk melakukan operasinya di kota Bandung rupanya tidak hanya sebatas perbekalan dan perlengkapan saja. Namun memerlukan juga dukungan peralatan dan persenjataan berat lainnya, dari Pasukan-pasukan Kavaleri, Artileri, Zeni dan sebagainya, yang mungkin dapat diangkut dengan kereta api.
Maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut pihak Tentara Sekutu juga menyelenggarakan konvoy kendaraan-kendaraan di jalan raya secara periodik, yang dikawal ketat oleh mobil-mobil lapis baja dan tank-tank tempur. Dengan demikian sejak saat itu, maka setiap 1 atau 2 minggu sekali, akan terlihat iring-iringan kendaraan-kendaraan Tentara Sekutu di jalan raya antara Bandung-Jakarta pp.
Rupanya atas pertimbangan keamanan Tentara Sekutu lebih cenderung memilih jalur Jakarta-Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung pp, untuk perjalanan konvoynya. Sedangkan lewat jalur Puncak, risikonya akan cukup besar, karena tanjakannya yang terlalu terjal untuk dilewati tank-tank dan mobil lapis baja yang sangat berat.
Pada awal bulan Maret 1946, Kolonel A.H. Nasution Panglima Divisi III pernah dipanggil Panglima Komandemen Jawa Barat Mayjen Didi Kartasasmita. Pada pertemuan tersebut diceritakan pula oleh Mayjen Didi Kartasasmita, bahwa suatu ketika mobil yang ditumpanginya pernah terjepit oleh konvoy Tentara Sekutu, ditengah perjalanan. Beliau betul-betul merasa tidak berdaya tatkala itu, namun masih untung juga, bahwa mereka tidak mengetahui, bahwa yang berada di dalam mobil tersebut adalah Panglima TKR Komandemen Jawa Barat.
Nampaknya Mayjen Didi Kartasasmita memahami betul, bahwa pada saat itu situasi kondisi di seluruh Jawa Barat meningkat semakin genting. Pertempuran-pertempuran telah berkecamuk diseluruh penjuru tanah air. Bahkan didalam kota Bandung, yang pernah menyandang gelar “kota diplomasi”, karena telah berhasil memisahkan antara dua kubu yang berseteru, ialah kubu Sekutu dengan antek-anteknya, disebelah utara rel kereta api dan kubu para pejuang disebelah selatan. Namun sungguhpun demikian, setiap hari pertempuran terus berkecamuk disetiap penjuru kota. Sampai-sampai muncul kata pemeo : “di Bandung tiada hari tanpa pertempuran”.
Pada saat itu juga Panglima Komandemen TKR Jawa Barat mengeluarkan perintah, untuk menyerang konvoy-konvoy di jalan-jalan raya dalam wilayah Divisi III. Hubungan lalu-lintas personil dan logistik mereka, harus diputuskan selama mungkin. Namun demikian serangan harus dilakukan di tempat-tempat yang jauh dari perkampungan rakyat. Yaitu di daerah-daerah pegunungan dan hutan-hutan.
Sebelum keluar perintah “Serang konvoy” dari Panglima Komandemen TKR pada waktu itu. Sebetulnya Komandan Resimen-3 TKR di Sukabumi, ialah Letkol Eddy Sukardi juga sudah merasa jengkel dengan simpang-siurnya konvoy-konvoy kendaraan Tentara Sekutu yang melalui daerah komandonya, dari sejak Ciawi-Sukabumi-Cianjur.
Oleh karena itu kekuatan Resimen-3 TKR, sebanyak 4 Batalyon sudah digelar disepanjang jalur ini, sebagai berikut :
Batalyon I. Dibawah komando Mayor Yahya Bahram Rangkuti, dengan kekuatan 4 Kompi, ialah ; 1) Kompi Kapten Tedjasukmara, 2) Kompi Kapten Kusbini, 3) Kompi Kapten Murad Idrus dan 4) Kompi Kapten Mochtar Kosasih. Batalyon ini menempati lokasi sepanjang 18 KM, membentang dari Cigombong sampai Cibadak.
Batalyon II. Dibawah komando Mayor Harry Sukardi, dengan kekuatan 4 Kompi, ialah; 1) Kompi Kapten Madsachri, 2) Kompi Kapten Husein Alexsyah, 3) Kompi Kapten Juanda dan 4) Kompi Kapten Dasuki. Batalyon ini menempati lokasi sepanjang 18 KM, dari sejak Cibadak sampai Sukabumi Barat.
Batalyon III. Dibawah komando Mayor Abdurrachman, dengan kekuatan 4 Kompi, ialah ; 1) Kompi Kapten Djahidi, 2) Kompi Kapten Sabir, 3) Kompi Kapten Madsari dan 4) Kompi Kapten Kabul Sirodz. Batalyon ini Menempati lokasi sepanjang 15 KM, membentang dari Sukabumi Timur sampai Gekbrong.
Batalyon IV. Dibawah komando Kapten Anwar, dengan kekuatan 4 Kompi, ialah; 1) Kompi Kapten Saleh Opo, 2) Kompi Kapten Dasuni Zahid, 3) Kompi Kapten Musa Natakusumah dan 4) Kompi yang dipimpin langsung oleh Komandan Batalyon. Batalyon ini menempati jalur yang paling panjang sekitar 30 KM, ialah dari mulai Gekbrong-Cianjur-Ciranjang.
Disamping Pasukan TKR ini, terdapat pula Pasukan atau Barisan Pejuang Rakyat, yang terdiri dari :
- Barisan Hizbullah dibawah pimpinan Suryana, pasukan Kelasykarannya dipimpin oleh M. Abdullah, Nawawi Bakri dan Hamami.
- Barisan Sabilillah dibawah pimpinan Sasmita Atmadja dan A. Basarah, pasukan Kelasykarannya dipimpin oleh Dadi Abdullah.
- Barisan Banteng RI, dipimpin Suradiradja dan Lunadi, pasukan Kelasykarannya dipimpin oleh Tubagus Ahmad Kurtubi.
- Barisan Pemuda Proletar, dibawah pimpinan Sambik, pasukan Kelasykarannya dipimpin oleh Mujana, Karim dan Dadang Sukatma.
- Lasykar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), dipimpin oleh Felix Kalesaran.
- Barisan Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO), dibawah pimpinan S. Waluyo, Ismail dan Bakri.
Pertempuran-pertempuran antara Tentara Sekutu dengan TKR dan Barisan Pejuang di Bandung, semakin meningkat. Melalui pertempuran-pertempuran tersebut semakin banyak pula senjata-senjata dan perlengkapan lainnya dari Tentara Sekutu yang jatuh ke Tangan para pejuang kita, juga jumlah pelarian-pelarian pribadi serdadu-serdadu India Muslim ke Pihak Republik Indonesia semakin meningkat.
Nampaknya Brigadier Mc. Donald selaku Komandan Brigade ke 37 Tentara Sekutu di Bandung, memerlukan bantuan dari Jakarta, tidak hanya perbekalan dan Pasukan Infanteri saja yang bisa diangkut melalui jalur udara, tetapi juga memerlukan, Pasukan Kendaraan Lapis Baja dan Meriam, serta perbekalan dan alat-peralatan lainnya yang harus didatangkan melaluli jalur darat.
Kemungkinan bantuan-bantuan Tentara Sekutu melalui jalur darat ini, rupanya juga sudah menjadi perkiraan para pejuang di Bandung, oleh karena secara pribadi, mereka menyarankan agar para pejuang, yang berada disekitar jalur antara Bandung-Jakarta untuk mengganggu lalu-lintas kendaraan-kendaraan musuh tersebut.
Seruan pribadi dari para pejuang di Bandung ini segera mendapat tanggapan dari teman-teman seperjuangannya, terutama yang berada di wilayah kekuasaan Resimen - 3 TKR, yang membentang melalui jalan raya Bogor-Sukabumi-Cianjur.
Sebenarnya sejak Brigade ke-37 Tentara Sekutu memasuki kota Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945, lalu-lintas konvoy Tentara Sekutu yang membawa perbekalan, melalui jalur Bogor-Sukabumi-Cianjur itu, sudah beberapa kali terjadi. Namun karena suasana perjuangan pada saat itu masih sangat samar tanpa ada ketegasan, antara perjuangan diplomasi dan perlawanan dengan senjata. Maka sikap para pejuangpun penuh dengan keragu-raguan.
Adapun gangguan yang dilakukan para pejuang pada waktu itu, hanyalah sebatas dilakukan dengan memasang rintangan-rintangan pepohonan yang sederhana, ataupun tembakan-tembakan pribadi sekedar melampiaskan rasa kesal dan jengkel. Gangguan-gangguan tersebut pada umumnya tidak sampai menghambat perjalanan konvoy.
Namun pada tanggal 29 Nopember 1945, pernah terjadi peristiwa, beberapa truk yang memuat serdadu-serdadu Jepang dan Gurkha, mencoba memasuki jalur jalan antara Bogor-Sukabumi. Dihadang dengan barikade-barikade, dan diserang oleh Barisan Rakyat di daerah Cicurug dan Parungkuda. Dilaporkan 4 orang musuh tewas oleh Barisan Rakyat dan truk-truk kembali ke Bogor. Sedangkan pada hari itu juga sebanyak 124 buah truk Inggris dicegat rintangan-rintangan Barisan Rakyat di Ciranjang dan Gekbrong, tanpa diketahui kerugian dari kedua pihak.
Karena gangguan-gangguan para pejuang diperjalanan darat antara Bogor-Sukabumi-Bandung, maka 1 batalyon Mahratta untuk memperkuat pendudukan Tentara Sekutu di Bandung, diangkut dari Jakarta ke Bandung dengan mempergunakan 12 buah pesawat terbang Dakota. Sedangkan pada tanggal 5 Desember 1945, bertolak lagi ke Bandung, pasukan-pasukan tank dan meriam, yang dikirim oleh markas Tentara Sekutu di Jakarta.
Menjelang bulan Desember 1945, semenjak operasi penghadangan ini menjadi kebijakkan komando atasan TKR, maka segala persiapanpun dilaksanakan dengan cara-cara yang lebih baik, dan dikoordinasikan langsung oleh Komandan-Komandan Resimen TKR.
4 Batalyon kekuatan Pasukan Resimen - 3 TKR, yang sudah digelar disepanjang jalur jalan raya mulai dari Ciawi-Sukabumi-Cianjur, langsung dipimpin dan dikoordinasikan oleh Letkol Eddy Sukardi dan Kepala Bagian Siasat Resimen Kapten Achmad Kosasih.
Rencana penghadangan dimulai dengan pemasangan rintangan-rintangan untuk menghambat gerak laju konvoy, ditempat-tempat yang bisa menguntungkan untuk melakukan penyergapan.
Sepanjang jalan raya yang berkelok-kelok tajam, dan naik turun antara Cicurug-Bojong Kokosan-Parungkuda, juga disisi kanan-kiri jalan terdapat tebing-tebing yang cukup terjal. Maka kondisi medan yang demikian ini, akan sangat menguntungkan untuk melakukan penyergapan. Lebih-lebih lagi pada saat itu daerah ini masih merupakan hutan belukar.
Di daerah ini dipasang barikade dengan menumbangkan pohon-pohon pelindung yang besar-besar dipinggir jalan, dipasang saling melintang, untuk merintani jalannya kendaraan-kendaraan. Sedangkan pada tempat-tempat tertentu, digali lubang-lubang yang besar- besar, yang cukup dalam untuk dijadikan perangkap kendaraan tank dan lais baja. Pada dasar lubang-lubang tersebut dipasangi juga ranjau-ranjau darat yang dapat melumpuhkan kendaraan lapis baja dan tank.
Di atas tebing disisi kanan-kiri jalan dibuat pula lubang-lubang perlindungan bagi para prajurit yang akan melakukan penyerangan, secara serentak pada waktunya. Mereka dipersenjatai dengan senjata-senjata api seadanya, termasuk granat-granat tangan dan bom-bom Molotov, hasil buatan pabrik senjata Braat milik Resimen 3 sendiri di Sukabumi, dibawah pimpinan Kapten Saleh Norman.
Karena persediaan amunisi terbatas, maka tidak mungkin untuk bisa melayani dan menangkis serangan balas dari musuh, secara frontal dalam waktu yang cukup lama. Rencana penyergapan akan dilakukan dengan taktik “ Hit and run “. Sergap dan hancurkan, pada kesempatan yang paling baik, dan segera menghilang untuk menghemat senjata, hemat pasukan, aman dan menang.
Hari Minggu tanggal 9 Desember 1945, Kapten Achmad Kosasih Kepala Bagian Siasat Resimen 3 di Jl. Kerkhof Sukabumi bersama Komandan Resimen dan Dokter Resimen, ialah Dr. Hasan Sadikin. Saat itu dikejutkan dengan dering telefon dari Pos Cigombong, Komandan Pos Cigombong melaporkan bahwa : “ Dua tank Sherman kawal depan konvoy Tentara Sekutu, telah memasuki Cigombong ”.
Laporan selanjutnya menyatakan bahwa, jumlah iring-iringan konvoy sekitar 150 buah truk, dikawal oleh 1 batalyon serdadu Sekutu, dimulai dengan tank-tank Sherman, sebagai kawal depan, kemudian sejumlah kendaraan berlapis baja, selanjutnya iring-iringan truk, dan diselang-seling dengan kendaraan-kendaraan brencarrier.
Komandan Resimen 3 TKR, memerintahkan, agar pos-pos Cigombong dan Cicurug tidak menyerang terlebih dahulu, sebelum kawal depan konvoy memasuki daerah “ killing ground “, ialah daerah perbukitan Bojong Kokosan. Dengan maksud, bahwa setelah kepalanya dipukul baru badannya diserang, diberbagai daerah.
Di daerah Bojong Kokosan, konvoy dihadang dengan barikade pepohonan yang malang melintang di tengah jalan. Tank-tank Sherman mencoba mendorong-dorong rintangan. Tank pertama terperosok masuk kedalam lubang jebakan, maka terdengarlah ledakan ranjau darat, dan rantai-rantai roda tankpun lepas terburai.
Iring-iringan konvoy dibagian dibelakang memberhentikan, kendaraannya secara mendadak, maka terjadilah tabrakan-tabrakan beruntun. Susunan konvoy menjadi kacau balau, tidak terkendalikan lagi.
Maka pada momen inilah, serangan penyergapan dimulai. Tembakan-tembakan gencar dilakukan dari tebing-tebing di kiri-kanan jalan, menyambut serdadu-serdadu Sekutu yang berloncatan turun dari atas truk. Mereka berusaha menyusun formasi tempur, akan tetapi terus-menerus dihujani granat dan bom-bom molotov.
Bagian tengah konvoy tidak bisa bergerak maju, tertahan oleh bagian depan yang sedang menghadapi sergapan serentak dari prajurit-prajurit TKR dan Barisan Pejuang Rakyat. Mereka berusaha bergerak mundur, namun terhambat pula oleh bagian ekor yang baru sampai di Cigombong. Akhirnya susunan konvoy yang panjangnya kurang lebih 12 KM itu terpenggal-penggal menjadi beberapa bagian.
Sementara serdadu-serdadu Tentara Sekutu dari Batalyon Jats yang mengawal konvoy tersebut terus menerus ditembaki dari tebing-tebing pinggir jalan, bahkan anak-anak panah dan kelereng sebagai peluru, ketepelpun ikut berperan menghujani serdadu-serdadu musuh, dalam peristiwa penyergapan tersebut.
Mobil ambulans simpang siur memberikan pertolongan terhadap serdadu-serdadu Sekutu yang cidera dan tewas. Ternyata Komandan Batalyon 5/9 Jats yang naik kendaraan lapis baja juga terkena sasaran granat, ia menderita cidera berat. Demikian ia keluar dari mobil lapis baja, segera digotong, dan diangkut dengan ambulans.
Sesaat setelah mereka sempat menyusun kekuatannya lagi, mereka berusaha, untuk menyingkirkan kendaraan lapis baja dan truk-truk yang rusak ke pinggir jalan. Kemudian mereka juga mulai membuka tembakan ke arah persembunyian para pejuang. Kendaraan-kendaraan lapis baja memuntahkan peluru senapan mesin kaliber 12,7 mm, ke arah tebing-tebing yang menjadi kubu-kubu pertahanan kita.
Tank Sherman mulai beraksi dengan menembaki kubu-kubu pertahanan kita, di lereng-lereng tebing dengan menggunakan meriam. Ada kejadian yang sangat mengenaskan, ialah sewaktu 12 orang prajurit TKR yang bertahan di sebuah kubu dihantam ledakan peluru meriam, kubu pertahanan tersebut hancur, dan ke-12 orang prajurit TKR tersebut berjatuhan tergusur longsoran, dan gugur bersama.
Karena sudah kehabisan amunisi pertempuran di Bojong Kokosan dihentikan. Maka konvoypun bergerak maju lagi dengan meninggalkan sejumlah truk perbekalan yang rusak disepanjang jalan antara Cigombong dan Cicurug.
Antara Cibadak-Cikukulu formasi masih acak-acakan, terpenggal-penggal, namun tank Sherman, mobil lapis baja dan brencarrier memaksa konvoy untuk bergerak maju lagi. Di jalan raya Karangtengah konvoy berpapasan dengan kendaraan Staf Resimen 3, tanpa kompromi, senapan mesin 12,7 mm mobil lapis baja memberondong mobil Staf Resimen 3 tersebut, dan tak ayal lagi 9 orang prajurit TKR, gugur seketika.
Di daerah Cikulu tank Sherman, mobil lapis baja dan brencarrier, terpaksa berhenti dahulu untuk menunggu susunan formasi konvoy yang tertinggal jauh di belakang. Sementara itu, peluru senapan, granat dan bom-bom molotov dari pasukan-pasukan TKR di daerah itu menghujani mereka.
Hambatan selanjutnya terjadi lagi tatkala memasuki kota Sukabumi, satu truk berisi perbekalan persenjataan dapat dirampas. Demikian pula setelah masuk kota di Jalan Degung-Cipelang, disambut lagi dengan hujan peluru, granat dan bom Molotov.
Pada jam 24.00 Komandan Batalyon Herry Sukardi mendapat perintah dari Komandan Resimen untuk menghentikan penghadangan. Dan untuk selanjutnya diserahkan kepada Batalyon Mayor Abdurrachman, yang diposisikan untuk mempertahankan daerah Sukabumi selatan-Gekbrong.
Konvoy yang berangkat dari Jakarta pada tanggal 9 Desember 1945 baru tiba di Bandung pada tanggal 12 Desember 1945, dalam keadaan babak belur, itupun setelah dibantu oleh serangan udara habis-habisan dari RAF, terhadap posisi pertahanan kita. Sedangkan pada hari yang sama telah tiba juga di Bandung pengiriman perbekalan serta peralatan milik Sekutu dari Jakarta yang dikawal oleh pasukan TKR, ialah para Taruna Akademi Militer Tanggerang dengan selamat.
Sungguh sulit untuk dimengerti, sikap perjuangan bangsa Indonesia, dalam rangka menegakkan dan mempertahankan kemerdekaannya saat itu. Disatu sisi melawan kekuatan asing yang mencoba untuk berkuasa lagi di tanah air dengan perlawanan bersenjata habis-habisan. Sedangkan disisi yang lain masih juga mengulurkan tangan untuk membuka perundingan-perundingan diplomasi dengan baik-baik.
Ternyata bahwa konvoy Tentara Sekutu yang dihadang oleh Pasukan TKR Resimen 3 pada tanggal 9 sampai dengan tanggal 11 Desember 1945 itu, terdiri dari kurang lebih 150 buah kendaraan yang dikawal oleh Tentara Sekutu dari Batalyon 5/9 Jats, yang baru untuk pertama kalinya bertempur di Pulau Jawa.
Pihak Sekutu mengalami cukup banyak kerugian, 9 buah truk dan 2 jeep jatuh ke tangan kita. Sedangkan kerugian pihak kita juga cukup besar, TKR kehilangan 60 prajurit, disamping kurban dari pihak Barisan Pejuang Rakyat lebih banyak lagi, demikian pula dari penduduk daerah Cibadak yang menjadi kurban pemboman dan tembakan mitralyur dari pesawat udara.
Peristiwa tersebut dicatat oleh Letkol A.J.F. Doulton dalam Sejarah Militer Inggris “The fighting cock “, tertulis pada Chapter 24, “the turn of the year 1945/1946 “, sebagai berikut:
An up convoy, escorted by 5/9 Jats, who were newcomers to Java, had begun the long climb through the hills when the leading rehicles were halted by a road-block. The hillside was alive with Indonesians, many of them, in the Japanese fashion occupying fox-holes, from which they lobbed an andless supply of Molotov coctail on the vehicles. It is no easy task to fight out of an ambush where an unseen foe commands the high ground and the infantry escort is spread over eight miles of road; moreover nightfall was not many hours away. The Jats C.O. was seriosly wounded in the first brush, one vehicle was ablaze, several others were badly damaged and number of drivers had slumped over their wheels, either dead or grievously hit.
(Doulton, 1951:183)
Sebuah konvoy dikawal oleh Batalyon 5/9 Jats, pendatang baru di Pulau Jawa, mulai bergerak lama mendaki perbukitan-perbukitan. Kendaraan pendahulu berhenti dihadang perintang jalan. Diatas perbukitan dipenuhi orang-orang Indonesia. Banyak diantaranya yang bersembunyi di lubang-lubang pertahanan ala Jepang, dan mulai melempari kendaraan-kendaraan kami dengan bom-bom molotov tanpa habis-habisnya.
Tidaklah mudah untuk keluar dari suatu penghadang yang dilakukan oleh musuh yang tidak nampak, yang menempati ketinggian-ketinggian, lebih-lebih keadaan sudah mendekati gelap malam. Ditambah lagi pengawal terpencar di jalanan sepanjang 10 km. Pimpinan pasukan Jats sudah terluka parah pada awal serangan. Satu kendaraan terbakar, sejumlah lainnya rusak berat dan sejumlah pengemudi terlungkup diatas kemudi, entah mati atau terkena tembakan yang mengenaskan.
Baca juga selanjutnya di bawah ini :