Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mobilitas sosial dibedakan dua macam horizontal dan vertikal

Mobilitas sosial dibedakan dua macam horizontal dan vertikal 

Pertumbuhan penduduk Indonesia yang pesat mempunyai pengaruh besar dalam bidang ekonomi dan sosial. Tekanan kehidupan yang makin berat di wilayah kelahirannya, mendorong anggota masyarakat bergerak untuk memperoleh kehidupan lebih baik. 

Mobilitas sosial dapat dibedakan atas dua macam yaitu horizontal dan vertikal. Gerakan horizontal merupakan gerakan dari satu daerah ke daerah lain, dengan gerakan mendatar. Profesi orang yang melakukannya pada umumnya masih tetap misalnya seorang petani dari daerah Jawa Tengah pindah ke daerah pertanian juga di Jawa Timur atau di Jawa Barat.

Gerakan vertikal merupakan gerakan dari satu tingkat pencarian ke tingkat pencarian lain yang lebih tinggi. Gerakan yang meningkat terutama didorong setelah memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, sehingga mereka berusaha untuk memperoleh kedudukan yang baik demi kesejahteraan yang lebih meningkat.

Gerakan horizontal dari satu daerah ke daerah lain disebut migrasi. Pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan desa sebagai tempat tinggalnya tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan hidup penghuninya, inilah yang menjadi pendorong utamanya. Pada umumnya dibedakan atas dua macam migrasi yaitu intern atau lokal dan ekstern atau interlokal.

Pada migrasi intern perpindahan terjadi dalam satu pulau. Pada masa awalnya profesi penduduk yang melakukannya masih tetap sama, yang petani tetap sebagai petani dan pedagang tetap sebagai pedagang. Misalnya daerah Kedu, Yogyakarta, dan Surakarta merupakan daerah yang cepat padat penduduknya.

Dengan dibukanya sejumlah perkebunan di ujung Jawa Timur dan bagian selatan Jawa Barat, banyak penduduk dari daerah padat pindah sebagai buruh tani pada perkebunan tebu di Jawa Timur atau perkebunan kelapa di Jawa Barat. Daerah Tapanuli merupakan daerah yang relatif kurang subur dengan pertumbuhan penduduknya yang terus-menerus.

Oleh karena itu, mereka didorong untuk pindah ke daerah-daerah di Sumatera Timur yang lebih subur seperti daerah Simalungun. Karena perpindahannya secara rombongan, daerah-daerah baru merupakan semacam koloninya.

Penduduk di Sumatera Barat juga berkembang pesat berkat alamnya yang semula cukup menghidupinya. Kemudian dirasakan makin berkurangnya kemakmuran, lebih-lebih dengan pola adatnya matriarcat yang kaum prianya kurang memperoleh tempat dalam masyarakat. Pada umumnya yang melakukan migrasi adalah kaum pria dan mereka sebagian berdiri atas pedagang.

Pai marantau untuk manggaleh sebagaimana cerita rakyat tentang Si Malin Kundang yang menjadi kaya raya di rantau. Daerah rantau suku Minangkabau yang telah ada sejak lama adalah daerah pantai barat Aceh dan Bengkulu. Dengan dibukanya perkebunan di daerah Sumatera Timur banyak yang mengarahkan ke Medan. Sebagai akibatnya sejumlah daerah seperti Meninjau lebih banyak penduduknya yang di rantau daripada yang masih menetap di kampung halamannya.

Suatu migrasi intern penduduk pedesaan pindah ke kota disebut urbanisasi. Dalam urbanisasi bukan hanya kondisi desa yang menjadi pendorongnya, tetapi keadaan kota yang menarik penduduk desa. Gejala urbanisasi makin kuat pada akhir abad ke-19 waktu perusahaan perusahaan swasta Belanda mulai dengan kegiatannya dalam bidang pengangkutan seperti kereta api atau kapal laut.

Perusahaan demikian memerlukan tenaga-tenaga kasar maupun administrasi rendahan dengan penghasilan yang lebih baik dibandingkan dengan pendapatan di desa. Selain soal pendapatan, kota memberikan daya tarik khususnya bagi golongan muda berupa sekolah yang tingkatannya lebih tinggi, pergaulan yang lebih luas, dan kehidupan yang lebih mudah. Dengan urbanisasi profesi berubah dari tani menjadi buruh atau pegawai. Khususnya yang menjadi pegawai merupakan suatu elit baru dalam masyarakat Indonesia.

Dengan migrasi ekstern atau interlokal terjadi perpindahan dari satu pulau ke pulau lain. Menurut istilah Van Deventer disebutkan sebagai emigrasi, karena bangsa Jawa antara lain pindah ke negeri Sumatera. Migrasi ekstern ini pada mulanya antara lain didorong untuk keperluan tenaga buruh perkebunan di luar Jawa setelah lahirnya Undang-undang Agraria (1870). Ribuan tenaga petani dari Jawa memperoleh kesempatan untuk menjadi buruh perkebunan yang waktu itu disebut sebagai kuli kontrak ke Deli di Sumatera Timur.

Selain migrasi ekstern pada akhir abad ke-19 juga terjadi emigrasi dalam arti yang sebenarnya. Perusahaan Belanda di Suriname (Amerika Selatan), atau di New Caledonia (Pasifik Selatan) memerlukan tenaga buruh cukup banyak. Khususnya dari Jawa mereka banyak memperoleh tenaga untuk perkebunan atau pertambangan. Sampai sekarang generasi ketiga mereka itu masih sebagian besar tinggal di kedua daerah tersebut dengan identitas sebagai bangsa Jawa.

Kemiskinan yang makin parah di daerah pedesaan seperti di Karesidenan Kedu (Jawa Tengah) mendorong pemerintah untuk melakukan migrasi ekstern. Pada umumnya yang dipindahkan adalah petani. Sehingga perpindahan penduduk demikian disebutkan sebagai kolonisasi (colonus = petani).

Pelaksanaannya dimulai pada awal abad ke-20 dengan daerah pemindahannya di Lampung. Pada zaman Kemerdekaan dipergunakan istilah transmigrasi untuk membedakan dengan kolonisasi dan kenyataannya yang dipindahkan juga bukan semata-mata kaum tani. Selain dari Jawa juga penduduk dari Bali dan Nusa Tenggara Barat mulai dirasakan perlu untuk ditransmigrasikan ke daerah lain seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku atau Irian Jaya.

Sementara terjadi mobilitas sosial dari daerah pada seperti Jawa ke luar Jawa, juga terjadi arus sebaliknya. Dari daerah luar Jawa ke Jawa. Faktor pendorongnya pada mulanya adalah untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi berupa sekolah menengah yang daerahnya pada akhir abad ke-19 belum ada. Dengan makin banyaknya lapangan kerja di kota, sebagian besar dari mereka itu kemudian menetap di Jawa.

Walaupun sebelum abad ke-19 secara umum dalam perdagangan juga sudah banyak suku bangsa lain seperti Bugis yang menetap di Jakarta, tetapi migrasi ekstern dari golongan elit ini mempunyai pengaruh penting dalam pertumbuhan nasionalisme Indonesia yang berkembang pada abad ke-20. Pulau Jawa menjadi pusat kelahiran rasa kebangsaan Indonesia, rasa kesukaan makin berkurang yang memudahkan berkembangnya rasa kebangsaan.

Mobilitas sosial juga terjadi secara vertikal yang ditimbulkan akibat pendidikan yang mulai dikembangkan, khususnya dalam rangka pelaksanaan Politik Etis. Profesi penduduk berubah dari petani menjadi pegawai atau buruh.

Dengan berbekalkan tahu baca dan tulis (belum tentu telah lulus sekolah dasar), seseorang dapat menjadi magang (calon pegawai) beberapa tahun untuk kemudian menjadi pembantu (hulp atau asisten). Akhirnya waktu pensiun menjadi juru (ahli) dan untuk yang bernasib baik menjadi mantri (bukan menteri).

Mereka merupakan cikal bakal kaum elit Indonesia. Walaupun sebagian besar dari mereka masih tinggal di daerah pedesaan atau kecil, tetapi kaum elit atau priyayi ini mulai menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah Belanda di kota. Mereka dapat memperoleh kedudukan sebagai klerk dan pensiun sebagai seorang pejabat suatu kantor.

Peninggalan feodal yang masih banyak melekat pada masyarakat menyebabkan menjadi pegawai negeri sebagai idaman umum. Menjadi pedagang atau pengusaha dinilai lebih rendah walaupun pendapatannya lebih besar.

Mobilitas sosial baik horizontal maupun vertikal merupakan gejala baru dalam masyarakat Indonesia pada abad ke-19 yang merupakan suatu perubahan struktur dan budaya dari tradisional ke arah modern. Mobilitas demikian makin kuat pada abad ke-20, justru karena himpitan kehidupan di desa makin dirasakan, yang sementara itu keadaan di kota dan daerah lain memberikan daya tarik.

Makin banyaknya suku bangsa Indonesia saling bertemu khususnya di kota-kota besar dalam rangka memperoleh pendidikan atau lapangan kerja menyebabkan pandangan kesukuan makin berkurang, sebaliknya pandangan atau rasa kebangsaan makin kuat. Masa itulah yang dikenal sebagai Masa Kebangkitan Nasional.

Baca selanjutnya di bawah ini :