Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Empat tahap revolusi hijau

Empat tahap revolusi hijau 

Pada akhir abad XVII, seorang ekonom yang bernama T. Robert Malthus berpendapat tentang perbandingan antara pertambahan bahan pangan yang tidak bisa mengikuti pertambahan penduduk. Hal ini telah dihubungkan dengan timbulnya kelaparan dan kemunduran ekonomi.

Akibatnya, orang mulai berpikir tentang perlunya memproduksi bahan pangan secara besar-besaran. Biarpun upaya penduduk dunia meningkatkan produksi pertanian telah dilakukan pada abad-abad sebelumnya, baru pada abad XX muncul usaha yang lebih serius memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan produksi pertanian, khususnya bahan pangan.

Gambar T Robert Malthus

 T. Robert Malthus

Salah satu usaha yang terpenting ialah Revolusi Hijau. Ketika wabah penyakit dan perang yang dianggap oleh Malthus sebagai faktor pengendali positif dari pertumbuhan penduduk semakin berkurang pada abad XIX, orang mulai melihat ancaman ledakan penduduk terhadap persediaan bahan makanan.

Kekhawatiran ini menjadi semakin besar, ketika persoalan pangan dan pertambahan penduduk secara langsung mengancam pertumbuhan ekonomi maupun pembangunan yang sedang dilaksanakan. Persoalan baru telah muncul sebagai sebuah lingkaran setan.

Pertumbuhan ekonomi yang besar pada masa damai telah memacu pertambahan penduduk. Kenaikan jumlah penduduk itu memakan habis peningkatan produksi yang sudah dilakukan. Kondisi ini tentu saja membatasi kemampuan menabung maupun berproduksi itu sendiri. Hal ini berarti mengganggu perkembangan ekonomi secara keseluruhan.

Setelah Perang Dunia I, kembali muncul keinginan meningkatkan produksi pangan. Keinginan itu pertama-tama telah dipacu oleh adanya ancaman kekurangan pangan di Eropa yang diakibatkan oleh hancurnya sebagian besar lahan pertanian akibat perang.

Dalam perkembangannya, usaha peningkatan produksi pertanian itu juga didasarkan alasan komersial karena adanya permintaan pasar yang besar. Peningkatan produksi diharapkan mampu meningkatkan ekspor di samping untuk kebutuhan dalam negeri. Sejak saat itu, penelitian ilmiah untuk meningkatkan produksi pangan di Eropa semakin berkembang.

Di samping usaha peningkatan produksi pangan di Eropa, masalah pertanian dan kemiskinan melanda dunia mulai dibicarakan pada Konferensi Hot Spring yang telah dilaksanakan pada tahun 1943. Di dalam perbaikan distribusi dan peningkatan taraf hidup konsumen maupun produsen, dan pengadaan kebutuhan yang cukup diseluruh dunia.

Konferensi inilah yang telah menjadi tonggak pembentukan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) yang bernaung dibawah PBB dan Kelompok Konsultatif bagi Peneliti Pertanian Internasional atau Consultative Group for International Agriculture Research.

Hasil lainnya Rockeffeler Foundation mulai membiayai penelitian untuk menemukan jenis gandum baru yang sesuai dengan kondisi alam Meksiko pada tahun 1944. Setelah Perang Dunia II, masyarakat dunia menemukan kenyataan bahwa sebagian besar penduduk di Asia, Afrika dan Amerika Latin telah mengalami persoalan kekurangan pangan.

Penduduk di daerah tersebut sangat tergantung terhadap persediaan bahan pangan di pasar dunia. Padahal kondisi ekonomi sebagian besar negara tersebut tidak mampu mengimpor bahan makanan secara terus menerus. Peneliti untuk mengembangkan produksi pertanian dengan memanfaatkan teknologi modern mulai dilaksanakan di Eropa dan di tempat lain, seperti Philipina, India, Meksiko, dan Pakistan.

Penelitian ini difokuskan pada usaha menemukan jenis tanaman penghasil biji-bijian seperti gandum, padi, dan jagung mendapat perhatian utama. Hal ini dikarenakan jeis tersebut merupakan bahan makanan utama yang paling banyak dikonsumsi oleh umat manusia dibandingkan dengan jenis bahan pangan yang lainnya.

Lembaga Penelitian Padi Internasional atau International Rice Research Institute (IRRI) didirikan di Los Banos Philipina pada tahun 1962, yang disponsori oleh Rokeffeler Foundation dan Ford Foundation. Selain itu, sebuah lembaga penelitian untuk perbaikan produksi jagung dan gandum internasional yang disebut International Centre for Corn and Wheat Improvement didirikan di Meksiko.

Hasilnya berbagai jenis benih baru yang unggul ditemukan. Keunggulan benih ini telah dibuktikan oleh keberhasilan penanaman jenis gandum yang berasal dari Eropa di India dan Pakistan. Berbagai jenis unggul tersebut segera disebar dan ditanam di berbagai negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin pada pertengahan tahun 1960-an.

Pada saat yang sama juga dilaksanakan penyebaran terhadap teknologi lainnya. Jenis padi baru yang telah dihasilkan oleh IRRI berhasil meningkatkan hasil padi per hektar diberbagai kawasan di Asia. Sejak saat itu, Revolusi Hijau atau Green Revolution mulai menyebar di dunia, terutama di negara-negara sedang berkembang.

Hasilnya, produksi pangan di beberapa kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin mengalami kenaikan pada tahun 1960-an. Kenaikan produksi ini mampu mengatasi masalah kekurangan pangan yang sering terjadi sebelumnya. Hasil panen gandum di India, misalnya telah naik beberapa kali lipat mencapai jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya sehingga India hampir saja bisa berswasembada pangan pada akhir tahun 1960-an.

Kenaikan produksi pangan yang tinggi juga terjadi di Philipina. Negara ini mampu mengekspor beras dalam jumlah besar keluar negeri pada akhir tahun 1960-an. Revolusi Hijau mencakup mekanisasi produksi dan hasil pertanian, penggunaan pupuk kimia, dan penggunaan zat kimia untuk membasmi hama pengganggu tanaman pangan.

Revolusi Hijau mengacu pada program intensifikasi tanaman pangan dengan menggunakan teknologi maju untuk meningkatkan produksi. Diantara beberapa unsur yang telah mendukung peningkatan produksi tanaman pangan, irigasi merupakan salah satu bidang yang sering menjadi kendala dalam pelaksanaan Revolusi Hijau.

Luas lahan pertanian beririgasi di beberapa negara mengalami pertambahan dibanding dengan masa sebelumnya. Akan tetapi, pertambahan lahan ber-irigasi itu ternyata tidak didukung oleh tersedianya air irigasi yang cukup, sarana dan prasarana yang telah memadai dan pengelolaan air yang tepat.

Menurut laporan tahun 1977 dari 80 hektar sawah di 16 negara hanya 2% yang mendapat pengairan secara penuh sepanjang tahun. Dari keseluruhan sawah tersebut, 33% tidak didukung oleh sarana dan prasarana irigasi yang cukup serta terkelola dengan baik. Pelaksanaan Revolusi Biru ini diharapkan mampu mengefektifkan pelaksanaan Revolusi Hijau.

Revolusi Hijau yang kemudian diikuti oleh Revolusi Biru telah mampu meningkatkan produksi bahan pangan didunia sejak akhir tahun 1960-an. Keadaan seperti ini terus berlangsung secara stabil, paling tidak sampai tahun 1970-an. Akan tetapi, negara-negara tersebut kemudian mulai berhadapan dengan berbagai persoalan baru sehingga mengganggu kemampuan berproduksi bahan pangan yang tinggi secara berkelanjutan.

Kenaikan produksi yang terjadi sebelumnya berubah menjadi kegagalan panen beruntun. Ironisnya kegagalan ini berkaitan erat dengan pelaksanaan Revolusi Hijau itu sendiri. Di samping berdampak positif, Revolusi Hijau ternyata telah menimbulkan ketidakseimbangan dalam arti sosial, ekonomis, maupun lingkungan.

Kondisi ini merupakan lingkaran setan yang tidak kunjung pangkal, terutama bagi para petani kecil. Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa Revolusi Hijau merupakan pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan terutama serealia, yang termasuk jenis tanaman serelia ialah semua tanaman rumput-rumputan yang bijinya bisa digunakan sebagai makanan manusia seperti gandum, jagung, dan padi.

Revolusi Hijau terdiri atas empat tahap, yaitu sebagai berikut ini :

  • Revolusi Hijau tahap pertama terjadi pada tahun 1500-1800 ketika kebanyakan hasil pertanian (padi, jagung, gandum, kentang) disebar ke seluruh dunia.
  • Revolusi Hijau kedua terjadi di Eropa dan Amerika Utara pada tahun 1850-1950 yang didasarkan pada penerapan hukum ilmiah terhadap produksi hasil pertanian melalui penggunaan pupuk, irigasi, serta pemberantasan hama secara luas dan terkendali.
  • Revolusi Hijau yang ke tiga di negara maju sejak Perang Dunia II yaitu antara tahun 1939-1979 yang telah dilakukan melalui seleksi dan persilangan genetika agar memperoleh varietas baru yang lebih unggul.
  • Revolusi Hijau tahap keempat merupakan kombinasi dari Revolusi Hijau tahap kedua dan tahap ketiga yang ditujukan untuk negara berkembang. Pada tahun 1967 varietas padi dan gandum jenis unggul dikembangkan di beberapa negara, seperti : India, Filiphina, Turki, dan Pakistan dan sekarang telah berkembang pula di Indonesia.

Post a Comment for "Empat tahap revolusi hijau"