Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pergerakan masa pendudukan Jepang di RI

Pergerakan masa pendudukan Jepang di RI 

Masa pendudukan Jepang di Indonesia merupakan satu periode yang menentukan dalam sejarah Indonesia. Meskipun merupakan pengalaman berat dan pahit bagi ke banyakan orang Indonesia, tetapi ini merupakan suatu masa peralihan, di mana dalam beberapa hal gerakan nasionalis mendapat kemajuan.

Pergerakan nasional Indonesia sebagai keseluruhan telah mengambil sikap yang sedikit banyak kooperatif di bawah pimpinan Sukarno-Hatta. Sedang sebagian lain di bawah komando Syahrir membentuk suatu jaringan ''bawah tanah''. Meskipun terdapat beberapa nuansa dalam interpretasi, agaknya telah diterima sebagai suatu fakta di kalangan luas bahwa pasukan Jepang disambut dengan baik oleh orang Indonesia pada umumnya mereka melakukan invasi ke pulau Indonesia dalam dua atau tiga bulan pertama tahun 1942.

Pergerakan masa pendudukan Jepang di RI

Yang lebih penting bahwa pergerakan nasional Indonesia sebagai keseluruhan mengambil sikap yang sedikit banyak kooperatif  di bawah pimpinan senior pada waktu itu, yaitu Sukarno dan Moh. Hatta. Hal ini sangat menarik karena kedua tokoh senior tersebut selama ini terkenal sebagai non-kooperator yang gigih selama pemerintahan kolonial Belanda.

Selain propagandanya yang menarik, sikap Jepang pada mulanya menunjukkan kelunakan karena berbagai kepentingan. Tetapi hal ini tidak lama, karena Jenderal Imamura sebagai penguasa tinggi (Gunsireikan kemudian Seiko Sikikan) Pemerintahan Bala Tentara Jepang di Jawa mulai mengubah politik lunaknya dengan mengeluarkan maklumatnya tertanggal 20 Maret 1942 yang berisi tentang larangan terhadap segala macam pembicaraan, pergerakan dan anjuran atau propaganda dan juga pengibaran sang Saka Merah Putih serta menyanyikan Lagu Indonesia Raya yang sudah diijinkan sebelumnya.

Dengan demikian praktis semua kegiatan politik dilarang. Dan tidak hanya berhenti disitu, Pemerintahan Jepang kemudian secara resmi membubarkan semua perkumpulan semua organisasi-organisasi politik yang ada dan pihak Jepang mulai membentuk organisasi-organisasi baru untuk kepentingan mobilisasi rakyat.

Sejak semula Islam tampak menawarkan suatu jalan utama bagi mobilisasi rakyat. Pada akhir bulan Maret 1942 pihak Jepang di Jawa sudah mendirikan Kantor Urusan Agama (Shumubu). Pada bulan April 1942 usaha pertama untuk gerakan rakyat yaitu ''Gerakan Tiga A'' di mulai di Jawa yang dipimpin oleh Mr. Syamsudin, seorang nasionalis yang kurang terkenal.

Di dalam gerakan tersebut pada bulan Juli 1942 didirikan suatu sub seksi Islam yang dinamakan Persiapan Persatuan Umat Islam yang dipimpin oleh Abikoesno Tjokrosoejoso. Secara umum Gerakan Tiga A ini tidak berhasil mencapai tujuan-tujuannya dan dinilai kurang berguna.

Para pejabat Indonesia hanya sedikit yang mendukungnya, tidak ada seorang nasionalis Indonesia yang terkemuka yang terlibat di dalamnya, dan sedikit orang Indonesia yang menanggapinya secara serius. Sejak itu pihak Jepang menyadari bahwa apabila mereka ingin memobilisasikan rakyat, maka mereka harus memanfaatkan tokoh-tokoh terkemuka gerakan nasional.

Minat terhadap kerjasama dengan tokoh-tokoh pergerakan terkemuka semakin besar setelah Jepang terpukul dalam pertempuran Laut Karang 7 Mei 1942. Jepang harus memberi konsesi makin besar kepada bangsa Indonesia agar semakin besar pula kesediaan bangsa Indonesia untuk memberikan kerjasamanya.

Dalam kerangka perjuangan di masa pendudukan Jepang yang bersituasi semacam itu, tokoh-tokoh nasionalis mulai mengambil sikap dalam kerangka strategi perjuangannya. Hatta dan Syahrir yang bersahabat lama, memutuskan memakai strategi-strategi yang bersifat saling melengkapi dalam situasi baru kekuasaan Jepang (Mavis Rose, 1987/1991).

Hatta akan bekerjasama dengan Jepang dan berusaha mengurangi kekerasan pemerintahan mereka serta memanipulasi perkembangan-perkembangan untuk kepentingan jaringan ''bawah tanah'' yang terutama didukung oleh para mantan anggota PNI Baru. Sukarno yang telah dibebaskan oleh Jepang dari Sumatera segera bergabung dengan Hatta, yang kemudian segera mendesak kepada Jepang untuk membentuk suatu organisasi politik masa di bawah pimpinan mereka.

Para pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia tidak saja percaya terhadap janji-janji Jepang dengan semboyan Tiga A-nya. Mereka sangat hati-hati dalam menghadapi penjajah  baru itu. Akan tetapi bangsa Indonesia tidak begitu saja dapat mengusir penjajah Jepang sebab kondisinya masih lemah.

Sukarno-Hatta misalnya menyadari bahwa jalan yang dapat ditempuh adalah dengan kerjasama. Kerjasama itu hanyalah sebuah alat untuk mempercepat proses kemerdekaan Indonesia yang telah lama diperjuangkan. Dalam setiap ada kesempatan para pejuang bangsa Indonesia selalu menggembleng semangat cinta tanah air di dalam hati sanu bari rakyat Indonesia.

Lembaga-lembaga yang diciptakan oleh Jepang seperti Java Hookokai, Putera, Peta, Funjinkai, dan sebagainya justru menjadi sarana memupuk semangat kebangsaan. Hal itu tentu memudahkan jalan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Telah sedikit disinggung di muka, bahwa dalam menghadapi penjajahan Jepang, para pejuang Indonesia memiliki strategi dan cara-cara yang tidak sama.

Ada yang mau bekerja sama sambil berjuang untuk kemerdekaan, tetapi ada yang menolak kerjasama. Di samping golongan yang mau bekerja sama dengan pemerintah, ada beberapa kelompok perjuangan untuk mencapai kemerdekaan pada masa pendudukan Jepang.

Kelompok Perjuangan Kemerdekaan :

Kelompok Syahrir; golongan ini adalah pendukung demokrasi Parlementer model Eropa Barat. Golongan ini memiliki pengikut kaum pelajar di berbagai kota seperti Jakarta, Surabaya, Cirebon, Garut, Semarang, dsd. Syahrir menentang Jepang karena merupakan negara Fasis. Mereka berjuang dengan cara sembunyi-sembunyi atau dengan strategi gerakan ''bawah tanah''.

Kelompok Amir Syarifudin; Kelompok ini juga anti Fasisi dengan menolak sama sekali kerja sama dengan Jepang. Ia sangat keras dalam mengkritik Jepang sehingga ia ditangkap pada tahun 1943 dan dijatuhi hukuman mati tahun 1944. Atas bantuan Sukarno, hukumannya diubah menjadi hukuman seumur hidup. Setelah Jepang menyerah dan Indonesia merdeka tahun 1945, ia bebas dari hukuman.

Golongan Persatuan Mahasiswa; Golongan ini sebagian besar dari kedokteran di Jakarta. Pengikutnya antara lain: J. Kunto, Supeno, Subandrio. Kelompok ini juga anti Jepang dan bekerja sama dengan golongan Syahrir.

Kelompok Sukarni ; Yang termasuk golongan ini adalah : Adam Malik, Pandu Wiguna, Chaerul Saleh, Maruto Nitimiharjo, dsd. Kelompok ini sangat besar peranannya di sekitar proklamasi kemerdekaan.

Golonngan Kaigun; Anggotanya bekerja pada Angkatan Laut Jepang. Akan tetapi secara terus-menerus menggalang dan membina kemerdekaan. Mereka memiliki hubungan dekat dengan tokoh-tokoh Angkatan Laut Jepang yang simpati terhadap kemerdekaan Indonesia.

Termasuk dalam kelompok ini adalah; Mr. Akhmad Subarjo, Mr. Maramis, Dr. Samsi, Dr. Buntaran Martoatmojo. Kelompok Kaigun ini mendirikan asrama Indonesia Merdeka. Ketuanya Wikana, sedangkan para pengajarnya antara lain: Ir. Sukarno, Drs. Muh. Hatta, dan Sultan Syahrir. Kelompok ini juga bekerjasama dengan kelompok bawah tanah yang lain. Hanya saja dengan cara yang hati-hati untuk menghindari kecurigaan Jepang.

Pmuda Menteng;Kelompok ini bermarkas di gedung Menteng 31 Jakarta. Mereka kebanyakan pengikut Tan Malaka dari Partai Murba. Tokoh terkemuka dari kelompok ini adalah: Adam Malik, Chairu Saleh, dan Wikana.

Sekalipun para pejuang Indonesia itu terbagi dalam kelompok-kelompok dan menerapkan strategi yang berbeda, namun itu bukan berarti perpecahan. Mereka hanya berbeda dalam taktik, tetapi tujuannya sama yaitu mencapai kemerdekaan Indonesia. Mereka yang bekerjasama dengan Jepang memanfaatkan kesempatan itu untuk menggembleng diri sebagai persiapan pada masa kemerdekaan kelak kemudian hari.

Mereka yang dapat menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan, militer, dan jabatan lain pada masa Jepang justru sebagai latihan untuk diterapkan pada masa kemerdekaan nantinya.Sementara itu mereka yang menentang secara terang-terangan terhadap Jepang dapat mengoreksi kekejaman tentara Jepang dalam menindas rakyat Indonesia.

Menjelang kemerdekaan Indonesia mereka lebih bersikap berani untuk menyatakan bangsa Indonesia tanpa menunggu persetujuan Jepang. Awal tahun 1943 usaha ke arah mobilisasi mulai memberi prioritas tinggi terhadap gerakan-gerakan pemuda. Korps Pemuda yang bersifat semi militer (Seinendan) dibentuk pada bulan April 1943.

Korps ini mempunyai cabang-cabang sampai kedesa-desa, meskipun yang aktif terutama di daerah perkotaan. Kemudian disusul dengan pembentukan Korps Kewaspadaan (Keibodan) sebagai organisasi polisi, kebakaran, dan serangan udara pembantu. Demikian juga dibentuk Pasukan Pembantu (Heiho) sebagai bagian dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang di Indonesia.

Kemudian dibentuk Jawa Hokokai (kebangkitan Rakyat Jawa) pada 1 Maret 1944. Pimpinan tertinggi adalah Gunseikan, sedang Ir. Sukarno menjabat sebagai Komon (penasehat). Jawa Hokokai merupakan hasil peleburan dari Fujinkai (perkumpulan Kaum Wanita), Masyumi (Majelis Sura Muslim Indonesia), Kakyo Sokai (Perhimpunan Cina); Taiku Kai (Perkumpulan Oleh Raga); Keimin Bunka Syidosyo (Himpunan Kebudayaan), dan sebagainya.

Propaganda Jepang dilancarkan terus, misalnya Gerakan Tiga A: Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia, Jepang Cahaya Asia, dibawah pimpinan Mr. Syamsudin. Semboyan : Jepang dan Indonesia sama-sama ; Asia untuk bangsa Asia; kemakmuran bersama Asia Timur Raya dan sebagainya bertujuan menarik simpati rakyat Indonesia untuk membantu Jepang menyelesaikan perang Asia Timur Raya.

Di samping itu pula dibentuk Pemuda Asia Raya di bawah pimpinan Sukarjo Wiryo-pranoto. Pemuda Asia Raya ini kemudian diganti namanya menjadi Seinendan, pada tanggal 29 April 1942. Organisasi ini bekerjasama dengan Putera di bawah pimpinan Empat Serangkai Indonesia.

Pengerahan tenaga rakyat untuk kepentingan perang terus ditingkatkan. Untuk membantu polisi dibentuk Keibodan yang terdiri dari para pemuda yang belum termasuk Seinendan. Tenaga-tenaga laki-laki dari desa-desa dikerahkan untuk melakukan kerja paksa sebagai Romusa.

Mereka bekerja untuk membangun benteng, jalan, jembatan, gedung-gedung pemerintahan, dan sebagainya. Mereka dipekerjakan di Jawa maupun di luar Jawa, bahkan sampai di luar Indonesia. Banyak di antara mereka yang mati kelaparan, kelelahan, penyakit, siksaan para mandor, dan sebagainya.

Banyak diantaranya yang tidak kembali lagi ke kampung asalnya. Selanjutnya kaum wanita digerakan dalam Fujinkai pada 3 Nopember 1943. Mereka ini dipekerjakan di garis belakang, di dapur-dapur umum, kesehatan (PPPK). Anak-anak sekolah dilatih olah raga perang Kinhorosi.

Dalam bidang kebudayaan, siasat Jepang untuk memainkan dan menanamkan kebudayaan Jepang di Indonesia, dilakukan bersama-sama dengan menggiatkan kebudayaan Indonesia untuk menarik simpati rakyat Indonesia. Terutama seni sastra dan kesenian mendapatkan perhatian khusus.

Para ahli bahasa membentuk komisi bahasa Indonesia dengan berusaha memperkaya perbendaharaan bahasa. Nama-nama kota dan jalan-jaloan diganti dengan nama Indonesia sepanjang ada ijin dari pemerintah Jepang. Misalnya: Batavia diganti Jakarta; Buitenzoerg diganti dengan Bogor; Meeter Cornelis diganti Jatinegara; dan sebagainya.

Nama-nama jawatan diganti dengan bahasa Jepang. Maka nampaklah bahasa Jepang akan Me-Nippon-kan Indonesia. Lagu Kebangsaan Jepang Kimigayo dinyayikan di samping lagu kebangsaan Indonesia: Indonesia Raya. Latihan-latihan diadakan untuk melatih pegawai di berbagai jawatan untuk mengisi Nipponseisin (semangat Jepang).

Guna mempergiat semangat belajar bahasa Jepang, diberikan tunjangan-tunjangan istimewa kepada mereka yang telah menunjukan kecakapannya berbahasa Jepang dalam tingkat dai-tji (dasar), dai-ni (menengah), dai-san (atas, dai-jon (tinggi), dan dai-go(lanjut).

Sementara itu sejak 1943 golongan As (Jerman dkk) menderita kekalahan di mana-mana. Antara lain di Italia, Mussolini jatuh dan digantikan oleh Pietro Badoglio (26 Juli 1943). Di Jerman, Hitler jatuh pada 7 Mei 1945. Jepang mulai cemas terhadap serangan balasan Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Rusia, Tiongkok, dan Australia) yang semakin gencar di Pasifik.

Beberapa pangkalan Jepang di Jawa mulai di bom oleh Sekutu, misalkan Surabaya. Menghadapi itu semua, maka Jepag cepat-cepat memberikan kemerdekaannya kepada negara-negara yang direbutnya.: Bima (1 Agustus 1943, Pilipina (14 Oktober 1943). Sedang kepada Indonesia diberi kesempatan untuk bersuara berupa usul-usul.

Maka dibentuklah Tjiho Sangi Kai (semacam Dewan Daerah), Tjuo Sangi In (semacam Dewan Rakyat) dengan Ir. Sukarno sebagai Gitjo (ketua)., dan RMAA Kusumoutoyo dan dr. Buntaran Martaatmojo sebagai Fuku Gitjo (wakil ketua). Tjuo Sangi In dibuka pada 16 Oktober 1943 dan beranggotakan 43 orang.

Kewajibannya memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Saiko Sikikan dan mengajukan usul-usul. beberapa orang Indonesia diangkat menjadi Sjutjokan dan Fuku Sjutjokan. Perang Pasifik semakin mendesak kekuatan Jepang. Untuk itu Jepang sangat membutuhkan bantuan dari daerah-daerah yang didudukinya.

Maka berdasarkan keputusan sidang Parlemen ke-82 di Tokyo, yang dikemukakan oleh Perdana Menteri Tojo, perlu dibentuk barisan semi-militer dan militer di Indonesia. Pasukan ini kemudian dikenal dengan nama Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (Peta) (Boei Giyugun).

Pembentukan Peta ini mula-mula diusulkan oleh R. Gatot Mangkuprojo melalui suratnya yang ditujukan kepada Gunseikan pada 7 September 1943. Tanggal 3 Oktober 1943 Letnan Jenderal Kumakici Harada mengeluarkan aturan pembentukan Peta itu. Beberapa orang Indonesia mulai dilatih kemiliteran. Dan akhirnya tanggal 22 Nopember 1943 diresmikan pembentukan Peta itu.

Di samping Peta, juga penduduk diikutsertakan membantu perang. Tanggal 8 Januari 1944 diperkenalkan Tonarigumi (rukun tetangga). Tiap kelompok terdiri dari 10-20 rumah tangga. Beberapa Tonarigumi itu dilatih pencegahan terhadap bahaya udara, kebakaran, pemberantasan mata-mata musuh dan penyampaian iktisar pemerintah militer kepada penduduk, menganjurkan penambahan hasil bumi, dan berbakti kepada pemerintah militer di bidang lain.

Atas permintaan para pemimpin Indonesia, seperti R. Gatot Mangkupraja, KH Mas Mansyur, dan Ir. Sukarno, dibentuklah Tentara Pembela Tanah Air (Peta) pada 3 Oktober 1943 seperti tersebut di atas. Dalam waktu 6 bulan dilatihlah calon-calon daidantjo (kepala pasukan) dan Sjodantjo (kepala regu).

Mereka ini kemudian melatih calon-calon perajurit-perajurit (Peta) di bawah pimpinan dan pengawasan opsir Jepang. Organisasi ini merupakan suatu tentara sukarela Indonesia. Tidak seperti Heiho, Peta tidak secara resmi menjadi bagian dari balatentara Jepang, melainkan dimaksudkan sebagai pasukan gerilya pembantu guna melawan serbuan pihak Sekutu.

Disiplin Peta sangat ketat dan ide-ide nasionalisme Indonesia dimanfaatkan dalam penggemblengan para anggotanya. Di samping Peta, Jepang juga membentuk Heiho (pembantu tentara). Bila Peta bertugas membela daerahnya masing-masing, maka Heiho bertugas membantu Jepang apabila diperlukan. Untuk mempersatukan rakyat dibentuk Tonarigumi, Ku.

Mereka ini dilatih untuk dalam mencegah bahaya udara, dan sebagainya. Melalui Peta maupun Heiho tersebut, pemuda-pemuda Indonesia dilatih kemiliteran yang sangat berguna untuk menghadapi serangan-serangan Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali setelah Jepang menyerah pada Sekutu.

Pada bulan Maret 1943 Gerakan Tiga A dihapuskan dan digantikan dengan Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Badan ini berbeda dalam pengawasan ketat pihak Jepang, tetapi ketuanya diangkat dari orang-orang terkemuka Indonesia pada waktu itu, yaitu: Sukarno, Hatta Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mas Mansyur.

Dalam beberapa kesempatan tokoh-tokoh ini dapat memanfaatkan tugas-tugas mereka ketika keliling dan berpidato di depan massa. Kesempatan itu digunakan untuk menanamkan semangat nasionalisme kepada setiap pemuda dan orang Indonesia. Namun demikian, gerakan ini hanya mendapat sedikit dukungan dari rakyat.

Salah sebabnya adalah karena Jepang tidak bersedia memberi kebebasan kepada kekuatan-kekuatan rakyat yang potensial dan membatasi ruang gerak tokoh-tokoh utamanya. Mengingat tahun 1944 pihak Sekutu mulai mendapatkan kemenangan-kemenangannya di berbagai medan pertempuran terhadap Jepang, pada Pebruari 1944 Kepulauan Marshall dan Karolina dapat direbut Sekutu.

Dalam situasi gawat ini, Jepang berusaha memperkuat garis belakang dengan membentuk satu organisasi besar yang didukung oleh seluruh rakyat Jawa. Dibentuklah Jawa Hokokai (Himpunan Kebangkitan Rakyat Jawa) pada 1 Maret 1944, sebagai ganti dari Putera. Sukarno sangat berhasil dalam memanfaatkan Propaganda Jawa Hokokai ini untuk memperkokoh posisinya sebagai pemimpin utama kekuatan rakyat.

Jawa Hokokai menjadi lebih efektif dikarenakan memiliki alat organisatoris yang menembus sampai ke desa-desa. Rukun Tetangga (Tonari Gumi) dibentuk untuk mengorganisasikan seluruh penduduk yang terdiri dari sepuluh sampai dua puluh keluarga untuk tujuan mobilisasi.

Di kota-kota besar, terutama Jakarta dan Bandung, para pemuda yang berpendidikan mulai menggalang jaringan-jaringan bawah tanah, yang dalam banyak hal ada di bawah pengaruh Syahriri. Mereka tahu bahwa posisi Jepang di dalam perang mulai memburuk, dan mereka mulai menyusun rencana-rencana untuk merebut kemerdekaan nasional dari kekalahan yang mengancam Jepang tersebut.

Sementara itu kemenangan Sekutu di Eropa maupun di Pasifik seperti di Sailan, Gauam, Marina, mengakibatkan perubahan politik Jepang. Kabinet Tojo jatuh pada 18 Juli 1944 dan digantikan dengan Kabinet Kaiso pada 22 Juli 1944. Supaya mendapatkan bantuan sepenuhnya dari rakyat Indonesia, Kabinet Kaiso menjanjikan Dokutitzu (kemerdekaan) kepada Indonesia di kemudian hari.

Rakyat Indonesia pada pendudukan Jepang itu sangat menderita. Di samping penghisapan tenaga rakyat untuk kepentingan perang, Jepang juga menguras kekayaan alam Indonesia. Janji kemakmuran bersama adalah janji kosong. Rakyat Indonesia mulai menyadari akan hal ini. Sebab yang terjadi adalah kelaparan dan tanpa pakaian.

Sawah ladang tidak dipelihara, karena tenaga laki-laki dikerahkan untuk romusa. Kekayaan penduduk diambil untuk kepentingan perang. Apabila melawan, maka Kempeitai (polisi militer Jepang) siap untuk memberikan hukuman berat. Akibatnya ekonomi rakyat menjadi rusak berat. Gerakan awas mata-mata musuh (MMM) diperhebat.

Setiap orang yang dicurigai akan ditangkap dan disiksa oleh Kempetai sampai mati atau cacat seumur hidup. Sejak 20 Desember 1944 diadakan gerakan pengumpulan emas dan permata milik penduduk. Katanya untuk keperluan perang dan untuk memperoleh kemenangan akhir. Akhirnya karena tidak kuat lagi menerima penderitaan itu, berontaklah para pemuda.

Misalnya di Tasikmalaya, Indramayu, Singapura, Banten, dan sebagainya. Pemberontakan terhebat terjadi pada 14 Pebruari 1945 yang dilakukan oleh anggota-anggota Peta di bawah pimpinan Supriyadi. Namun semua pemberontakan itu dapat ditindas dengan kejam oleh Jepang.

Tanggal 7 September 1944 Perdana Menteri Koiso Kuniaki menjanjikan kemerdekaan bagi '' Hindia Timur'' (To-Indo). Akan tetapi, tidak menentukan kapan tanggal kemerdekaan itu, dan jelas diharapkan bahwa bangsa Indonesia akan membalas janji tersebut dengan cara mendukung Jepang sebagai ungkapan terima kasih.

Bendera Indonesia boleh dikibarkan lagi di kantor-kantor Jawa Hokokai. Selain itu juga mulai dibentuk kelompok-kelompok pemuda dan militer baru, seperti Barisan Pelopor dan Barisan Hisbullah. Awal tahun 1945 keadaan Jepang semakin kritis. Beberapa daerah pendudukannya telah dapat direbut Sekutu.

Untuk meredakan hati rakyat yang mulai bergolak melakukan pemberontakan-pemberontakan, Jepang meningkatkan penerangan-penerangan bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan di kemudian hari. Sejak itu pula semakin banyak orang Indonesia yang diangkat menjadi pejabat pemerintahan.

Sejak bulan November 1944 orang-orang Indonesia mulai diangkat menjadi wakil residen. Para penasehat (sanyo) dihimpun ke dalam semacam majelis tinggi (Dewan Sanyo, Dewan Penasehat). Mereka mengakui perlunya memperoleh jasa baik dari pihak Indonesia, karena bagaimanapun mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk tetap mempertahankan kekuasaannya.

Sementara itu upaya menegakkan jasa baik itu mengalami berbagai kesulitan. Pada bulan Februari 1945 Peta di Blitar menyerang gudang persenjataan Jepang dan membunuh beberapa serdadu Jepang. Jepang merasa mulai takut bahwa mungkin mereka tidak dapat mengendalikan kekuatan militer Indonesia yang telah mereka ciptakan sendiri.

Perasaan takut itu menjadi semakin kuat ketika pada bulan Maret 1945 angkatan bersenjata serupa di Birma berbalik melawan mereka. Menyadari hal itu, maka pihak Jepang memutuskan untuk memulai menghapuskan kekangan-kekangan yang masih ada terhadap kekuatan rakyat Indonesia.

Sementara itu Pilipina dapat direbut Sekutu setelah terjadi pertempuran hebat di Semenanjung Leyte (1944) dan Luzon (1945). Kemudian Jepang di Asia Tenggara semakin terancam. Untuk menghadapi segala kemungkinan, maka Jepang membentuk Pasukan Berani Mati (Jibaku-tai). Pemuda-pemuda dari Mediun dan Surabaya banyak masuk menjadi anggota pasukan berani mati ini.

Sedikit demi sedikit, pasukan Sekutu semakin mendekati Jepang Asli. Iwo Jima dapat direbut (16 Maret 1945), kemudian Okonama (21 Mei 1945). Di samping itu kini Jepang berperang sendirian, sebab sekutunya : Itali (1945) dan Jerman telah menyerah kepada Sekutu (7 Maret 1945).

Setelah Sekutu dapat menduduki Tarakan dan Balikpapan, Jepang dalam usaha memperoleh dukungan sepenuhnya dari rakyat Indonesia, membentuk Dokuritzu Zyoombi Tsooskai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia = BPUPKI) sebagai langkah awal dari janji kemerdekaan Indonesia dari Jepang.

Tugas ini ialah menyelidiki dan mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan untuk Indonesia merdeka. Badan ini didirikan pada 29 April 1945. Susunan pengurusnya terdiri dari sebuah badan perundingan dan kantor tatausaha. Badan Perundingan terdiri dari seorang Kaico (Ketua), 2 orang Fuku Kaico (Wakil Ketua), 60 orang Lin (Anggota), termasuk 4 orang golongan Cina dan golongan Arab serta seorang golongan peranakan Belanda.

Di badan tersebut terdapat 7 orang anggota Jepang. Mereka ini duduk sebagai pengurus istimewa yang akan menghadiri sidang-sidang, tetapi mereka ini tidak mempunyai hak suara. Sebagai Kaico adalah dr, KRMT Rajiman Wediodiningrat, sebagai Fuku Kaico pertama dijabat oleh orang Jepang yakni Syucokan Cirebon dan R. Surowo (Syucokan, Kedu) sebagai Fuku Kaico kedua. RP Surasa diangkat pula sebagai kepala Sekertariat Dokuritzu Zyoombi Tsoosakai dengan dibantu oleh Toyohiko Masuda dan Mr. AG Pringgodigdo.

Sementara itu di Bandung pada 16 Mei 1945 telah diadakan konggres pemuda seluruh Jawa dengan dipelopori oleh angkatan Muda Indonesia sebagai pemuda pelopor. Konggres itu dihadiri oleh utusan-utusan pemuda, pelajar, dan mahasiswa seluruh Jawa, antara lain : Jamal Ali, Chaerul Saleh, Anwar Cokroaminoto, dan Harsono Cokroaminoto, serta para mahasiswa IKA Daigaku Jakarta. 

Konggres itu bertekat bersatu untuk mempersiapkan pelaksanaan kemerdekaan Indonesia bukan sebagai hadiah Jepang. Setelah tiga hari bersidang, akhirnya dicapai dua resolusi : pertama, semua golongan Indonesia, terutama golongan pemuda dipersatukan dan dibulatkan di bawah satu pimpinan nasional ; dan kedua, dipercepatnya pelaksanaan kemerdekaan Indonesia.

Di samping itu diputuskan bahwa konggres menyatakan dukungannya dan bekerjasama yang erat dengan Jepang untuk mencapai kemenangan akhir. Keputusan terakhir ini tidak memuaskan pemuda. Maka sebagai imbangannya, pada 3 Juli 1945 diadakan suatu pertemuan rahasia yang dihadiri sekitar 100 orang pemuda. Pertemuan pemuda ini membentuk panitia khusus yang diketahui oleh BM Diah dengan anggota Sukarni, Sudiro, Syarif Thoyeb, Harsono Cokroaminoto, Alkana, Chaerul Saleh, F.Gulton, Supeno, dan Asmara Hadi.

Pertemuan rahasia diadakan lagi pada 15 Juli 1945 yang hasilnya membentuk Gerakan Angkatan Baru Indonesia yang kegiatannya sebagian besar, digerakan oleh Pemuda Asrama Menteng 31. Tujuan mereka tercantum dalam surat kabar Asia Raya yang terbit pada pertengahan Juni 1945.

Tujuannya lebih radikal, yaitu: pertama, mencapai persatuan kompak antara seluruh golongan masyarakat Indonesia ; kedua, menanamkan semangat revolusioner masa atas dasar kesadaran mereka sebagai rakyat yang berdaulat; tiga, membentuk negara Kesatuan Republik Indonesia; keempat, mempersatukan Indonesia bahu membahu dengan Jepang, tetapi bila perlu gerakan tersebut bermaksud untuk mencapai kemerdekaan dengan kekuatannya sendiri.

Dalam perkembangan selanjutnya, Angkatan Baru Indonesia, pendapat-pendapatnya dapat mempengaruhi usaha-usaha untuk membantu tercapainya negara Indonesia merdeka. Para pemuda seperti : Chaerul Saleh, Sukarni, BM Diah, Asmara Hadi, Harsono Cokroaminoto, Alkana, Sudiaro, Supeno, Adam Malik, SK. Trimurti, Sutomo, dan Pandu Wiguna (Karta Wiguna) ikut serta dalam Gerakan Rakyat Baru yang mendapatkan ijin pendiriannya oleh Syaiko Syikikan Letnan Jenderal Y. Nagano di dalam pertemuan tanggal 2 Juli 1945.

Gerakan Rakyat Baru bertujuan mengobarkan semangat cinta tanah air dan semangat perang. Anggotanya terdiri seluruh rakyat Indonesia dari berbagai golongan dan ras. Jepang mengijinkan pendirian Gerakan Rakyat Baru itu berlatar belakang dapat mengawasi gerakan pemuda Indonesia.

Gerakan itu sepenuhnya harus tunduk kepada Gunseibu (pemerintah militer Jepang). Dengan kebebasan bergerak dibatasi.Gerakan Rakyat Baru diresmikan baru tanggal 28 Juli 1945. Di dalamnya tergabung pula Jawa Hokokai dan Masyumi. Sikapnya loyal kepada Jepang.

Maka para pemuda yang berjiwa radikal tidak mau menjadi pengurus organisasi tersebut, misalnya : Chaerul Saleh, Harsono Cokroaminoto, Sukarni, Asmara Hadi, dan sebagainya. Sehingga akhirnya nampaklah adanya perselisihan antara golongan tua yang setia kepada Jepang dengan golongan pemuda, tentang cara pelaksanaan berdirinya negara Indonesia.

Baca juga selanjutnya di bawah ini :

Post a Comment for "Pergerakan masa pendudukan Jepang di RI"