Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Situasi Politik di RI Menjelang Dekrit Presiden

Situasi Politik di RI Menjelang Dekrit Presiden 

Setelah Pemilihan Umum tahun 1955, terbentuk kabinet Ali Sastroamidjojo II dari Maret 1956 - Maret 1957. Dengan pembatalan Uni Indonesia-Belanda yang telah dirintis oleh Kabinet sebelumnya (Burhanudin Harahap) maka tugas Kabinet Ali selanjutnya adalah pembatalan seluruh perjanjian KMB, di mana masalah ini menyangkut masalah Irian Barat.

Kabinet Ali, sesuai programnya, membentuk propinsi Irian Barat dengan ibu kotanya berkedudukan di Soa Siu. Peresmian pembentukannya dilakukan tetap dengan hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu tanggal 17 Agustus 1956.

Situasi Politik di RI Menjelang Dekrit Presiden

Propinsi Irian Barat tersebut meliputi wilayah Irian yang masih diduduki Belanda dan daerah Tidore, Zainal Abidin Syah, diangkat sebagai Gubernur Irian Barat yang pertama. Hal ini dilakukan sebab dalam sejarah tercatat bahwa sampai dengan akhir abad ke-19 Irian berada di bawah kekuasaan Sultan Tidore.

Masalah serius yang dihadapi Kabinet Ali II adalah banyaknya peristiwa pemberontakan di daerah, seperti : Pemberontakan PRRI dan Permesta. Di samping itu terjadi pula percobaan Coup d'etat dari militer yang digerakkan oleh Zulkifli Lubis, namun gagal.

Kabinet Ali II mulai goncang dengan banyaknya tuntutan dan protes yang dilancarkan oleh pihak militer di daerah itu. Adanya Dewan Banteng dan dewan-dewan lain menunjukkan bahwa para pemimpin militer daerah itu mulai berani menentang pusat.

Perkembangan di Sumatera menimbulkan kegoncangan dalam Kabinet Ali II, di mana Dahlan Ibrahim, Menteri Urusan Veteran, seorang Minangkabau, mengundurkan diri. Masyumi menghendaki Kabinet darurat di bawah pimpinan Hatta. Tetapi PNI, NU dan partai-partai kecil pendukung Kabinet menentang.

Karena pertentangan maka pada tanggal 9 Januari 1957 Masyumi menarik menteri-menterinya dari Kabinet. Pusat belum bertindak tegas terhadap daerah-daerah yang melancarkan berbagai tuntutan. Hal itu mendorong Presiden Sukarno untuk mengemukakan gagasannya yang menandakan ketidak puasannya terhadap sistem Kabinet parlemen pada zaman demokrasi liberal itu.

Maka pada tanggal 21 Pebruari 1957 Presiden Sukarno mengemukakan konsepnya yang terkenal sebagai ''Konsepsi Presiden Sukarno atau Konsepsi Presiden''.

Isi Konsepsi Presiden Sukarno atau Konsepsi Presiden :

1. Sistem demokrasi parlemen secara Barat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia. Oleh karena itu, sistem itu harus diganti sistem demokrasi terpimpin.
2. Untuk pelaksanaan sistem demokrasi terpimpin perlu dibentuk suatu kabinet gotong royong yang anggotanya terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Konsep Presiden ini mengetengahkan pula perlunya pembentukan  ''Kabinnet kaki Empat'' yang mengandung arti bahwa keempat partai besar, yakni PNI, Masyumi, NU dan PKI turut serta didalamnya untuk menciptakan kegotongroyongan nasional.
3. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Tugas utama Dewan Nasional adalah memberi nasehat kepada Kabinet, baik diminta maupun tidak diminta.

Dengan demikian rakyat, baik yang berpartai maupun yang tidak, dapat memperoleh saluran untuk mempengaruhi jalannya kemudi negara. Konsepsi itu menimbulkan tanggapan pro dan kontra. Pada tanggal 2 Maret 1957 Masyumi, NU, PSII, partai Katholik, dan PRI Bung Tomo menolak Konsepsi Presiden itu.

Kemudian pada tanggal 4 Maret 1957 Kabinet Ali II menyerahkan mandat. Tetapi sebelum itu, militer (dalam hal ini AD) mendesak Presiden agar Ali Sastroamidjojo mau menandatangani negara dalam keadaan bahaya (SOB). Maka dengan berat hati Perdana Menteri Ali menandatanganinya.

Dengan demikian maka Presiden kini lebih leluasa menjalankan konsepsinya dengan mendapat dukungan dari militer. Keadaan darurat tersebut ditingkatkan menjadi keadaan bahaya dalam keadaan perang pada tanggal 17 Desember 1957.

Mengenai konsepsi Presiden Sukarno itu Wipolo tokoh nasionalis yang pernah menjadi PM, mengatakan bahwa, ''Tindakan Kepala Negara itu mungkin sekali tidak dalam kedudukannya sebagai Presiden Konstitusional, melainkan sebagai pemimpin rakyat yang benar-benar prihatin karena kekacauan politik sudah memuncak, sehingga bisa membahayakan keselamatan Bangsa dan Negara, tetapi bagaimanapun tindakan Presiden itu benar-benar menempatkan pemerintah dalam suatu krisis yang sukar dapat diatasi''.

Walaupun konsepsi Sukarno itu mengundang pro dan kontra, namun hasil yang dicapai oleh Kabinet Ali II, antara lain membangun pabrik semen di Gresik dengan bantuan AS dinilai cukup berhasil. Dibuat pula Undang-Undang No.1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan daerah, di mana di dalamnya diatur berbagai kekuasaan dan keuangan antara pusat dan daerah.

Setelah Kabinet Ali II jatuh, peranan Presiden Sukarno makin besar. Penunjukan Soewiryo sebagai formatur Kabinet sebanyak dua kali mengalami kegagalan dalam membentuk Kabinet. Presiden Sukarno lalu mulai mengambil inisiatif. Ia menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur Kabinet yang baru. Hasilnya adalah Kabinet Karya yang dipimpin oleh PM Ir. Djuanda.

Kabinet karya yang dilantik pada tanggal 9 April 1957 dipimpin oleh Ir. Djuanda. Anggota kabinetnya kebanyakan dari orang-orang ahli. Meskipun sebagian besar anggota partai, tetapi pengangkatannya tidak terikat oleh atau melalui partai.

Banyak orang menganggap bahwa tindakam Presiden Sukarno sebagai formatur kabinet itu adalah inkonstitusionil (tidak menurut UUD). Menurut P.J. Suwarno (1996 : 14) sejak itu Presiden menguasai kabinet yang berbasiskan PNI dan NU. Kegiatan politik partai-partai politik dibatasi, lebih-lebih yang pro pemberontakan PRRI.

Baca juga selanjutnya Pemilihan umum 1955 dan masa demokrasi terpimpin

Post a Comment for "Situasi Politik di RI Menjelang Dekrit Presiden"