Struktur Organisasi Kabinet Pembangunan VI Jaman Suharto
Struktur Organisasi Kabinet Pembangunan VI Jaman Suharto
Dikatakan bukan murni organisasi matriks karena para Menteri Koordinator tidak memiliki jalur perintah atau komando kepada para menteri, tetapi lebih sebagai jalur koordinasi dan sinkronisasi kebijakan. khususnya yang lintas sektoral yang otomatis lintas departemen kementrian.
Sementara posisi komando langsung kepada Presiden. Struktur organisasi matriks murni mengasumsikan kedudukan Menko juga dalam posisi komando. Jika ini diadaptasi mentah mentah oleh Pak Harto, maka akan memunculkan kelemahan melekat dari struktur organisasi matriks, yakni adanya pertanggungjawaban ganda.
Pemilihan dan penyempurnaan struktur organisasi matriks adalah pilihan yang bijaksana dalam mengantisipasi kebutuhan dan tantangan manajerial. Langkah Presiden Soeharto untuk membentuk Menteri Koordinator industri dan Perdagangan akhir tahun 1995 merupakan contoh langkah strategis untuk memaksimalisasi struktur organisasi matriks ini. Struktur organisasi matriks sendiri sangat tepat untuk mengantisipasi lingkungan yang terus berubah dan serba tidak pasti yang kita rasakan dalam era globalisasi saat ini.
Organisasi Kabinet Pembangunan VI Jaman Suharto
Selanjutnya sangat disadari bahwa keberhasilan Pak Harto bukan saja dilatarbelakangi keandalan dalam sistem manajemennya, tetapi juga pribadi beliau sebagai seorang pemimpin. Menko Polkam Soesilo Soedarman menyebut sebagai manager-leader. Manajer adalah orang yang mampu mengelola, tetapi seorang leader lebih penting lagi karena ia make things happen“.
Leadership dalam kacamata "Barat" dapat disebut sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi jalan pikiran orang lain dengan menggunakan power yang ada padanya. Jadi tujuannya adalah mempengaruhi jalan pikiran orang lain agar mereka bertihak padanya dan mendukungnya, alatnya adalah power yang dimiliki.
Menggunakan power pada hakikatnya hanya salah satu strategi untuk mencapai tujuan. Power sendiri pada prinsipnya memlliki lima jenis”, pertama legitimate power, yaitu sebuah power yang dimiliki karena jabatan resmi yang disandang, kedua charismatic power, yaitu suatu kelebihan khusus yang membuat orang di sekelilingnya hormat padanya, meski ia tidak menyandang sebuah jabatan, ketiga coersive power, yaitu power yang mengandalkan "kumis melintang, suara menggelegar, dan otot yang mengancam", keempat expert power, yaitu sebuah power yang dimiliki karena ia adalah seorang ahli di bidangnya, dan kelima referent power, yaitu power yang mengandalkan pengaruh orang di atasnya, dan biasanya diwujudkan dengan mengutip setiap pernyataan pimpinannya.
Setiap pemimpin biasanya memiliki lebih dari satu jenis power di atas. Dari perspektif ml dapat pula dikatakan bahwa Presiden Soeharto pada awalnya hanya memiliki legitimate power, dan pada perkembangan selanjutnya melekat charismatic power dan expert power Selain perspektif tersebut, bisa juga dipergunakan perspektif " Timur" untuk menyimak leadership Pak Harto.
Secara khusus Menko Produksi dan Distribusi Ir. Hartanto, memberi nama manajemen Pak Harto sebagai kepemimpinan berdasarkan Hasta Brata, sebuah perspektif ketimuran yang mengacu pada Hasta Brata, yaitu ajaran mengenai kepemimpinan (leadership).
Seorang leader yang melaksanakan Hasta Brata artinya melakukan delapan laku di dalam kepemimpinannya, yaitu Surya, yaitu matahari, sikapnya menghidupi dari semua yang ada. Candra, yaitu bulan, menghibur di kala susah atau senang. Kartika, yaitu bintang, senantiasa menjadi pedoman atau suri tauladan.
Angkasa, yaitu angkasa atau awan, sifatnya adil, tidak pilih kasih. Dahana, yaitu api, pemimpin harus berani mengambil keputusan. Maruta, yaitu angin, seorang pemimpin harus mengerti kemauan yang dipimpin. Samodra, atau lautan, artinya memliki pandangan yang luas jauh dan mendalam. Bumi, yaitu melambangkan kesentosaan, jujur serta realistis.
Sementara itu, Menko Kesejahteraan Rakyat Azwar Anas menyebut bahwa Pak Harto menerapkan ll asas kepemimpinan. Takwa, yaitu beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan taat kepada-Nya. Ing Ngarsa Sung Tulada, yaitu: memberi suri tauladan kepada anak buah. Ing Madya Mangan Karsa, artinya: ikut bergiat serta menggugah semangat di tengah-tengah anak buah. Tut Wuri Handayani, yaitu mempengaruhi dan memberi dorongan dari belakang kepada anak buah. Waspada Purba Wisesa. yaitu: selalu waspada. mengawasi serta sanggup memberi koreksi kepada anak buah. Ambeg Parama Ana, yaitu: tingkah laku yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Satya, yaitu: sikap loyal yang timbal balik dari atasan terhadap bawahan dari bawahan terhadap atasan dan ke samping.
Gemi Nastiti, yaitu: kesadaran dan kemampuan untuk meletakkan prioritas terhadap setiap pengeluaran. Blaka, yaitu: kemampuan. kerelaan dan keberanian untuk mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya. Dan, yang terakhir, Legawa, yaitu: kemampuan, kerelaan keihlasan untuk pada saatnya menyerahkan tanggung jawab dan kedudukannya kepada generasi berikutntnya.
Menteri Negara Penggerak Investasi sekaligus Ketua BKPM Ir. Sunyoto Sastrowardojo mengakui bahwa gaya kepemimpinan Pak Harto itu halus sekaligus tegas. Menparpostel Joop Ave melihat bahwa ilmu manajemen yang diterapkan beliau adalah ilmu yang sangat khas Indonesia dan diterima dari nenek moyangnya, falsafah hidup orang Jawa, yaitu Ilmu Padi. Ilmu Teladan. Nguwongke, dan Iimu Keseimbangan. Selain halus budi bahasa beliau juga melindungi anak buah.
Tidak dipungkiri bahwa karakter kepemimpinan Pak Harto sangatlah bersifat ketimuran, sangat Indonesia. Bahkan seperti penuturan Menparpostel Joop Ave, sangat diwarnai oleh filsafat Jawa. Ini juga ada untungnya, karena salah satu ciri khas kultur Jawa adalah kemampuannya yang luar biasa untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dan luar, tetapi dalam banjir itu ia mempertahankan keasliannya.
Kebudayaan Jawa justru tidak menemukan diri dan berkembang kekhasannya dalam isolasi, melainkan dari pencernaan masukanmasukan kultural dari luar Keluwesan dan ketahanan merupakan kata kunci dalam menghadapi masa depan yang penuh pembahan dan tantangan.
Akan tetapi, karakter kepemimpinan Pak Harto sebenarnya dapat pula dikatakan sebagai sinergi dari karakter kepemimpinan Barat dan Timur. Seperti diketahui bahwa karakter kepemimpinan Barat adalah prescriptive dan commanding. Sementara karakter pemimpin Timur adalah benevolent dan intuitive.
Dalam hal karakter kepemimpinan Barat diwakili sepenuhnya oleh Pak Harto dalam kapasitasnya sebagai seorang pemimpin dalam sebuah organisasi negara modern dan seorang pemimpin dengan latar belakang militer yang sudah pasti prescriptive dan commanding.
Tetapi tidak berarti Pak Harto menjadi kebarat-baratan dalam gaya kepemimpinannya, karena beliau juga menerapkan gaya kepemimpinan Timur, yang benevolent dan intuitive. Pendekatan yang sangat human kepada para pembantunya kepercayaan yang besar kepada para pembantunya, kesabaran untuk tidak langsung menghukum atau memarahi, adalah cerminan pemimpin yang bertafakur.
Unsur kemudian adalah intuisi. Ini dapat disimak dan penuturan Menteri Transmigrasi Ir. Siswono Yudohusodo bahwa Pak Harto adalah pimpinan puncak dengan intuisi yang sangat tajam. Intuisi yang kuat ini membuat beliau mampu mengetahui dengan baik kapan harus bertindak.
Selain itu juga dapat dikatakan bahwa karakter kepemimpinan Pak Harto memenuhi kriteriakriteria dari fungsi pemimpin puncak, yaitu: sebagai eksekutif, sebagai perencana, sebagai pembuat kebijakan, sebagai wakil ketika berhadapan dengan kelompok luar, sebagai pengontrol hubungan internal, sebagai ligur yang menyediakan ganjaran dan hukuman, sebagai panutan, sebagai simbol kelompok, menanggungjawabi, sebagai pembawa ideologi, sebagai figur bapak, dan sebagai scapegoat, atau "kambing hitam"” .
Untuk idiom yang terakhir ini barangkali kurang sopan dalam tata pergaulan kita, tetapi di dalam praktek itu yang dilakukan secara konsekuen oleh Pak Harto. Ini terlihat tatkala ada pembantu beliau yang tidak berhasil di dalam melaksanakan tugas, maka tanggung jawab langsung diambil oleh Presiden sebagai mandataris rakyat, dan di dalam konstitusi kita, hal itu memang demikian adanya.
Pernyataan Meneg Lingkungan Hidup Ir. Sarwono Kusumannadja dan Menparpostel Joop Ave bahwa Pak Harto adalah figur yang melindungi anak buah adalah bukti akan hal tersebut. Keberanian untuk mengambil tanggung jawab secara konsisten ini yang patut dipuji, karena tidak semua pemimpin bangsa mampu dan berani melakukannya. Tidak sedikit dari mereka yang justru ''cuci tangan'' akan kesalahan yang diperbuat para pembantunya.
Dalam hal menghadapi masa depan, manajemen Pak Harto juga sangat diwarnai visi yang up to date dari waktu ke waktu. Pertama akan tuntutan demokratisasi dalam manajemen. Dalam era kini maka setiap manajemen dituntut untuk semakin demokratis untuk memampukan organisasi menyerap berbagai kompleksitas permasalahan dan menemukan pemecahan secara akurat.
Mantan Mendagri Rudini menyoroti hal ini, bahwa di dalam melaksanakan manajemennya. termasuk manajemen politik. Pak Harto -setidaknya dalam cara berlaku demokratis. Tindakan dan kebijaksanaan koersif, khususnya dalam bidang politik, berusaha untuk tidak dilakukan.
Semuanya dilakukan dengan cara musyawarah. sebagai sebuah proses engineering. untuk mencapai mufakat. Apapun caranya. asal tidak memakai paksa fisik. Di dalam setiap langkah, baik kebijakan maupun tindakan, Pak Harto -seperti penjelasan Manpera Akbar Tanjung dan Menpora Hayono Isman selalu mengacu kepada konstitusi.
Terlihat bahwa beliau adalah figur yang water-tight dalam hal melaksanakan kewajiban sesuai peraturan yang ada dan berlaku. Tetapi Pak Harto tidak sekaku idiom itu, karena seperti ditambahkan Menpora, "konstitusionalisme" Pak Harto juga bersifat dinamis.
Dalam hal lain, demokratisasi dilakukan berupa desentralisasi dalam bentuk besarnya pendelegasian wewenang di tingkat menteri. Seluruh menteri yang menjadi narasumber mengakui bahwa pendelegasian wewenang yang diberikan Pak Harto cukup besar.
Namun, seperti penjelasan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung, hal ini diimbangi konsistensi akan prinsip manajemen modern yakni selain mendayagunakan stafnya dengan baik, juga menjalankan rentang kendali (span of control), mulai checking hingga re-checking dari tahap perencanaan hingga pelaksanaannya.
Demokratisasi juga dilakukan dalam bentuk upaya untuk membuat setiap kebijakan dan tindakan bersifat transparan. Seperti penjelasan Menteri Penerangan Harmoko, transparansi adalah salah satu karakter yang dikembangkan dalam kepemimpinan Pak Harto.
Namun. tidak dapat dipungkiri dalam satu dan banyak hal transparasi terkadang sulit untuk dilaksanakan. terlebih pka menyangkut hal-hal yang mengandung komplikasi-komplikasi. Namun pula, secara personal Pak Harto berusaha keras untuk transparan sampai batas-batas yang dimungkinkan kepada masyarakat.
Hal ini sangat kentara dalam setiap dialog Pak Harto dengan rakyat. Mulai dari kesediaan Pak Harto untuk menerbitkan buku biografinya di tahun 1994. penjelasan tentang hubungan Pak Harto dengan para konglomerat, tentang putra-putrinya yang berbisnis yang sebenamya tanpa fasilitas, tentang kediamannya di Jalan Cendana bukanlah sebagai tempat menentukan tender dan komisi seperti digosipkan, tata cara beliau menyelenggarakan manajemen tingkat nasional dan global, hingga tentang suksesi kepala negara.
Apapun dalih untuk menyangkal, upaya ini harus tetap dinilai sebagai upaya keras untuk benar-benar transparan. Meski terkadang masih belum dapat diterima sebagai sebuah transparansi oleh sebagian orang, upaya itu sendiri sudah sepatutnya untuk selalu dipertimbangkan dalam konstelasi kehidupan bersama.
Kejahan Pak Harto melihat ke depan juga terlihat dari apa yang dikemukakan Menteri Kesehatan Prof Dr Sujadi. Bahwa manajemen yang dilaksanakan Pak Harto memiliki tujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia. Seperti diketahui kita telah memasuki era persaingan yang mendunia, di mana modal dan pasar tidak lagi mengenal bendera dan batas-batas politik.
Di era globalisasi yang menen akan keunggulan bangsa dibanding bangsa yang lain bukanlah karena ia memiliki uang yang besar. sumber alam yang melimpah, tenaga kerja murah, atau jumlah peiidu uk yang besar. Tetapi oleh keunggulan sumber daya manusianya. Di sini Pak Harto li melihat kebutuhan bangsa di era globalisasi, sehingga pada saat-saat belakangan ini program peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi prioritas.
Di luar itu, masih ditambah lagi dengan karakter-karakter pribadi yang jarang dimiliki orang lain. Yang paling menonjol adalah daya ingat yang sangat kuat. lni diakui oleh setiap menteri, yang membuat para menteri tidak pernah main-main jika hendak mengajukan data atau angka kepada Presiden.
Apalagi jika itu menyangkut hobi beliau, yaitu pertanian, maka bisa jadi beliau lebih hafal ketimbang Menteri Penanian sendiri. Pengalaman yang puling unik adalah dari Menparpostel Joop Ave. Ketika itu beliau masih menjadi Kepala Rumah Tangga Istana.
Kebetulan kala itu Pak Harto menerima kedatangan rombongan petani dan" Belanda di Tapos. Kebetulan penerjemah sedang sakit. “Bisa dibayangkan mumet-nya." kata Pak Joop yang pagi itu musti menerjemahkan istilah-istilah pertanian yang .begitu detil diterangkan Pak Harto kepada tamunya.
Karakter khas ini membuat Pak Harto juga mampu menguasai permasalahan dari konsep besar hingga ke detil. Bahkan sampai ke angka. Ini adalah keberuntungan Indonesia. Seorang Presiden dengan kemampuan pribadi yang luar biasa. The man of idea, the man of action, dan the man of detail.
Dari pendekatan proses politik, Manajemen Pak Harto juga berjalan sesuai "mesin politik" modern yang lazim, yaitu menjalankan tiga fungsi utama. yakni input, throughput, dan output. Seperti diketahui, proses input melibatkan fungsi-fungsi sosialisasi politik atau pendidikan politik seleksi kepemimpinan artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, dan komunikasi politik. Fangs; throughput lebih bersifat pengolahan kebijakan politik.
Dalam proses mi manajemen juga menjalankan fungsi lembaga perwakilan rakyat di dalam mekanisme pembuatan keputusan. Ketiga adalah fungsi output. yang meliputi proses penerapan aturan dan pemberian peradilan.
Dalam rangkaian 'mesin politik" ini para anggota dari sistem politik dilibatkan. baik dan sejak input, yang melibatkan masyarakat secara umum, partai-partai politik. hingga kelompok-kelompok kepentingan, throughput melibatkan lembaga perwakilan rakyat, dan output yang melibatkan jajaran birokrasi dan lembaga-lembaga pengawasan peradilan, baik dalam bentuk peradilan untuk masyarakat, maupun lembaga peradilan antara rakyat dengan negara, seperti tertuang dalam bentuk adanya Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Kesadaran dan konsistensi untuk menjalankan politik melalui proses yang lazim di dalam "aturan main" politik modern, membuat manajemen Pak Harto menjadi kapabel dalam mengelola Sistem politik. Dengan melibatkan sebanyak mungkin aktor (baik dalam am pribadi maupun lembaga) politik dalam percaturan panggung politik maka manajemen akan makin mampu meminimalisir konflik yang mungkin muncul.
Dari pendekatan sosiologis, konsep pembangunan yang dilaksanakan manajemen Pak Harto pada hakikatnya bersifat eklektik. Karena, dengan landasan Pancasrla dan UUD 1945, Pak Harto berusaha mengombinasikan dua pendekatan pembangunan yang paling dominan hingga saat ini.
Pertama paradigma yang mengatakan bahwa pembangunan adalah hasil sebuah proses perubahan sosial yang bersifat otonom, bisa linear atau zig-zag, dan bersifat gradual dan' satu tahapan ke tahapan lain. Sementara paradigma kedua mengatakan bahwa pembangunan (dan keterbelakangan) diakibatkan oleh hasil proses interaksi intemasional.“' Konsep pembangunan secara bertahap diadopsi dalam bentuk penahapan pembangunan dengan adanya Repelita-Repelita dan dengan pengakuan secara konseptual akan adanya tahap tinggal landas seperti gagasan Rostow.
Paradigma kedua mengatakan bahwa pembangunan sebuah negara ditentukan oleh interaksinya dengan negara lain. Bahkan dalam perkembangan kontemporer, dengan semakin mendesaknya gelombang globalisasi, paradigma ini menjadi lebih dominan.
Gagasan utamanya adalah di dalam interaksi tersebut mengandaikan adanya transfer sumber-sumber daya yang diperlukan oleh pembangunan, antara lain ilmu pengetahuan, teknologi, modal, dan sumber daya manusia, dari negara maju ke negara yang lebih terbelakang.
Tetapi interaksi tersebut mempunyai sisi lain yang bersifat negatif. Pertama, interaksi antara negara maju dan negara berkembang hanya menghasrlkan pola hubungan yang merugikan negara berkembang, karena meletakkan mereka ke dalam posisi sebagai negara pinggiran, di mana keuntungan dalam interaksi tersebut diserap oleh negara maju.
Tetapi negara berkembang selalu dan terus menerus d lam posisi tergantung kepada negara maju. Tetapi negara berkembang selalu dan terus menerus dalam posisi tergantung kepada negara maju. Kompradorisasi merupakan salah satu sumber dalam upaya pemiskinan sebuah bangsa, meski pada awalnya dikehendaki pembangunan akan terjadi akibat interaksi tersebut.
Kedua interaksi tersebut bisa bermakna penyebaran budaya negara maju ke negara terbelakang, dengan akibat memudarkan karakter kultur lokal beserta seluruh atribut dan kekuatan positifnya dalam pembangunan itu sendiri.
Paradigma kedua ini agaknya sudah disadari dari awal. Bahkan kebijakan ekonomi Orde Baru juga mempergunakan strategi ini dalam bentuk membuka diri terhadap bantuan luar negeri. Namun, keterlibatan aktif di dalam interaksi internasional baru menjadi agenda utama pada pertengahan tahun 1980-an.
Ini terlihat dari keterlibatan Pak Harto di dalam gerakan non-blok, dan mengarahkan gerakan ini dari sekadar gerakan politik menjadi gerakan ekonomi, dari gerakan perseteruan menjadi gerakan kemitraan, dan juga peran penting beliau dalam jajaran kerja sama Kepala-Kepala Negara APEC. Perjuangan untuk memberdayakan negara ketiga, negara berkembang, terhadap negara maju kini menjadi salah satu agenda Pak Harto.
Tetapi nampaknya Pak Harto tidak hendak main-main dengan langkah ini. Untuk itu dari mula beliau membenahi struktur ekonomi dan politik domestik, kemudian setelah mapan maju ke pentas dunia. Kondisi ini menyebabkan Indonesia mempunyai posisi bargaining yang jauh lebih baik misalnya dibanding pada era 1945-1965.
Langkah-langkah awal yang diambil bisa juga dinilai sebagai cara untuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan paling buruk yang mungkin muncul dalam konteks pembangunan dengan mengandalkan interaksi internasional.
Kedua paradigma ini digabungkan lagi dengan sejumlah paradigma lain, termasuk yang bersifat paradigma turunan (derivat) dan bukan paradigma utama. seperti paradigma kebutuhan pokok, dan paradigma pembangunan yang berkesinambungan dan berwawasan lingkungan seperti yang diterapkan saat ini.
Interaksi dengan lingkungan internasional membuat kita menyadari kondisi riil bangsa Indonesia. Tatkala kita merdeka hingga memasuki Orde Baru, masyarakat kita masih terberai dari masyarakat primitif, agraris, dan pra-industri. Kita berhadapan dengan masyarakat industri dan prainformasi. Ketika kita baru memasuki masyarakat industri, masyarakat Barat telah masuk paskaindustri atau masyarakat informasi.
Sementara masyarakat kita belum beradaptasi dengan nilai-nilai peradaban industri. pembangunan telah membawa kepada peradaban masyarakat infomasi. Kita tidak dapat menolak perkembangan tersebut. Akibatnya pembangunan seringkali menjadi bermakna pencerabutan masyarakat dari akar-akarnya untuk kemudian dicemplungkan ke dalam sistem nilai yang sama sekali baru.
Hasilnya adalah alienasi atau keterasingan sosial. Sistem nilai yang sudah lama dilepas, tetapi sistem nilai yang baru belum dapat diserap dan dimiliki, sementara perkembangan terus melaju tanpa mau menunggu.
Yang paling dahulu mengalami serangan adalah sistem budaya nasional. Globalisasi komunikasi menyebabkan penyeragaman budaya, di mana budaya modern Barat dengan nilai yang lebih "rendah" (praktis) masuk menggusur budaya tradisional/Timur yang lebih "tinggi" (atau rumit).
Penyeragaman ini merupakan bentuk penjajahan budaya secara internasional. Upaya untuk menangkal pun agaknya sia-sia karena teknologi komunikasi tidak bisa lagi dibatasi, apalagi disensor. Berita sensitif yang terbit di luar negeri tidak bisa dihalangi masuk ke dalam negeri, karena faksimili pribadi tidak bisa disensor.
Miniseri Baywatch dan Acapulco Heat yang menampilkan wanita dengan busana superseksi telah menjadi tontonan anak-anak di Jakarta. Wonosari sampai Jayapura tanpa bisa dihambat. Yang terjadi kemudian adalah erosi nasionalisme.
"Serangan" frontal tersebut tidak hanya menyerang sistem budaya tetapi juga manajemen kenegaraan. Konsep pembangunan dari para teknokrat pun tidak dipungkiri berbau Barat, mengingat latar belakang pendidikannya pun dari negara-negara Barat. Pak Harto dengan pendekatannya yang khas berusaha menangkal "pencerabutan" ini.
Pertama dengan cara mengintrodusir pendekatan-pendekatan dan falsafah-falsafah dari khasanah budaya nasional, khususnya Jawa, di dalam sistem maupun idiom-idiom manajemen, dan upaya sosialisasmya dilakukan secara terus-menerus di dalam setiap kesempatan.
Kedua memberdayakan bahasa Indonesia. Pada setiap kesempatan. bahkan dalam forum internasional pun. Pak Harto selalu mempergunakan Bahasa Indonesia. Barangkali ini adalah salah satu cara yang paling efektif untuk mempertahankan nasionalisme, sebuah kecintaan akan bangsa dan negara sendiri.
Seperti yang dikemukakan dalam otobiografinya, karakter Pak Harto Setidaknya dibentuk oleh tiga latar belakang yang kemudian dikembangkan dan diperkaya oleh Pak Harto dalam perjalanan hidup dan kariernya. Pertama filsafat hidup Jawa yang diajarkan oleh ayah angkatnya, Pak Prawirowihardjo, mulai perihal ojo dumeh. ojo kagetan, ojo gumunan hingga tentang toleransi.
Bahkan "ilmu toleransi" inilah yang mendorong Pak Harto menggulirkan Pancasila sebagnl satuusatunya asas dalam kehidupan bangsa. Pendekatan yang dipergunakan adalah strategis-persuasif. Tidak mengherankan jika Pak Harto juga disebut figur yang mengembangkan Pancasila sebagai ideologi toleransi. He is a master of consensus.
Apapun caranya, mufakat adalah yang paling baik. Dan cara yang terbaik tentu saja adalah musyawarah. Ini yang menjadikan gagasan tentang demokrasi dan oposisi yang ada dalam literatur Barat menjadi tidak relevan.
Karakter Pak Harto bisa dilacak dari filsafat dasar Jawa yang bersumber kepada dua kaidah utama. yaitu kaidah kerukunan dan kaidah hormat. Kaidah kerukunan mengatakan bahwa dalam setiap Situasi hendaknya manusia bersikap sedemikian rupa sehingga tidak sampai menimbulkan konflik.
Tujuannya adalah membawa kepada kehidupan yang rukun, yaitu keselarasan dan harmoni sosial. Kaidah hormat mengatakan agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajad dan kedudukannya.
Pandangan ini berdasarkan cita-cita tentang masyarakat yang teratur baik. di mana setiap orang mengenal tempat dan tugasnya dan dengan demikian ikut menjaga agar seluruh masyarakat merupakan suatu kesatuan yang selaras.
Untuk melaksanakan etika tersebut perlu dilandasi oleh rasa. atau perasaan, ini dapat dilihat dari sindiran kepada mereka yang tidak mampu bertindak pada tempatnya atau bertindak secara etis dengan mengatakannya sebagai durung ngerti (belum memahami). "Kejawaan" Pak Harto teniiata tidak berlaku kaku.
Dalam arti isyu "Jawanisasi" adalah isapan jempol belaka Jawa adalah salah satu varian yang dipeigunakan Pak Harto di dalam upaya untuk menjaga keberlangsungan budaya bangsa dengan lebih baik. Ini berkait dengan yang disebutkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup Ransum Kusumaatmadja dan Tanri Abeng. bahwa manajemen Pak Harto sangat berlandaskan kepada budaya bangsa. Tidak sekadar manajemen dan kemudiai titik.
Unsur positif dari kejawaan ini diejawantahkan Pak Haito di dalam gua kepemimpinannya. Panglima ABRI Jenderal TNI Feisal l'auiung menamakan sistem manajemen Pak Harto sebagai Manajemen Kekeluargaan. yakni manajemen tang mampu menciptakan suasana menjadi sejuk. Ini juga diakal oleh Mentrans PPH.
Siswono Yudohusodo juga mengakui hal itu. Pak Harto sebagai seorang eksekutif puncak yang sangat tenang, dan tidak pernah marah. Ketenangan ini menumbuhkan rasa sejuk bagi pembantu-pembantunya. Meninvest Ir. Sanyoto Sastrowardojo bertutur bahwa Pak Harto tidak pernah memenej dengan sok perintah, tetapi dalam bentuk pengarahan.
Ir. AR Soehoed menambahkan bahwa ketenangan itu merupakan salah satu bentuk manifestasi kontrol pribadi yang kuat. Ketenangan juga diwujudkan dalam kemampuan untuk menilai seseorang tanpa menampakkan ekspresi khusus. Ketenangan ini dilihat Menteri Penerangan Harmoko sebagai berakar dari tiga filsafat Pak Harto, yaitu ojo gumunan (jangan mudah heran), ojo kagetan (jangan mudah terkejut), dan ojo dumeh Gangan mentang-mentang).
Kejawaan ini terlihat pula dalam pola sosialisasi nilai-nilai Pancasila dalam mangan P-4 melalui pewayangan. Beberapa waktu lalu Pak Harto meminta para dalang Indonesia untuk menciptakan lakon baru dalam babad pewayangan. Semar mBabar Jati Diri".
Ini adalah lakon paska perang Barata Yuda. Setelah kebatilan Kurawa dihancurkan oleh kebaikan Pandawa maka kehidupan baru harus ditata dengan lebih baik dan harmonis. Dalam kehidupan seperti itu. yang kongruenkan dengan kehidupan bangsa Indonesia paska pengkhianatan komunisme, diperlukan seorang panutan yang mampu mewejang pola hidup yang benar.
Dalam cerita tersebut, sang panutan adalah Kiai Semar. Dan yang diwejangnya. dalam bentuk mbabarjati diri, adalah P-4. Hal ini antara lain dituturkan oleh Menko Polkam Soesilo Soedarman, yang dengan jeli melihat kecendekiaan Pak Harto untuk mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui medium yang paling akrab dengan budaya bangsa, khususnya budaya mayoritas, melalui wayang. Dan hasilnya memang efektif. Bukan tidak mungkin pola ini bisa dikembangkan ke pola-pola dalam budaya lain selain Jawa.
Kedua. adalah pelajaran ke-lslaman dari Kiai Daijatmo. Dalam hal ini Pak Ham) justru memperkaya, baik dalam pengetahuan, wawasan, maupun langkah kebijakan yang berkaitan dengan keberadaannya sebagai seorang muslim. Jika memang bukan dalam kapasrtas sebagai Kepala Negara, beliau tidak mempergunakan jabatan dalam kegiatan sebagai muslim.
Misalnya kala menunaikan ibadah haji, meski telah disediakan pesawat khusus sebagai Kepala Negara, Pak Harto memilih berangkat sebagai warga negara brasal ) Sebuah kesahajaan yang justru sangat cendekia ditinjau dari langkah manajemen kenegaraan.
Di samping itu, Pak Harto juga memiliki akses secara langsung kepada masyarakat Islam, salah satu kekuatan politik terpenting Indonesia. baik melalm kebijakan dan tindakan formal maupun yang bersifat informal dan personal, seperti melalui dialog dengan para pimpinan umat, menjadi patron dalam wadah cendekiawan muslim Indonesia ICMI, dan juga melalui kegiatan-kegiatan sosial lain, seperti melalui Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila.
Ketiga perjalanan karier Pak Harto sebagai militer. Kita ingat bahwa salah satu buku sakti para manajer saat ini adalah buku-buku yang mengakar kepada ilmu militer yang diajarkan Sun Tsu. jenderal Cina abad ketiga. Kini banyak diyakini bahwa antara jenderal militer dengan manajer mempunyai kedekatan.
Keduanva bertugas untuk memenangkan perang. Dalam bisnis perang berani pasar. bagi manajemen kenegaraan perang berarti memenangkan pembangunan nasional Koisidensi ini sangat mendukung Pak Harto di dalam memperkaya pengetahuan dan wawasan manajerial. bahkan tanpa harus memasuki sekolah manajemen.
Sebagai seorang Presiden yang mempunyai latar belakang militer, Pak Harto miliki modal yang sangat menguntungkan. Pertama. seperti dituturkan Menko Polkam Soesilo Soedarman, sebagai seorang manajer yang mendasarkan pengalamannya sebagai seorang jenderal. maka Pak Harto mampu untuk quick to see, quick to decide, and quich to act.
Cepat melihat inti permasalahan, cepat memutuskan. dan cepat dalam melaksanakan. Pak Harto adalah figur pimpinan puncak yang berani mengambil keputusan dengan cepat dan tepat sekaligus mengantisrpasr resrko yang timbul. Ini sangat penting, mengingat tidak semua manajer puncak mempunyai keberanian yang cukup untuk mengambil keputusan.
Apalagi jika itu keputusan yang tidak populer di kalangan bawahannya Pak Harto. seperti penuturan mantan Menaker Drs. Cosmas Batubara. adalah manajer puncak yang berani mengambil keputusan yang tidak populer. Di dalam dunia politik ini adalah hal yang sangat dihindari oleh setiap penguasa. karena bisa mengurangi pengaruh di kalangan pendukungnya. dan pada gilirannya akan menurunkannya dari panggung politik.
Tetapi Pak Harto agaknya karena dilandasi sikap tanpa pamrih --berani mengambil keputusan yang tidak populer, bahkan di saat genting, seperti devaluasi mata uang Rupiah terhadap mata uang dolar Amerika mendekati saat Pemilu (tahun 1983 dan 1986), dengan acuan bahwa itu adalah satu-satunya alternatif untuk menyelamatkan perekonomian bangsa dari kebangkrutan.
Di satu sisi dapat dilihat bahwa Pak Harto telah mempersiapkan segala resrko yang muncul dengan sebaik-baiknya. Di sisi lain tampak bahwa Pak Harto bisa menyingkirkan kepentingan pribadi sebagai politikus puncak yang sewaktu-waktu bisa digeser karena tidak melakukan kebijakan yang tidak populer semacam itu.
Kedua, beliau memiliki kemampuan untuk mengakses kelompok militer. kelompok yang sangat memberikan pengaruh bagi setiap negara baru dan seda g berkembang, termasuk Indonesia. Diakui bahwa keberadaan Pak Harto sebagai Presiden membuat ABRI benar-benar menjalankan peran gandanya sebagai kekuatan sosial dan politik, sebagai stabilisator dan dinamisator dalam pembangunan dengan baik dan mementahkan segala kemungkinan untuk adanya sebuah gerakan militer yang merugikan kehidupan bersama.
Padahal, seperti dikatakan Duverger. pada hakikatnya militer selalu merupakan bahaya politik bagi negara, karena mereka yang memegang senjata apalagi memonopoli -selalu digoda untuk menyalahgunakannya. Semua itu tidak lepas dari kesediaan Pak Harto untuk melaksanakan sumpah Sapta Marga Prajurit ABRI secara konsisten, yang membuat beliau disegani di kalangan ABRI, dan kemampuan Pak Harto untuk menciptakan hubungan komunikasi dengan jajaran pimpinan ABRI dalam dataran formal-fungsional, dan para kader pimpinan dalam dataran psikologis.
Kemampuan Pak Harto selanjutnya adalah, bahwa dengan naiknya beliau. sebagai militer naik ke puncak panggung politik, tidak menjadikan pemerintahannya menjadi pemerintah praetoria, atau pemerintahan militer.
Ini ditunjukkan dengan langkah Pak Harto menghadirkan para teknokrat di dalam proses pembuatan kebijakan, khususnya dalam tahap-tahap awal Repelita, seperti yang disebutkan oleh Prof. Dr. Sujudi, Menteri Kesehatan RI. Dalam pertemuan dengan para siswa perwira menengah ABRI di Peternakan Tapos tanggal 24 Desember 1995, hal ini juga dikemukakan oleh Pak Harto.
Bahwa beliau memang pada awalnya merasa kurang memahami banyak permasalahan, khususnya dalam hal politik dan ekonomi. Pak Harto bersedia 'mendengar dan mencatat" apa yang dikatakan oleh para teknokrat. Ini sangat membantu Pak Harto dalam tahap-tahap berikutnya.
Berdasar keinginan untuk belajar selama 30 tahun secara terus menerus, Pak Harto akhirnya menguasai ilmu yang berkenaan dengan tugas dan kewajiban sebagai seorang Kepala Negara. Tidak mengherankan. Jika pernah ada cerita dan Pak Sumitro Dyophadtkusumo, bahwa jika dahulu kalau bertemu, maka Pak Cum bicara Pak Harto yang mencatat.
Kini ibaratnya Pak Harto yang bicara dan Pak Cum yang mencatat. Kemampuan ini membuat Pak Harto memiliki apa yang disebut sebagai “indera keenam' oleh Tanri Abeng. Semua bukan karena faktor yang bersifat mistik. tetapi karena begitu lama jam terbang dan 'pendidrkan' yang dialami, membuat Pak Harto mempunyai kemampuan untuk melakukan langkah yang sangat akurat.
Di atas papan catur bisa dikatakan Pak Harto adalah pecatur dengan kemampuan menghitung tujuh langkah ke depan, kemampuan seorang maestro. Ini yang membuat Pak Harto tidak menjadikan rejim Orde Baru sebagai sebuah rejim militer, tetapi lebih sebagai rejim pembangunan. Kemiliteran Pak Harto dipakai dalam batas-batas tertentu. khususnya dalam hal pola berfikir dan bertindak.
Tetapi ini yang patut disyukuri. dan ketiganya Pak Harto kemudian memperkaya lagi dengan pengalaman pribadi bergaul dengan rakyat kecil, khususnya masyarakat pedesaan. Bukan saja karena Pak Harto dilahirkan di lingkungan petani miskin di desa Kemusu, Yogyakarta. tetapi karena sepaniang penuangan beliau melihat sendiri bantuan yang diberikan tanpa pamrih oleh kelompok masmrakat mi. Kesemuanya membuat Pak Hano menjadi seorang Top Manajer yang juga dekat kepada rakyat kecil. Ini terlihat dan penuturan Pak Harto sendiri :
"Pengalaman saya sebelum menjadi Presiden, sewaktu saya menjadi seorang militer, terutama dalam masa perjuangan kemerdekaan. sewaktu saya memimpin perlawanan gerilya melawan tentara peniajah yang memiliki senjata lebih lengkap. saya terkenang terus. Saya sadar waktu itu, saya merasa tidak bisa berbuat apa pun tanpa bantuan rakyat . . .
Karena itu. saya selalu merasakan sampai menjadi pendirian bahwa saya berhutang budi kepada rakyat. Dan selalu saya ingin membalas budi kepada mereka.
Saya berfikir, selama melaksanakan kepercayaan dari rakyat ini, sebagai presiden, inilah kesempatan untuk membalas budi rakyat itu Masa ini saya gunakan sebaik-baiknya untuk membalas budi kepada rakyat Indonesia yang 80% terdiri dari para petani.
Baca juga selanjutnya di bawah ini :
- Kepemimpinan Berdasarkan Hasta Brata
- Fungsi dan tujuan pemilihan umum orde baru
- Manajemen Konstitusional Ir. Akbar Tanjung
- Manajemen Pak Harto Pengembangan Sumber Daya Manusia
- Manajemen Kerakyatan yang di pimpin Pak Harto
- Manajemen Kekeluargaan Pak Suharto
- Jenderal Suharto Manajer Puncak
- Manajemen Soeharto Suatu Fenomena
- Suharto Menciptakan Pembangunan Nasional Cita-Cita Bangsa Indonesia
- Pertama Suharto Memimpin Indonesia Berhadapan Kenyataan Mengerikan
Post a Comment for "Struktur Organisasi Kabinet Pembangunan VI Jaman Suharto"